Lihat ke Halaman Asli

Aulia

Dosen Universitas Andalas

Dinamika Baru Pilkada: Peluang Demokrasi yang Lebih Inklusif dan Tantangan bagi Partai Besar

Diperbarui: 22 Agustus 2024   20:54

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gedung Mahkamah Konstitusi (MK) -- Putusan MK soal pencalonan kepala daerah | Kompas.com/Fitria Chusna Farisa

Pembuka

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan aturan Pilkada menjadi sorotan dalam dinamika politik Indonesia saat ini. Putusan ini membuka peluang lebih besar bagi partai kecil dan kandidat independen untuk ikut bersaing dalam Pilkada, terutama di daerah-daerah strategis seperti Jakarta. Sementara itu, partai besar yang sebelumnya mendominasi jalur pencalonan dihadapkan pada tantangan baru dalam menjaga kontrol politik mereka. 

Artikel ini akan mengupas bagaimana keputusan MK memengaruhi lanskap politik Indonesia, khususnya dalam Pilkada, serta dampaknya bagi kandidat potensial seperti Anies Baswedan.

Putusan MK: Membuka Jalan bagi Demokrasi yang Lebih Dinamis

Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait perubahan aturan pencalonan dalam Pilkada memberikan ruang yang lebih inklusif bagi partisipasi politik. 

Dalam aturan baru ini, MK melonggarkan ambang batas pencalonan bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi di DPRD, yang memungkinkan mereka untuk mengusung calon tanpa harus memenuhi syarat yang lebih ketat seperti yang berlaku pada partai besar. Sebaliknya, partai yang memiliki kursi di DPRD tetap harus memenuhi ambang batas 20% kursi DPRD atau 25% perolehan suara sah untuk mencalonkan kandidat mereka (Katadata) (Solopos.com).

Keputusan ini memiliki dampak besar pada dinamika politik lokal, terutama dalam hal pencalonan kepala daerah. Banyak pengamat melihat langkah ini sebagai upaya untuk menciptakan kesetaraan yang lebih besar dalam proses Pilkada, di mana partai kecil yang sebelumnya kesulitan mencalonkan kandidat kini memiliki peluang lebih besar. Hal ini membuka kesempatan bagi calon-calon alternatif yang mungkin lebih mewakili kepentingan masyarakat atau menawarkan ide-ide yang lebih segar.

Tidak hanya itu, MK juga menyesuaikan persyaratan usia minimal bagi calon kepala daerah. Calon gubernur dan wakil gubernur kini harus berusia minimal 30 tahun, sementara calon bupati, wali kota, serta wakilnya harus berusia minimal 25 tahun. Penyesuaian ini diharapkan dapat memperluas partisipasi politik dari generasi muda dan menciptakan regenerasi kepemimpinan di tingkat lokal (Solopos.com).

Respons DPR terhadap Putusan MK: Cepat tapi Tidak Selalu Mendukung

Menariknya, putusan MK ini langsung disambut dengan respons cepat dari Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Biasanya, sebelum menindaklanjuti putusan MK, DPR melakukan kajian mendalam apakah keputusan tersebut harus diterima atau direspons dengan peraturan tambahan. Namun, dalam kasus ini, ada beberapa alasan mengapa DPR bergerak lebih cepat dari biasanya.

Pertama, keputusan MK bersifat final dan mengikat, sehingga DPR tidak memiliki banyak ruang untuk menunda atau menolak penerapan putusan tersebut. Selain itu, Pilkada yang sudah dekat dengan batas waktu pendaftaran calon gubernur pada akhir Agustus 2024 memaksa DPR untuk segera menyesuaikan aturan guna memastikan pelaksanaan Pilkada tidak terganggu (Katadata) (TV One News). Tekanan waktu ini memaksa DPR untuk mengambil langkah cepat.

Kedua, respons cepat DPR juga dipengaruhi oleh tekanan publik. Banyak elemen masyarakat yang menolak revisi undang-undang Pilkada yang dianggap bertentangan dengan keputusan MK. Demonstrasi besar-besaran dan protes dari berbagai kelompok masyarakat memberikan tekanan tambahan pada DPR untuk segera merespons keputusan tersebut. Jika DPR tidak bertindak cepat, ini bisa memicu ketidakstabilan politik dan krisis konstitusi (TV One News).


Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline