Akses pendidikan tinggi di Indonesia telah menjadi isu krusial. Di tengah upaya pemerintah meningkatkan Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK PT) dan Angka Kelulusan (TK) Perguruan Tinggi, isu Uang Kuliah Tunggal (UKT) yang tinggi terus menjadi perdebatan.
Perdebatan terkait Uang Kuliah Tunggal (UKT) telah melebar dari ranah akar rumput, seperti di jalan dan warung kopi, hingga ke tingkat elit dan anggota dewan. Hal ini menunjukkan bahwa isu ini memiliki dampak yang signifikan dan menarik perhatian banyak pihak.
Komentar salah satu Dirjen Kemendikbudristek yang menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier atau sesuatu yang tidak begitu penting, tentu saja memicu kontroversi dan kritikan. Pernyataan tersebut dianggap mengabaikan peran penting pendidikan tinggi dalam pembangunan bangsa dan mencerminkan kurangnya pemahaman tentang realitas yang dihadapi banyak masyarakat.
Pendidikan tinggi bukan hanya tentang mendapatkan gelar, tetapi juga tentang mengembangkan keterampilan, pengetahuan, dan karakter yang dibutuhkan untuk berkontribusi pada masyarakat. Di era globalisasi dan disrupsi ini, pendidikan tinggi semakin menjadi kunci untuk mendapatkan pekerjaan yang layak dan meningkatkan taraf hidup.
Menaikkan UKT tanpa mempertimbangkan kemampuan finansial masyarakat, terutama bagi keluarga kurang mampu, dapat memperparah ketimpangan akses terhadap pendidikan berkualitas. Hal ini dapat menghambat mobilitas sosial dan menggagalkan cita-cita bangsa untuk mencapai Indonesia Emas 2045.
Kemendikbudristek perlu lebih sensitif terhadap isu ini dan menunjukkan komitmennya untuk memastikan akses pendidikan tinggi yang berkualitas dan adil bagi semua
Angka Partisipasi Kasar Perguruan Tinggi (APK PT)
APK PT menunjukkan persentase penduduk usia 19-24 tahun yang terdaftar di perguruan tinggi. Di Indonesia, APK PT masih tergolong rendah, yaitu 22.5% pada tahun 2024, dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Singapura (84.4%) dan Malaysia (51.2%). Rendahnya APK PT di Indonesia disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk ketersediaan akses pendidikan, biaya pendidikan, kualitas pendidikan, dan kesadaran masyarakat.
Faktor Penyebab Rendahnya APK PT
Kurangnya infrastruktur pendidikan, terutama di daerah terpencil, menjadi salah satu penyebab utama rendahnya APK PT. Banyak wilayah di Indonesia yang belum memiliki fasilitas pendidikan tinggi yang memadai, sehingga menyulitkan akses bagi calon mahasiswa yang tinggal di daerah-daerah tersebut. Pembangunan fasilitas pendidikan yang lebih merata di seluruh wilayah Indonesia menjadi solusi yang penting untuk mengatasi masalah ini.
Biaya pendidikan yang tinggi merupakan kendala besar bagi banyak keluarga di Indonesia. Meskipun terdapat beberapa program beasiswa dan bantuan keuangan, jumlahnya masih belum mencukupi untuk menutupi kebutuhan seluruh calon mahasiswa yang membutuhkan. Sistem UKT yang ada saat ini sering kali belum mampu sepenuhnya menyesuaikan dengan kemampuan finansial setiap keluarga, sehingga banyak yang terpaksa menunda atau bahkan membatalkan rencana untuk melanjutkan pendidikan tinggi.
Kualitas pendidikan yang belum merata di semua perguruan tinggi di Indonesia juga menjadi faktor penurunan APK PT. Banyak perguruan tinggi yang belum mampu menyediakan pendidikan berkualitas tinggi, baik dari segi kurikulum, fasilitas, maupun tenaga pengajar. Hal ini mengakibatkan rendahnya minat untuk melanjutkan studi ke perguruan tinggi, terutama di daerah-daerah yang jauh dari pusat-pusat pendidikan utama.