Di ranting malam yang sunyi,
Hatiku hampa, gelap tak terperi,
Mengapa berasa sepi dan pilu,
Ku coba melupakan, namun terus meratapi.
Indonesia, negeri subur nan hijau,
Sawah-sawah luas tak berhenti tumbuh,
Namun, kenapa impor beras terus membara,
Jokowi, mengapa tak kau perhatikan?
Era 1950-an, impor beras memulai cerita,
Swasembada tiba di 1984, namun pergi begitu cepat,
Bukan tanpa alasan, kebijakan dan cuaca jadi pembuat drama,
Kini, impor tumbuh, negeri tercinta menangis.
Data tahun 2013 hingga 2023 menangiskan,
Impor beras naik ketika produksi lokal merana,
2018 catatannya kelam, lebih dari 2 juta ton terimpor,
Petani lokal menangis, harga di pasar semakin liar.
Kepala Negara, peduli dan tataplah cermin,
Kontrak, bantuan pangan, upaya nyata,
Namun, mengapa impor tak juga surut,
Petani kita menangis, lapar di negeri subur.
Pertanian tercinta, dibalut masalah yang rumit,
Bukan tak ada usaha, kontrak dan subsidi,
Namun tantangan iklim dan globalisasi terus melilit,
Kerja sama diperlukan, agar kemandirian tak sirna.
Thailand, 'Negeri Gajah Putih' menawarkan pelajaran,
Dengan irigasi yang efisien, mereka tertawa,
Penduduk lebih sedikit, produksi beras surplus,
Teknologi dan mekanisasi, menjadi kuncinya.
Pakistan, negara Basmati yang gemilang,
Dukungan pemerintah dan teknologi canggih jadi andalan,
Ekspor terus berkembang, pertumbuhan tercatat,
Kebijakan yang bijak, membawa kejayaan.
Vietnam, yang dulu belajar dari kita,
Kini berdiri kokoh, menjadi eksportir beras pilihan,
Irigasi efisien, mekanisasi tancap gas,
Diversifikasi produk, brand beras terkenal.
Ketiga negara, cermin keberhasilan,
Pertanian maju, ekspor berkibar,
Indonesia, belajarlah dari perjalanan mereka,
Sebelum negeri tercinta semakin pilu.