Pengantar
Saya tinggal di sebuah lingkungan pinggiran kota Padang. Di sekitar saya tinggal ada beberapa orang perilaku kriminal pencurian dan terkait narkoba yang telah keluar masuk penjara lebih dari tiga kali. perilakunya terus berulang dan tidak kapok. Kalau mereka bebas tampak kegelisahan kembali muncul karena ada kemungkinan pencurian atau penggerebekan oleh petugas kepolisian yang mengganggu kenyamanan. Namun pada Capres dan Cawapres awal tahun 2024 ini belum muncul pembicaraan topik penting ini.
Saya yakin, keadaan yang sama mungkin ditemukan di tempat tinggal Anda. Pelaku kriminal yang berulang kali masuk penjara tetapi tidak pernah jera. Bahkan ada pelaku yang sengaja mengulangi perbuatan kriminal agar kembali masuk penjara, katanya hidup di penjara lebih enak dan keperluan sandang pangan terpenuhi, kalau di luar susah cari duit bahkan sekedar untuk makan.
Gambaran kejahatan di kota Padang
Kasus narkoba di Kota Padang mengalami peningkatan selama tahun 2023, dibandingkan dengan tahun 2022. Jumlah kasus narkoba yang ditangani polisi di wilayah hukumnya berjumlah 325, dengan jumlah pelaku sebanyak 402 orang. Barang bukti yang disita polisi juga mengalami peningkatan, yaitu sebanyak 937,74 gram sabu dan 88 butir pil ekstasi.
Sementara itu, kasus kejahatan lainnya, seperti pencurian, juga tercatat sebanyak 2.953 kasus di Kota Padang sepanjang tahun 2020. Kasus yang mendominasi adalah kasus pencurian kendaraan bermotor, pencurian biasa, pencurian dengan pemberatan, serta pencurian disertai kekerasan. Angka kriminalitas di Padang tahun 2020 turun 100 persen dibandingkan tahun sebelumnya, namun masih tinggi dibandingkan kota-kota lain di Sumatera Barat.
Dari data-data tersebut menunjukkan bahwa Kota Padang masih memiliki masalah yang serius terkait dengan tindak pidana narkoba dan pencurian, yang dapat mengganggu ketertiban, keamanan, dan kesejahteraan masyarakat. Saya berpendapat bahwa penjara tidak cukup efektif untuk menyelesaikan masalah ini, karena banyak pelaku yang kembali melakukan tindak pidana setelah bebas, atau bahkan melakukan tindak pidana di dalam penjara. Saya berpendapat bahwa diperlukan solusi-solusi lain yang lebih bermanfaat, proporsional, dan restoratif, seperti alternatif pemidanaan selain penjara, yang telah saya bahas di artikel sebelumnya.
Sistem penjara dan permasalahannya
Sistem penjara menunjukkan keberpihakan terhadap perilaku kriminal (kecuali tahanan politik) karena penjara tidak efektif dalam mencegah dan mengurangi kejahatan, tidak efektif dalam merehabilitasi dan memperbaiki perilaku pelaku, dan tidak adil bagi orang miskin, minoritas, atau kelompok tertentu. Beberapa fakta dan data yang dapat mendukung argumen ini adalah:
- Penjara tidak efektif dalam mencegah dan mengurangi kejahatan, karena banyak narapidana yang kembali melakukan kejahatan setelah bebas, atau bahkan melakukan kejahatan di dalam penjara. Menurut data dari Badan Pemasyarakatan, tingkat recidivisme (kambuhnya kejahatan) di Indonesia mencapai 30-40 persen. Selain itu, penjara juga menjadi tempat bagi narapidana untuk belajar melakukan kejahatan yang lebih profesional, karena mereka berinteraksi dengan pelaku kejahatan lainnya, atau mendapatkan akses ke informasi dan jaringan kejahatan. Kan tidak adil jika negara membiayai sekelompok orang meningkatkan kemampuan melakukan kejahatannya.
- Penjara tidak efektif dalam merehabilitasi dan memperbaiki perilaku pelaku, karena banyak narapidana yang tidak mendapatkan bimbingan, pendidikan, keterampilan, atau kesempatan yang cukup untuk mengubah hidup mereka. Menurut data dari Badan Pemasyarakatan, hanya sekitar 10 persen dari 136.145 narapidana yang mendapatkan bimbingan keagamaan, 5 persen yang mendapatkan pendidikan formal, dan 3 persen yang mendapatkan keterampilan kerja. Selain itu, penjara juga memiliki kondisi dan fasilitas yang buruk, seperti over kapasitas, kurangnya makanan, minuman, kesehatan, pakaian, dan kebersihan, serta adanya kekerasan, penyakit, dan kematian.
- Penjara tidak adil bagi orang miskin, minoritas, atau kelompok tertentu, karena mereka lebih rentan untuk ditangkap, ditahan, dihukum, dan dipenjara daripada orang kaya, mayoritas, atau kelompok lain. Menurut data dari Badan Pemasyarakatan, sekitar 70 persen narapidana di Indonesia adalah orang miskin yang tidak mampu membayar biaya hukum, atau tidak memiliki akses ke bantuan hukum. Selain itu, penjara juga menjadi tempat bagi diskriminasi dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap narapidana yang berasal dari kelompok minoritas, seperti etnis, agama, ras, atau orientasi seksual.
Pengabaian Hak Orang Miskin
Sistem penjara menunjukkan pengabaian hak orang miskin, karena penjara membutuhkan biaya dan anggaran yang besar, yang seharusnya dapat dialokasikan untuk meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup orang miskin. Penjara juga mengabaikan hak orang miskin untuk mendapatkan keadilan, perlindungan, dan partisipasi dalam sistem hukum. Beberapa fakta dan data yang dapat mendukung argumen ini adalah: