Lihat ke Halaman Asli

Gadis Itu Seharusnya Tersenyum

Diperbarui: 26 Juni 2015   05:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Cerita ini saya buat 4 minggu lalu di blog pribadi saya. Tujuan saya menulis ulang dikompasiana hanya untuk berbagi pengalaman

Sepertinya biasa, jumat malam adalah waktunya kembali kerumah. Selesai bermain dikostan bersama teman-teman kami kembali kerumah masing-masing. Untuk kali ini teman sekamar saya (reza)yang memebawa motor  dikarenakan saya lagi BP alias Batuk pilek. Sepanjang perjalanan hanyalah kepulan asap, polusi dan kendaraan-kendaraan bergerigi dan yang semakin lama semakin menghacurkan kesehatan bumi ini. Entah sampai kapan ini akan berakhir. Mungkin ketika Tuhan menegor :).

Sampai lah saya dan reza di perempatan lampu merah cawang. Pertemuan antara jalan raya kalimalang, cawang dan otista.  Dan diatas perempatan tebentang jalan layang tol JOR lingkar dalam jakarta. Sebuah pos polisi kecil di perempatan jalan dan seorang polisi didepan pintu melihat keadaan perempatan ini tanpa ada yang dilakukannya. Bukankah seharusnya tugasnya mengatur kelancaran jalan ini? entahlah, ini yang disebut fenomena kehidupan jakarta bahkan Indonesia. seorang polisi yang memakan gaji buta. Diujung trotoar sebelah kiri jalan kami termenung seorang gadis kecil dengan rambut pendek dan sedikit pirang dan mengenakan baju seadanya menengadahkan tangan. Terpancar senyuman datar tanpa ekspresi. Mimik wajah yang menandakan kelelahan dan keibaan terhadap diri sendiri. Wajah imut dan cantik gadis kecil ini terhapus oleh kotoran dan debu yang menempel diwajahnya. Sesaat kemudian ia beranjak dari tempatnya duduk. Mulai berjalan menghampiri motor demi motor untuk meminta belas kasihan dan sedikit rezeki yang mereka miliki untuk dirinya. Namun tak ada yang memberikan sepeser pun rupiah kepada dirinya. Kemudian sampailah ia di motor kami. Hati ku mulai berbicara antara belas kasihan dan peraturan daerah yang melarang memberi sedekah ke anak jalanan. Saya melihat disebelah kiri ada polisi yang sedang berjaga. Yang sayaa takutkan jika saya memberikan uang kepada gadis ini, polisi akan menghampiri saya dan mempidanakan saya. Namun hati ini tidak tega melihat gadis kecil ini. Maka tanpa takut, saya mengambil sedikit uang kemudian memberikannya kepada anak kecil itu.  Ekspresi mukanya tetap datar. Sesaat kemudian saya melihat pak polisi berjalan hendak menghampiri saya bertepatan dengan lampu hijau menyala. Beruntunglah posisi motor kami berada di paling depan antrian motor di lampu merah tersebut. Langsung si-reza meng-gas motor. Alhamdulillah Selamatlah saya dari terkaman polisi itu.

Sepanjang perjalanan saya masih memikirkan kejadian tadi. Bukanlah keinginan gadis kecil itu untuk berada disana, bukan lah kehendak gadis kecil itu untuk meminta belas kasihan dari orang orang lain. Bukanlah kemauan gadis kecil itu untuk menengadahkan tangannya meminta belas kasihan dari orang lain. Namun, takdirlah yang membawa kesana. Dan juga bukanlah keinginannya untuk mendapat takdir itu.

Fenomena ini dapat diubah andaikan semua orang mau peduli terhadap orang-orang sepertinya, terutama pemerintah. Pemerintah hanya sibuk mengurus urusan rumah tangga kedaerahan tanpa melihat fenomena dilapangan. Mereka hanya sibuk memikirkan perut sendiri dan bagaimana menyenangkan anak dan istri tanpa memikirkan orang lain. Meraka hanya berkoar-koar untuk menuntaskan kemiskinan dan anak jalanan. Mereka hanya dapat membuat peraturan-peraturan, perda perda dan undang-undang yang ujung-ujung peraturan tersebut hanya tertulis diatas kertas tanpa ada realisasi yang menjadi nyata. Dulu mereka berteriak dengan lantang akan mendukung kesejahteraan "Wong Cilik" dan mengentaskan kemiskinan dan anak jalanan dari ibukota. hahaha omongan belaka. sadarlah kawan-kawan yang "tinggi". Naifnya kalian hai pejabat!!

Aulia Afrisyaldi
Universitas Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline