Manusia itu dinamis.
Meskipun ada beberapa individu yang dapat memberikan keputusan beberapa menit saja ketika disodorkan oleh 2 pilihan, kita tidak bisa menyangkal, bahwa kita semua memiliki moment di mana kita adalah mahkluk yang sangat 'plinplan'.
Sebagai contoh, hubungan antara satu sama lain.
Teman yang begitu akrab, dengan chat yang dikrimkan tiap hari-nya, kirim pap kegiatan sehari-hari, dan janjian setiap minggu di cafe beken. Pertemanan se-erat itu saja, ketika sudah lulus, dapat berubah menjadi hubungan yang mana mereka hanya akan menjadi sekedar penonton konten media sosial satu sama lain saja. Penonton tanpa interaksi, tidak ada pemberian komentar dengan nada bercanda, atau menanyakan "Kapan nih, kita hangout lagi?" karena memang, sudah sibuk dengan dunia masing-masing.
Jalan sudah tidak sama.
Hubungan tersebut, terlihat sayang untuk tidak dilanjutkan. Tapi yah, begitulah hidup. Masih bagus jika suatu hubungan tersebut berakhir dengan baik, tidak diakhiri dengan pertengkaran, atau saling block. Bagaimana dengan hubungan yang awalnya dimulai dengan janji manis, rencana menikah, rencana siapa yang mengurusi buah hati jika mereka berdua bekerja, yang kemudian berakhir karena adanya orang ketiga? Yang sengaja satu pihak izinkan masuk ke dalam hubungan tersebut, karena keegoisan satu pihak yang bersangkutan?
Begitulah manusia. Jika dirasa seorang teman sudah 'memiliki jalan yang berbeda dengan saya' maka, mereka akan menjalani hidup yang lain, dengan rutinitas yang lain dan teman yang baru. Jika seseorang yang sudah berkomitmen dengan orang lain, melihat adanya calon pasangan yang lebih baik, diam-diam ia akan berkhianat dan menjadi pemantik api munculnya kehancuran hubungan yang telah ia bangun bertahun-tahun.
Manusia begitu mudah dalam membalikkan hati, mau itu karena situasi dan kondisi, atau karena pengaruh orang lain.
Hal ini bahkan kita anggap Sebagai suatu hal yang wajar. Namun, alasan saya disini menulis artikel ini, adalah karena saya memiliki sebuah ketakutan, atau keresahan.
Seorang Komika, Raditya Dika, pernah mengatakan bahwa karyanya bersumber dari segala keresahan dari hidupnya. [1]