Sudah lebih dari satu dekade semenjak kemunculan pertamanya 2008, novel "Bilangan Fu" karya Ayu Utami ini sampai sekarang tetap menjadi salah satu novel favorit bagi mereka yang ingin pemanasan otak. Novel fiksi setebal 552 halaman ini kaya akan pembahasan mengenai isu- isu sosial, spiritual, dan kebudayaan yang kompleks. Hal ini termuat dalam pembagian besar yang sekaligus sebagai inti dari kritikan 3M modernisme, monotheisme, militerisme yang banyak disajikan pada percakapan antara 2 toko sentral.
Novel ini berkisah tentang seorang pemanjat tebing asal kota bernama Sandi Yuda atau kerap disapa Yuda yang mengalami pengalaman batiniyah atau spiritualitas saat ia dan rekan-rekannya melakukan ekspedisi pemanjatan di sebuah tebing bernama Watugunung yang terletak pada desa Sewugunung. Pada saat proses pemecahan teka-teki pengalaman spiritualitasnya, ia bertemu dengan seorang mahasiswa geologi yang juga pemuda dari desa Sewugunung bernama Parang Jati, kelak mereka akan menjadi sahabat-saudara sedarah meskipun mereka kerap kali pada posisi yang bersebrangan.
Yuda merupakan salah satu penggambaran modernisme yakni paradoks dalam dirinya mengenai kebenciannya sebagai orang kota pada hiruk pikuknya kehidupan kota sehingga ia melarikan diri ke tempat sepi sedangkan ketika ia telah sampai di desa, ia benci dengan pemikiran para penduduk desa yang percaya pada tahayul, ia sibuk melakukan pemanjatan kotor bersama rekannya dengan paku dan bor yang dapat merusak alam hanya untuk mencari kesenangan.
Sedangkan tokoh Parang Jati sebagai penggambaran pada kritikan monotheisme, perselisihan antara Parang Jati dengan pemuda bernama Kupu-Kupu, yang nantinya diketahui ternyata ia merupakan adik Parang Jati. Peristiwa hilangnya mayat penduduk desa Sewugunung yang sakti menjadi awal mula konflik antara kelompok desa percaya takhayul dengan kelompok monotheisme serta awal mula rekatnya hubungan Yuda dan Parang Jati.
Kupu-Kupu dengan pemikiran fanatisnya terhadap agama menganggap semua yang berbeda dengan kepercayaannya merupakan suatu dosa atau kesalahan, seperti pandangannya terhadap takhayul. Sedangkan Parang Jati yang humanis beranggapan dengan adanya dongeng, takhayul, dsb sebagai perlindungan dan penghormatan untuk alam agar para manusia-manusia yang rakus tidak merusaknya. Hal ini berbanding terbaik dengan doktrin mengenai ajaran monotheisme yang menerapkan kebenaran pasti dengan melakukan kekerasan sehingga mengganggu kedamaian dan bertabrakan dengan nilai-nilai yang dianut Parang Jati. Pada bagian bab inilah Ayu Utami menjabarkan bilangan fu yang berbentuk seperti cangkang siput.
Karya sastra pada umumnya menggambarkan keadaan sosial di sekitarnya, tak terkecuali pada novel "Bilangan Fu" yang mengambil latar pada era reformasi sehingga munculah kritikan untuk militerisme atau kekerasan. Kekerasan pada umumnya digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan dan jika dilihat terdapat korelasi diantara ketiganya dengan militerisme atau kekerasan sebagai tombak atau gongnya. Penggambaran militerisme ini, terdapat pada tokoh Suhubudi, yang merupakan ayah angkat dari Parang Jati. Suhubudi, ia memerintahkan kepada Parang Jati dan Dayang Sumbi bisu yang notabene sebagai anak dan istrinya untuk memainkan sirkus orang aneh, meskpun Parang Jati ingin memberontak akan tetapi ia tidak bisa karena menurutnya ia tidak punya hak semacam itu. Hanya anak kandung seperti Sangkuryang yang dapat melakukannya sedang, anak pungut seperti dia tidak punya hak begitupun juga dengan si istri dan makhluk-makhluk buruk rupa lainnya yang tergabung dalam Suduki klan Menurut saya hal tersebut bagian dari kekerasan meskipun tidak pada fisik, dan Suhubudi memiliki kekuasaan atas semua makhluk itu tak terkecuali dengan istri dan anaknya. Selain Suhubudi, terdapat Kupu-Kupu dan penambang batu juga digambarkan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan.
Terdapat beberapa hal menarik sekaligus problem bagi orang yang pertama kali membaca karya sastra semacam ini, gagasan dan pembicaraan seberat itu dikemas dengan apik meskipun terkadang saya masih bingung terkait alur penceritaan yang maju-mundur dengan disisipi cerita sejarah seperti Babat Tanah Jawi, Nyi Roro Kidul, Sangkuryang, masa kecil Parang Jati yang menjadi provokator halus, peneroran dan pembantaian pemuka masyarakat atau dukun, filosofi penggambaran estetika pada wayang yang memiliki dada cekung bukan cembung untuk ksatria, dsb membuat pengetahuan serta pemahaman baru yang menyenangkan hingga melupakan pencetus adanya pembahasan mengenai sisipan cerita tersebut. Selain itu banyak kata-kata yang cukup sulit dicerna sehingga membutuhkan waktu lebih untuk memahaminya, seperti pada pembahasan mengenai seksualitas dibuat menarik dengan hewan moluska serta ubur -ubur sebagai model penggambaran yang sembat membuat kebingungan dan ketidak nyamanan saat membahas bentuk Watugunung seperti fajri atau vagina. Dengan membaca novel ini banyak memberikan pemikiran dan pemahaman baru mengenai takhayul, ritual, definisi kebenaran-dunia tidak hanya berada pada dua sisi hitam dan putuh dan telah dipaparkan oleh pemikiran Parang Jati yang humanis-idealis. Bagaimana? Apakah kalian tertarik untuk membaca novel ini?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H