Lihat ke Halaman Asli

Srikandi dari Gundukan Sampah

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Aku mengenal sesosok wanita luar biasa. Bagi kebanyakan orang, dia bukanlah siapa-siapa. Tapi bagiku, dialah sang sumber inspirasi. Kisah hidupnya mencerminkan semangat dan kepribadiannya yang tangguh, bak seorangpejuang sejati.

Usianya kira-kira baru 30-an tahun. Perawakannya kecil, cenderung kurus, bahkan. Tapi, di balik tubuh yang tampak ringkih itu, tersimpan daya juang dan semangat yang berkobar, yang tak mau terkalahkan oleh takdir kehidupan.

Ya, dia memang seorang pejuang bagi keluarga kecilnya. Seorang Srikandi, yang rela membanting tulang demi kesejahteraan buah hatinya. Tanpa seorang suami di sisinya, ia berjuang sendirian menghidupi dua anak lelakinya, juga kedua orang tuanya yang telah renta. Ditinggal sang suami bertahun yang lalu, saat anak keduanya lahir, membuatnya tak memilih-milih pekerjan, asalkan halal.

Memang, sejak kecil dia sudah sangat akrab dengan kehidupan yang serba susah. Desa kelahirannya adalah sebuah desa terpencil yang kering dan tandus, terletak di pinggir sebuah kota kabupaten tempat tinggalku, di bagian timur Jawa Tengah.

Karena tanah di desa itu tak bisa digunakan untuk bertani, maka sebagian besar penduduk desanya memilih bekerja sebagai buruh, kuli, penjual jajanan keliling, atau merantau ke ibukota Jakarta.

Ia pun sempat bertahun-tahun mengadu nasib di Jakarta, sebagai pembantu rumah tangga. Di Jakarta pulalah, ia bertemu dengan suaminya, yang kala itu bekerja sebagai seorang buruh pabrik. Setelah menikah di kampung halaman, pengantin baru itu kembali ke Jakarta.

Ketika mengandung anak pertama, ia memutuskan untuk pulang ke desa sampai saat persalinan. Begitu sang bayi sudah bisa ditinggal, dia kembalike Jakarta untuk bekerja. Dan dengan alasan biaya hidup di Jakarta amat mahal, maka anaknya dititipkan di bawah pengasuhan orang tuanya. Ia dan suami hanya beberapa kali dalam setahun pulang kampung untuk menengok si kecil. Tak terbayangkan rindu yang harus ditanggung ibu muda itu karena tak bisa bersama sang buah hati.

Beberapa tahun kemudian, ia akhirnya memutuskan untuk kembali ke desa. Suaminya tetap tinggal di Jakarta untuk mengais rezeki, dan hanya pulang saat Lebaran tiba.

Tinggal bersama orang tua, tak membuatnya lantas berpangku tangan. Justru ia trenyuh menyaksikan keadaan ekonomi kedua orang tuanya. Mereka tinggal di sebuah rumah sangat sederhana, berdinding anyaman bambu, dan berlantai tanah. Bagian belakang rumah, dekat dapur, dijadikan kandang sapi dan kambing, satu-satunya harta berharga yang mereka punya.

Saat itu, bapaknya masih kuat bekerja sebagai seorang pemulung barang bekas, yang setiap hari harus keluar masuk kampung mencari rongsokan. Masih pula siang harinya harus mencari rumput untuk makan ternaknya. Padahal, si bapak sudah tua.

Maka, ia bertekad untuk membantu kedua orang tuanya. Ia harus berpenghasilan. Ia pun mulai mencari pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga, di kompleks dekat desanya. Dan Tuhan rupanya telah mengaturnya sedemikian rupa, sehingga akhirnya ia bekerja di rumahku. Aku yang saat itu masih serba kerepotan dan bingung menjalankan peran sebagai seorang istri dan ibu baru, juga sedang beradaptasi dengan rumah kontrakan yang baru pula, merasa sangat terbantu oleh kehadirannya.

Semasa bekerja, ia termasuk orang yang disiplin dan berdedikasi. Walaupun pekerjaannya ‘hanya’ pembantu, tapi ia tahu benar bagaimanamelaksanakan tugasnya dengan baik dan penuh tanggung jawab. Dia juga cerdas dan cukup berwawasan luas, sehingga aku tak khawatir membiarkan anakku diasuh olehnya. Pokoknya, secara umum, aku dan suamiku puas dengan cara dan hasil pekerjaannya.

Tak lama ia bekerja di rumah kami, karena selang sebentar ia hamil anak kedua. Dengan kondisi hamil itu, dia masih tetap bersemangat bekerja membantu keluargaku. Barulah saat kandungannya mencapai usia sembilan bulan, aku dan suami ’memaksa’ dia untuk berhenti, karena kami tak tega melihatnya terus bekerja dengan perutnya yang semakin gendut itu.

Setelah itu, lama kami tak mendengar kabar darinya. Kami pun telah pindah ke kompleks yang lain, menempati rumah kreditan kami.

Enam tahun yang lalu, akhirnya kami kembali bersua dengan dirinya. Pagi itu, tak sengaja ia melintas dengan sepedanya di depan rumah baru kami. Bukan pertemuan tak sengaja itu yang membuat kami terkejut. Tapi, melihat bagaimana penampilan wanita muda itulah yang membuat kami terkesima tak percaya.

Ia, dengan kaos lengan panjang dan topi caping, tersenyum lebar seraya menuntun sepeda ontel bututnya. Dan di keranjang bambu yang dipasang di sisi kiri dan kanan sepeda itu, tersembul berbagai barang-barang bekas, juga sampah-sampah plastik! Astaga, jadi pemulungkah dia?

“Ah, memang kenapa kalau aku jadi pemulung? Toh ini pekerjaan halal, kan? Daripada nganggur!” tukasnya.

Berminggu-minggu kemudian, ia bertandang ke rumah dengan kedua anaknya. Si sulung yang hampir masuk SMP, dan si bungsu yang sebentar lagi sekolah di TK. Dan mengalirlah kisah itu dari mulutnya, sebuah kisah pilu, yang kemudian mengantarkannya menjalani pekerjaan seperti sekarang ini

Ternyata, tak lama setelah kelahiran anak keduanya, ia tak pernah lagi dinafkahi oleh sang suami. Pria itu tak pernah lagi pulang ke desa menengoknya dan anak-anak mereka, pun tak kunjung berkabar berita, menggantung status sang istri dalam ketidakpastian.

Tapi, ia tak mau ambil pusing. Lama-kelamaan, ia berusaha untuk tak peduli akan hal itu. Ia tak mau lagi mengantungkan harapan pada sang suami, yang entah apa maunya itu. Ia berusaha ikhlas dan tabah menghadapi nasibnya itu. Ia hanya memfokuskan hati dan pikirannya untuk kedua buah hatinya. Ia memutar otak, bagaimana caranya ia bisa menghidupi dan menyekolahkan kedua anak laki-lakinya itu, tanpa bantuan siapapun.

Ah, perempuan yang kuat!

Mungkin aku, atau wanita lain, akan merasa hancur dan putus asa bila harus berhadapan dengan kondisi semacam itu.

Tapi, tidak dengan wanita tangguh itu!

Ia tak mau diam di tempat dan sibuk menyesali nasibnya. Seperti yang pernah diceritakannya padaku, dia tak peduli apakah sang suami akan kembali padanya atau tidak. Ia tak memusingkan statusnya yang tak jelas itu, apakah dicerai atau tidak. Ia juga tak mau menagih-nagih haknya yang tak ditunaikan sang suami.

”Biarlah, aku menjalani ini sendirian,” katanya. ”Yang aku pikirkan cuma bagaimana caranya supaya anak-anak bisa tercukupi hidupnya, meski aku harus jadi pemulung seperti ini.”

Lalu, mengapa harus menjadi pemulung, sih? Mengapa tak menjadi pembantu rumah tangga saja seperti dulu? Bukankah jauh lebih enak mengerjakan pekerjaan rumah tangga, daripada berpeluh-peluh mengais-ais tempat sampat yang bau dan kotor luar biasa itu?

Tahukan Anda, apa pertimbangannya dalam memilih profesi itu?

Tak lain dan tak bukan, adalah demi dua anaknya, terutama si bungsu. Sebagai seorang ibu yang seorang diri membesarkan kedua anaknya, ia tahu benar bahwa anak-anaknya butuh perhatian dan curahan kasih sayang yang lebih besar darinya. Ia harus bisa berperan sebagai seorang ibu sekaligus bapak. Ia ingin memberikan sebanyak mungkin waktunya untuk si bungsu.

Profesi yang ditekuninya sekarang memberikan keleluasaan untuk itu. Ia bebas berangkat dan pulang kerja kapan saja ia mau. Ia bisa lebih fleksibel mengatur jadwal kerjanya, suatu hal yang tak ia dapat bila bekerja di bawah seorang majikan.

Pagi hari, ia masih bisa menyiapkan segala keperluan anaknya. Ia membuat srapan, menyiapkan mandi air hangat, dan melepas anak-anak sekolah. Barulah setelah itu berangkat memulung. Siang hari, ia sudah pulang dengan membawa rupiah. Sorenya, masih bisa memasak sesuai permintaan anak-anaknya, sembari menunggu si bungsu pulang mengaji.

Jadi, setiap pagi, setelah anak-anak berangkat ke sekolah, ia mulai mengayuh sepedanya. Disusurinya jalanan dengan penuh semangat, berharap dapat mengais banyak rezeki hari itu. Beruntung, ada beberapa kantor yang sering memberikan kertas-kertas tak terpakai padanya. Juga, dua tiga orang pemilik rumah di sepanjang perjalanannya, yang berbaik hati menyuruhnya mampir untuk mengangkut botol bekas, atau apapun yang laku dijual.

Pemberhentian utama perempuan kuat itu adalah Tempat Pembuangan Sampah Sementara (TPSS) di dekat sekolah anak-anakku. Bersama pemulung-pemulung lainnya, ia mengadu nasib, mengadu keberuntungan di sana.

Tak peduli bau busuk yang menguar dari gundukan bukit-bukit aneka sampah itu, dengan sabar dikoreknya jengkal demi jengkal sampah. Sudah nyaris tak ada lagi rasa risih ataupun jijik karena harus bersentuhan dengan tumpukan limbah itu. Belum lagi, terkadang harus berlapang dada bila ada rekan sesama pemulung menyerobot lahan kerjanya. Ia pernah bilang padaku, bahwa dia tidak mau bertengkar dengan rekan-rekannya. Ia memilih mengalah daripada harus beradu mulut.

Menjelang tengah hari, dikumpulkannya barang temuannya dalam karung dan keranjang bambu. Lalu, dibawanya barang-barang rongsokan dan sampah yang masih bisa dijual itu ke pangkalan barang bekas. Pemilik pangkalan nanti akan menimbang dan menghargai barang-barang itu, sesuai harga yang berlaku di pasaran.

Rata-rata, ia menerima uang sekitar Rp 15.000,00 sampai Rp 20.000,00. Bila sedang baik nasibnya, misal iamenemukan banyak barang yang berharga lumayan, maka pendapatannya bisa mencapai Rp 25.000,00. Tapi, tak jarang, ia hanya bisa membawa pulang uang paling banyak Rp 10.000,00.

Cobalah kita bayangkan, betapa tak sepadannya hasil keringat dari jerih payahnya mengais sampah. Setelah bersusah payah, berjibaku dengan gundukan limbah yang menjijikkan dan bau bukan kepalang, hanya uang sebesar itu yang diperolehnya! Bagi sebagian besar kita, tentu jumlah itu mungkin bahkan kadang tak cukup untuk belanja bahan masakan kita sehari-hari, kan?

Tapi, baginya, itulah rezeki yang telah diberikan Tuhan padanya. Sedikit atau banyak, ia amat bersyukur karena masih berkesempatan bekerja untuk kedua buah hatinya. Tekadnya untuk mandiri menghidupi keluarganya, masih bisa dijalankannya dengan baik. Baginya, yang terpenting, Tuhan masih memberikan kesehatan dan umur panjang, agar ia senantiasa dapat bekerja demi kedua anaknya, dan kedua orang tuanya.

Ia juga memiliki cita-cita, anak-anaknya bisa mengenyam pendidikan setinggi mungkin. Walaupun dengan kemampuan dan keuangan seadanya, ia mengupayakan agar anak-anaknya tak putus sekolah. Meskipun harus memilih sekolah negeri di desanya yang terkesan apa adanya, namun itu sudah cukup. Bahkan, anak sulungnya dimasukkan ke sekolah gratis dengan program pembelajaran setingkat SMP, atau biasa disebut SKB.

“Yang penting, anakku bisa sekolah,” begitu tekadnya.

Yah, semoga saja perempuan hebat itu dapat mewujudkan segala impiannya itu. Semoga Tuhan memberkahi kehidupannya yang bersahaja. Dan semoga ia tetap setia dengan tekadnya yang membaja dan meneruskan pejuangannya tanpa kenal putus asa.

Teruslah menjadi wanita yang kuat. Teruslah menjadi sumber inspirasi bagiku, dan semoga bagi kaum wanita yang lain, untuk selalu berdaya juang dan tak mudah kalah oleh keadaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline