Lihat ke Halaman Asli

Semangat Pak Tua Penjual Gerabah

Diperbarui: 25 Juni 2015   08:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhir Musim panen tepatnya bulan Februari 2012, sebagian petani di ujung utara wilayah kab. Gunungkidul, Ngawen, telah memanen sebagian besar hasil dari tanaman yang telah ditanam. Antara lain palawija dan padi. Tak heran jika banyak di halaman rumah di daerah tersebut banyak dijemur hasil bumi. Di panas yang terik, kira – kira jam 14.00 dari ujung jalan terlihat seorang pak tua dengan celana pendek hitam yang berjalan tertatih dengan keranjang pikulan di pundaknya, dan dibelakangnya seorang nenek yang mungkin istrinya yang jalanya juga pelan. Pak tua tersebut mungkin berumur sekitar 85tahunan dilihat dari fisiknya yang sudah renta dan wajah yang sepuh. Yang membuat empati ialah pak tua tersebut membawa keranjang pikulan di kanan kirinya yang kelihatannya berat, dan ternyata isi dari keranjang keranjang pikulan tersebut adalah gerabah yang terdiri dari cowek (Piring Dari tanah Liat biasanya untuk membuat sambal bawang), dan periuk (Tempat masak dari gerabah). Tubuhnya yang hitam kurus kering juga tidak memakai baju sehingga terlihat kulit tipis yang membungkus tulang. Dan kakinya tidak memakai alas walaupun jalan di aspal (Hebat, mungkin sudah terbiasa). Sedangkan nenek yang setia menemani di belakangnya mungkin juga seumuran dengan beliau, dengan menggunakan jarik dan kebaya model lama dan membawa bungkusan yang digendong di belakang.

Suara beliau yang serak terdengar nyaring menawarkan dagangan yang dibawanya, “Cowek - Cowekipun Bu…” walaupun gak ada warga yang berniat untuk membeli. Di daerah kami sebagian masyarakatnya sudah beralih ke peralatan masak yang lebih efisien dari bahan alumunium atau besi dan hanya beberapa rumah tangga tertentu saja yang memakai gerabah. Walaupun begitu beliau dengan semangatnya masih tetap berjalan tertatih untuk menawarkan gerabah tersebut.Karena penasaran saya mencoba untuk membeli gerabah yang dijualnya. Setelah beliau berhenti di tempat yang teduh dengan semangatnya beliau tersebut menjelaskan barang – barang dagangan yang dibawanya. Di dalam keranjang lusuhnya terdapat 5 buah cowek dan 2 periuk gerabah, Seplastik Kacang Tanah Kulit, Mantel plastik murah, kaos serta bungkusan kecil rambak. Yang bikin salut eyang yang satu menawarkan barang ke saya dengan keramahan bahasa jawa halus dan senyuman iklas, seperti tidak ada beban dalam hidupnya. Beliau dengan jujur bilang bahwa harga kulakan untuk 1 buah cowek 4000 dan periuk 7000, beliau mendapatkan untung penjualan sekitar 1.000 – 2000 per gerabah. Yah mungkin keuntungan yang didapat perharinya kurang dari 10.000, itupun kalau terjual semua. Misalnya tidak terjual, kadang kalanya beliau mau menukarkan gerabahnya dengan hasil bumi seperti jagung atau kacang tanah dan mungkin kacang tanah yang ada di keranjangnya tersebut merupakan hasil barter dengan penduduk sekitar.

Beliau bukan berasal dari Daerah kami, beliau berasal dari Daerah seberang bukit. Harus berjalan 10 km untuk mencapai daerah kami dari daerah beliau, dengan jalan yang naik turun bahkan ada yang memiliki kemiringan 70 derajat. Untuk kulakan gerabahnya beliau mengambil dari daerah bayat dan itu lebih jauh lagi. Butuh usaha untuk mencapai daerah kami apalagi dengan jalan kaki dan membawa beban berat. Walaupun jalan sudah beraspal mulus,

tapi kakek yang satu ini tetap setia jalan kaki untuk menawarkan gerabahnya, yah walaupun dengan jalan yang tertatih. Kakek tua ini sudah berjualan gerabah sejak dulu, Dulu ketika saya SD sering bertemu dengan kakek ini di jalan raya. keluarga saya pun pernah membeli tempat wudhu padasan gerabah beliau dan sampai sekarang gerabah tersebut masih digunakan.

Memang benar hidup adalah perjuangan, apalagi untuk mencari sesuap nasi bagi sebagian besar masyarakat kecil pedesaan di Negara ini. Lebih banyak lagi kondisi pak tua – pak tua lain yang mungkin sama kondisinya atau malah lebih buruk. Perhatian dari Pengayom Negara ini belum menyentuh kondisi beliau. Walaupun begitu Beliau tidaklah mengeluh untuk menyalahkan siapa dan siapa. Beliau mengerti bahwa hidup sudah ada yang mengatur. Kaya Miskin merupakan anugrah dari yang maha kuasa, hanya tinggal menjalani dan berusaha untuk menjalani lebih baik. dibalik rasa Kasihan timbul juga rasa salut terhadap beliau. Beliau tidak pernah meminta – minta kepada orang lain dengan kondisi seperti ini. Beliau tetap berdiri tegak untuk berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Usia yang seharusnya sudah digunakan untuk istirahat, beribadah dan menghabiskan waktu bersama dengan anak cucu, karena kondisi Kakek ini berjuang untuk mencari sesuap nasi dengan cara yang Halal. Wajah yang sepuh tidak menutupi semangat dan keiklasan untuk berjuang bertahan hidup. Disetiap perjalanan beliau sang istri selalu di belakang menemani, uang yang didapat oleh sang kakek langsung diberikan kepada istri beliau. Kesetiaan dari sang istri juga juga memberikan pelajaran bahwa kesetiaan tidak mengenal waktu, sedih – bahagia sampai ujung usia pun dijalani bersama - sama.

NB : First Post, Masih acak acakan :-)



Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline