Lihat ke Halaman Asli

Khitan bagi Perempuan Ditinjau dari Kesehatan dan Islam

Diperbarui: 24 Juni 2015   11:26

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Praktek khitan atau penyunatan para gadis masih berlangsung di beberapa Negara Arab seperti Mesir, Sudan, Yaman dan sebahagian Negara Teluk dan bahkan di Indonesia sekalipun. Arti penting yang diberikan oleh keperawanan dan selaput darah yang utuh pada masyarakat, ini merupakan sebuah alasan mengapa khitan perempuan masih dijalankan secara luas meski tumbuh kecendrungan saat ini untuk meninggalkannya karena dianggap ketinggalan dan membahayakan.

Dibalik makna penyunatan terdapat kepercayaan bahwa dengan membuang bagian-bagian tertentu dari organ kelamin luar seorang gadis, hasrat seksual bisa dikurangi. Ini mengharuskan seorang wanita yang mencapai usia rawan puberitas dan keremajaan untuk menjaga keperawanannya serta kehormatannya dengan sangat hati-hati.

Khitan sering dilaksanakan pada anak-anak perempuan saat berusia tujuh atau delapan tahun (sebelum memasuki masa menstruasi). Praktek khitan pada masa dahulu atau di pedesaan lebih mengandalkan tenaga dukun setempat sehingga banyak terjadi kasus komplikasi yang muncul akibat operasi primitif yang membahayakan jiwa seorang gadis.

Bagi beberapa dukun khitan yang bodoh percaya bahwa penyunatan yang efektif memerlukan potongan yang dalam dengan sebuah silet untuk menjamin pemotongan klitoris yang sempurna agar tidak ada bagian organ sensitive seksual yang tersisa. Dengan demikian pendarahan yang banyak menjadi peristiwa yang biasa bahkan terkadang mengakibatkan kematian. Para dukun khitan tidak memiliki pengetahuan sedikitpun tentang penyucian kuman sehingga terjadi peradangan sebagai akibat operasi. Fenomena tersebut menjadi tekanan psikologis sepanjang hidup dari prosedur kejam ini yang konsekuensinya meninggalkan bekas dalam kepribadian si anak sehingga ia menginjak usia remaja dan dewasa.

Walaupun demikian mayoritas keluarga masih menjalankan operasi khitan yang kejam dan ganas terhadap anak-anak perempuan, karena sebagian besar dari mereka tidak mengetahui bahaya yang ditimbulkan atas praktek khitan dan kebanyakan dari mereka berpendapat bahwa khitan itu baik bagi kesehatan seseorang sekaligus mendukung kebersihan dan kesucian. Meski kenyataannya persentase wanita berpendidikan yang melaksanakan khitan hanya 66, 2 % bila dibandingkan dengan 97, 5 % dari wanita-wanita yang tidak berpendidikan, namun yang berpendidikan pun tidak menyadari bahwa pemotongan klitoris ini mempengaruhi kesehatan seksual dan psikologis mereka.

Sejarah khitan bagi perempuan muncul dari permulaan sistem kelas, merebaknya paham patrirkhi dan sistem perkawinan yang hanya membolehkan perempuan kawin dengan satu laki-laki. Sejak awal, komunitas masyarakat penghambaan telah memahami konsep patriarkhi tidak bisa berjalan tanpa adanya sistem yang mewajibkan perempuan kawin dengan satu laki-laki, serta pembebasan laki-laki untuk berpoligami. Tidak mungkin menetapkan sistem ini tanpa adanya undang-undang yang mengatur, terperinci mengekang perempuan di dalam dan diluar rumah, sehingga laki-laki tidak ragu akan identitas kebapakan bagi anaknya. Dari sinilah timbul praktek khitan untuk mengurangi gairah seksual perempuan dalam dirinya, sehingga dapat meluangkan waktunya untuk berbakti terhadap keluarga dirumah dan diharapkan daya seksualnya tidak menghambat pekerjaan rumah atau mendorongnya untuk berselingkuh dengan laki-laki yang bukan suaminya.

Praktek khitan pada dasarnya bukan satu-satunya praktek yang legal, moralitas dan ekonomis diantara praktek-praktek yang lain yang sengaja diciptakan untuk menjauhkan perempuan dari kehidupan umum di bawah kekuasaan suami. Dilihat dari undang-undang perkawinan mewajibkan perempuan untuk dirumah dan tidak boleh keluar untuk bekerja yang mendapatkan upah atau bepergian kecuali mendapat izin suaminya. Perempuan harus bekerja dirumah tanpa upah dan bergantung pada suaminya dengan taat dan patuh sebagai kompensasi atas pemberian nafkah. Perempuan juga diwajibkan untuk menutup tubuhnya dengan hijab sehingga tidak ada laki-laki lain yang melihatnya.

Fenomena di atas mungkin bagi sebahagian orang diterjemahkan sebagai bentuk pemaksaan dan kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan yang hanya sekedar pembuktian laki-laki akan patriarkhinya, dan hanya berupa mencantumkan nama bapak pada anak-anaknya dan bukan nama ibunya. Segala bentuk kekerasan terhadap perempuan baik berupa khitan, hijab atau lainnya tidak bersumber dari agama Islam, Nasrani atau lainnya. Akan tetapi tumbuh dari budaya masyarakat penghambaan yang ada di Timur dan Barat.

Beberapa peneliti dalam bidang kedokteran jiwa telah melakukan penelitian terhadap pengaruh khitan terhadap kesehatan jiwa perempuan. Hasil penelitian ini sangat kontroversial dan menimbulkan goncangan pada studi ilmu kedokteran, karena banyak ditemukan kenyataan khitan terhadap perempuan berbahaya. Salah satu penelitian yang pernah dilakukan adalah penelitian dari Dr. Mahmud Karim dan Dr. Rusydi Ammar yang melibatkan 651 wanita yang dikhitan selama masa kanak-kanak, hasil penelitiannya adalah sebagai berikut:

1. Khitan adalah sebuah operasi dengan efek yang membahayakan kesehatan wanita serta menyebabkan kejutan seksual pada diri seorang gadis, juga mengurangi kemampuan seorang wanita untuk mencapai puncak kenikmatan seksualnya dan sedikit berpengaruh dalam mengarungi hasrat seksual.

2. Pendidikan membantu mengatasi meluasnya praktek khitan perempuan karena orang tua yang berpendidikan memiliki kecendrungan yang meningkat untuk menolak operasi bagi putri-putrinya. Sebaliknya, keluarga yang tidak berpendidikan masih menjalankan khitan untuk mematuhi tradisi dan kepercayaan bahwa pembuangan klitoris dapat mengurangi hasrat seksual seorang gadis dan membantunya mempertahankan keperawanan dan kesucian sampai saatnya menikah.

3. Tidak ada kebenaran apapun dalam batasan bahwa penyunatan perempuan membantu mengurangi penyakit kanker pada organ kelamin luar.

4. Penyunatan wanita dalam segala bentuk dan tingkatannya khususnya empat tingkatan yang dikenal dengan pemotongan klitoris selalu disertai dengan komplikasi langsung seperti radang, pendarahan, gangguan pada saluran kencing, pembengkakan yang dapat menghalangi keluarnya kencing atau pembengkakan vagina.

5. Menstruasi yang dilakukan oleh gadis-gadis yang disunat (khitan) lebih sedikit daripada yang tidak mengalami operasi khitan.

Kesimpulan penelitian yang dilakukan peneliti di atas seperti tidak ada keraguan untuk menyebutkan bahwa penyunatan adalah sumber tekanan psikologis dan seksual dalam kehidupan perempuan serta menyebabkan berbagai ikatan prioditas seksual menurut kondisi wanita yang bersangkutan.

Kebanyakan orang berpendapat bahwa khitan perempuan baru dimulai saat lahirnya Islam. Padahal kenyataannya penyunatan sudah dikenal luar di beberapa daerah sebelum periode Islam, termasuk di semenanjung Arab. Nabi Muhammad SAW mencoba menentang kebiasaan ini karena menganggap hal itu membahayakan kesehatan seksual wanita. Hal ini terdapat dalam hadis yang artinya:

Hadis diriwayatkan dari Sulaiman Ibnu Abdur Rahman al-Dimasqi dan Abdul Wahab Ibnu Abdul Rahim al-Asyja’I keduanya telah mengatakan, telah dikabarkan kepada kami dari Marwan telah dikabarkan kepada kami Muhammad ibnu Hasan sebagaimana telah dikatakan Abdul Wahab al-Khufi dari Abdul Malik Ibnu ‘Umair dari Ummi ‘Athiyyah al-Anshariyyah “bahwa seorang perempuan telah dikhitan di kota Madinah, telah berkata Rasulullah SAW kepada Ummi ‘Athiyyah: janganlah kamu menyakiti, karena yang demikian itu (khitan tersebut) adalah bagian terpenting bagi perempuan karena yang demikian itu (klitoris) adalah merupakan sesuatu yang sangat disenangi oleh suaminya.

Hadis di atas dipahami bahwa orang Madinah juga memiliki tradisi mengkhitankan anak perempuan dan Rasul mengingatkan agar dilaksanakan secara hati-hati dan jangan sampai menyakiti. Dalam kitab Musnad Ahmad bin Hambali ditemukan hadis bahwa khitan itu sunnah bagi laki-laki dan dipandang mulia bagi perempuan. Hadis pertama dianggap lemah oleh Abu Daud sendiri dan diklasifikasi sebagai hadis mursal, yaitu hadis yang kehilangan mata rantai riwayat karena tidak ditemukan di antara para sahabat nabi. Selain itu, hadis ini hanya ada dalam Sunan Abu Daud dan tidak ada dalam kompilasi hadis terkemuka lainnya.

Oleh banyak kalangan muslim, hadis ini dianggap rendah kredibilitasnya. Sayyid Sabiq, penulis kitab Fiqh as-Sunnah, menyatakan semua hadis berkaitan dengan sunat perempuan tidak otentik. Muhammad Sayyid Tantawi, Syaikh besar al-Azhar di Mesir, mengatakan bahwa praktek khitan perempuan ini bukan Islami. Praktek ini dilarang Menteri Kesehatan Mesir pada tahun 1996.

Hadis di atas mengindikasikan bahwa khitan perempuan dipandang oleh Rasulullah SAW, sesuatu yang sangat pribadi dan jangan melampaui batas dan menyakiti dalam pelaksanaannya, karena khitan perempuan itu kemuliaan bagi perempuan dan lebih disenangi oleh suami. Sebuah nasehat yang diberikan kepada Ummu ‘Atha’ seorang wanita yang melakukan pekerjaan sebagai penyunat dan pembuat tato “bila kamu menyunat, ambillah hanya sebagian kecil dan sisakanlah dari pemotongan itu sebagian besar klitoris, wanita akan senang dan gembira serta lebih membahagiakan suaminya bila kenikmatannya sempurna.

Khitan sangat erat kaitannya dengan budaya Semitik (Yahudi, Kristen dan Islam). Sampai saat ini khitan masih dilaksanakan oleh penganut Yahudi dan sebagian penganut Kristen dari sekte Koptik. Bagi penganut Kristen di Eropa dan Amerika khitan tidak populer sebagai anjuran keagamaan.

Menurut Islam maupun Koptik Kristen dan terutama Yahudi, khitan bermula pada tradisi Nabi Ibrahim. Patriarkhi Ibrahim AS melakukannya sebagai simbol dan pertanda ikatan perjanjian suci atau dalam bahasa Islamnya mitsaq, antara Nabi Ibrahim dengan Allah. Anjuran khitan, menurut penganut Yahudi dan Koptik Kristen, merujuk kepada penafsiran teks Perjanjian Lama. Khitan menurut tradisi asalnya menunjuk kepada arti dan esensi mendalam lagi suci. Ia merupakan symbol dari suatu pengalaman spiritual yang sangat berarti. Membedah kulit atau membukanya dilambangkan sebagai membuka tabir kebenaran yang selama ini kabur diliputi kabut tebal. Ia merupakan pertanda bahwa “stempel” Tuhan telah ditransplansikan dalam jiwa setiap orang yang melaksanakannya. Penyingkapan tabir tersebut tidak lain adalah perjanjian suci yang diikat oleh Nabi Ibrahim AS dengan Allah yang selanjutnya diikuti oleh pengikutnya.

Lalu apa hubungan semua ini dengan pelaksanaan khitan terhadap perempuan?. Khitan bagi perempuan disebabkan karena tradisi Nabi Ibrahim untuk mengikat perjanjian suci dengan Tuhan, tidak hanya terbatas bagi pria. Menurut penafsiran di atas, khitan (simbol ikatan suci) ini adalah suatu kehormatan bagi yang melaksanakannya, baik bagi laki-laki maupun perempuan.

Hal ini mengindikasikan bahwa penyunatan para gadis bukanlah berasal dari tradisi Islam yang tidak ada hubungannya dengan agama-agama Monoteis tetapi dipraktekkan secara luas dalam masyarakat yang berlatar belakang keagamaan yang beragam, di Negara-negara Timur dan Barat serta di antara orang-orang yang mengimani agama Kristen, Islam bahkan Atheis. Jika diruntut ke masa lalu di bawah kekuasaan Pharaoh dari Mesir Kuno dan Herodotus menyebutkan adanya penyunatan perempuan 700 tahun sebelum Kristen lahir dan inilah sebabnya mengapa operasi yang dilakukan di Sudan bernama “pemotongan Pharaoh”.

Pada tahun 1997 beberapa tokoh agama di Mesir meminta keputusan Menteri Kesehatan, tentang pelarangan khitan bagi perempuan, padahal praktek khitan bagi laki-laki masih diperbolehkan dan menjadi keharusan bagi semua anak kecil laki-laki muslim atau Kristen Katolik. Salah satu tokoh agama membolehkan bahwa khitan bagi perempuan adalah untuk menjaga kehormatannya, karena dengan khitan bisa mengurangkan gairah seksual perempuan. Dengan demikian, seorang perempuan tidak memintanya kepada laki-laki, akan tetapi sebaliknya kaum laki-lakilah yang meminta kepada perempuan, karena seorang laki-laki tidak menyukai perempuan yang memintanya.

Khitan sangat bermanfaat bagi perempuan, menjaga dari kuatnya dorongan seksual klitoris. Jika perempuan duduk di punggung onta, maka syahwatnya tidak akan meledak, karena jika onta tersebut bergerak jalan, maka bangkitlah gairah seksual perempuan dengan gesekan klitoris terhadap punggung onta. Dengan demikian mengapa perempuan-perempuan kota di khitan? Padahal mereka sekarang tidak naik onta, tapi naik mobil, kereta api dan pesawat terbang. Kemudian bagaimana halnya dengan alat kelamin laki-laki yang bergesekan dengan punggung onta? Apakah harus dipotong sebagian alat kelaminnya sehingga tidak bergejolak nafsu seksualnya.

Organ seks dalam perspektif laki-laki dan perempuan adalah hal yang penting, karena ia merupakan sumber kenikmatan seksual, akan tetapi inti sebenarnya bukanlah terletak pada organ seks semata melainkan pada akal manusia sebagai kontrol terhadap dorongan seksual. Ini berarti bahwa akal manusia mengatur gairah seksualnya, kalau tidak maka kita hidup sebagai masyarakat yang tidak berperadaban dimana laki-laki dan perempuan hanya melampiaskan kenikmatan sebagaimana ia mengendarai onta atau sepeda.

Tradisi khitan bagi perempuan merupakan warisan turun temurun dan disertai dengan alasan bahaya kesehatan yang berbeda. Walaupun tidak ada satu pun ayat al-Qur’an yang menyebutkan kewajiban khitan bagi laki-laki atau perempuan, akan tetapi tradisi khitan telah menjamur di seluruh kaum muslimin. Ada perbedaan paradigma ahli fiqh tentang khitan serta hakikat khitan yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim. Sebagian ada yang mengatakan bahwa ia dilahirkan dalam keadaan sudah di sunat. Ada beberapa legenda Yahudi yang tersebar di beberapa wilayah lewat jalan peradaban, antara lain bahwa Tuhan menciptakan para nabi dalam keadaan suci dan sudah di khitan dan kulup yang menempel pada tubuh mereka terlepas ketika dilahirkan sebagaimana tali pusar dan ari-ari bayi. Namun, terbukti bahwa kulup ini tidak terlepas dari tubuh Ibrahim dan tidak diketahui rahasia ini kecuali oleh Sarah saat Ibrahim berumur 99 tahun.

Pada permulaan abad 20, Muhammad Abduh mengecam praktek khitan bagi laki-laki dan perempuan karena diangapnya sebagai tradisi Yahudi yang tidak ada hubungannya dengan Islam. Kemudian pada awal tahun 90-an, Syekh Mahmud Syaltut mendukung pendapat Abduh dengan pendapat bahwa khitan hanya sekedar mencari-cari dalil dan tidak diperintahkan oleh Allah kecuali untuk orang-orang Yahudi.

Pendapat lain bahwa khitan bagi laki-laki dan perempuan adalah syarat wajib bagi kesucian karena tidak diterima sholat seseorang yang tidak disunat, baik laki-laki maupun perempuan. Ada juga yang berpendapat bahwa setan bersembunyi di belakang klitoris perempuan atau dibelakang kulup laki-laki, oleh sebab itu harus dipotong untuk mengeluarkan kelenjar setan. Begitu pula ada yang berpendapat bahwa setan bersembunyi di belakang rambut sekitar alat kelamin, karena itulah jika tidak dikhitan seseorang menjadi tidak suci dan sholatnya tidak diterima oleh Allah.

Agama, jika melirik ajaran-ajarannya yang asli tetap berpihak kepada tujuan kebenaran, persamaan, keadilan, cinta dan kehidupan sehat yang bermanfaat bagi semua orang baik laki-laki atau perempuan. Bukanlah agama sejati namanya bila bertujuan membawa penyakit, memotong anggota tubuh anak perempuan dan membuang sebagian penting dari organ seksualnya.

Jika organ berasal dari Tuhan, bagaimana mungkin ia menyuruh manusia memotong sebuah organ yang Ia ciptakan, padahal organ itu bukanlah penyakit atau cacat. Tuhan tidaklah menciptakan klitoris sebagai organ seksual yang sensitif, yang fungsi satu-satunya agar mendapatkan kenikmatan semacam itu, juga normal dan sah bagi wanita maka dari itu menjadi sebuah bagian yang integral dalam kesehatan mental. Kesehatan fisik dan mental wanita tidak lengkap bila mereka tidak merasakan kenikmatan cinta.

Pada konteks hari ini masih banyak ayah dan ibu yang khawatir membiarkan klitoris tetap utuh di tubuh putri-putrinya. Para orang tua banyak mengira penyunatan adalah usaha untuk melindungi anak gadis mereka agar menghindari kekeliruan penyimpangan yang akan menjerumuskan seorang gadis. Pola pikir seperti ini jelas keliru dan bahkan berbahaya karena yang melindungi seorang anak laki-laki dan perempuan dari berbuat salah, bukanlah pembuangan sepotong daging kecil dari tubuhnya, melainkan pemahaman dan kesadarannya terhadap persoalan yang dihadapi serta tujuan hidup yang berfaedah yaitu tujuan yang memberi arti.

Semakin tinggi kesadaran yang kita capai, lebih dekat pula tujuan hidup kita kepada dorongan-dorongan dan nilai-nilai kemanusiaan, serta semakin besar pula keinginan kita untuk meningkatkan kehidupan dan kualitasnya ketimbang memperturutkan keinginan kita pada kepuasan jasmani dan kenikmatan inderawi, meskipun hal ini juga penting dalam kehidupan.

Dalam kehidupan seorang wanita yang cerdas dan merdeka, seks tidak menempati kedudukan yang tidak sepadan melainkan cenderung sekedar untuk mempertahankan diri dalam batas-batas yang normal. Sebaliknya, kebodohan, penindasan, ketakutan dan segala bentuk pembatasan akan membesarkan norma seks dalam kehidupan para gadis atau wanita, akan menyebabkan membesarnya porsi seks dalam hidupnya yang akhirnya menguasai seluruh atau hampir seluruh kehidupannya.

Secara psikologis, khitan dilakukan untuk mengurangi atau menghilangkan sensitivitas jaringan di daerah genital, terutama klitoris, guna mengurangi gairah seks perempuan, menjaga keperawanan sebelum menikah dan agar setia dalam pernikahan. Nawal al-Sa’adawi, dokter feminis Muslim dari Mesir yang menjadi korban infibulasi, dalam bukunya yang berjudul “al-Mar’ah wa al-Jisn (Perempuan dan Seks)”, mengaitkan sunat atau khitan dengan anggapan masyarakat tentang pentingnya keperawanan dan utuhnya selaput darah. Dia membandingkan sunat perempuan dengan kastrasi atau pengebirian para kasim penjaga harem, yang membuat mereka tidak memiliki gairah seks. Menurut Nawal al-Sa’adawi khitan memiliki dampak langsung adalah rasa sakit, pendarahan, syok, tertahannya urine, serta luka pada jaringan sekitar. Pendarahan dan infeksi dapat mengakibatkan kematian. Dampak jangka panjang termasuk timbulnya kista dan abses, keloid dan cacat, rasa sakit saat hubungan seksual, disfungsi seksual serta kesulitan saat melahirkan. Dari sisi psikologi dan psikologi seksual, sunat dapat meninggalkan dampak seumur hidup dan perempuan dapat mengalami depresi, ketagangan serta rendah diri atau merasa tidak sempurna.

Islam adalah agama yang menjaga integritas manusia, baik secara lahir maupun batin. Pemotongan organ tubuh melanggar integritas ini dan merendahkan ciptaan Allah yang dipandang sempurna dan tidak perlu disempurnakan lagi. Tidak ada perintah dalam al-Qur’an atau hadis agar klitoris dipotong atau dimodifikasi. Ini adalah ciptaan Allah dan karenanya tidak boleh dipotong atau dikurangi ukuran maupun fungsinya.

Sunat perempuan merupakan pelanggaran hak perempuan karena menghapus kenikmatan yang merupakan karunia Allah. Dalam bentuk apapun, sunat telah ada jauh sebelum Islam; dipraktekkan pada zaman Jahiliyyah dan zaman Nabi Muhammad SAW oleh suku-suku tertentu. Sebagai tradisi yang sudah jauh sebelumnya, sunat tidaklah diperkenalkan oleh Islam. Al-Qur’an tidak menyebut tentang sunat, baik bagi laki-laki atau perempuan. Yang ada dalam al-Qur’an adalah ajaran tentang hubungan seks dalam pernikahan yang merupakan kenikmatan bersama sebagai karunia Allah.

Kasus Indonesia praktek menyunat telah dilaksanakan sejak berabad-abad yang lalu, baik terhadap laki-laki maupun perempuan. Tetapi, akibat sunat pada laki-laki dan perempuan sangat berbeda. Pada anak laki-laki, jelas apa yang harus dikerjakan dan dengan melaksanakan sunat terbukti manfaatnya yaitu menghindarkan berbagai penyakit. Bila dilihat dari segi agama, dalam al-Qur’an maupun hadis nabi jelas. Sunat pada perempuan sangat tidak jelas tentang apa yang harus dikerjakan, sehingga mengundang berbagai interpretasi mulai dari tindakan yang radikal (memotong sebagian atau seluruh klitoris dari labia minor) sampai tindakan yang hanya simbolis seperti mengusap dengan kunyit atau memotong jengger ayam. Pada sunat perempuan juga hukumnya tidak jelas hanya berupa kias saja.

Masalah lain dalam sunat perempuan yang mendapat perhatian adalah mitos-mitos yang mendasari pelaksanaan sunat perempuan, yang pada umumnya alasannya sangat melecehkan perempuan, misalnya mitos bahwa bila anak perempuan tidak disunat, maka ia akan jadi genit (centil) atau nakal. Ada juga alasan yang sangat mengarah kepada egosime laki-laki mengakibatkan kekerasan pada perempuan seperti yang dilaksanakan beberapa Negara, terutama Afrika, sunat perempuan itu dilaksanakan dengan memotong seluruh atau sebagian alat kelamin perempuan, kemudian dijahit dan hanya meninggalkan sedikit lubang untuk buang air kecil dan menstruasi, atau disebut Female Genital Mutilation (FGM). Tujuan dari pelaksanaan FGM ini bermacam-macam antara lain adalah:

1. Menjadikan perempuan lebih feminim, karena bagian yang dibuang dipercaya sebagai bagian laki-laki yang melekat pada perempuan.

2. Mengontrol kegiatan seksual perempuan, dengan dilaksanakan FGM perempuan sudah tidak mempunyai hasrat seksual.

3. Menjadikan perempuan harus tunduk kepada laki-laki.

Pemotongan alat kelamin perempuan sangat berbahaya, karena dapat berakibat pendarahan dan infeksi. Selain itu dengan pemotongan alat kelamin ini, perempuan tidak dapat menikmati kehidupan reproduksinya, oleh karena itu pelaksanaan FGM ini merupakan kekerasan terhadap perempuan, dan juga merupakan usaha untuk menghilangkan hak reproduksi dan hak seksualitas perempuan. Indonesia sempat dicurigai melaksanakan kekerasan terhadap perempuan, karena di beberapa daerah terdapat pelaksanaan “sunat terhadap perempuan”. Akan tetapi setelah dilaksanakan beberapa penelitian, ternyata sunat perempuan di beberapa daerah di Indonesia hanya berupa pelaksanaan simbolis yang dilaksanakan oleh dukun beranak atau dukun tradisional (mengulas kunyit pada kemaluan perempuan, memotong jengger ayam sebagai lambang dan lain-lain).

Dari segi hukum agama terutama hukum Islam, pelaksanaan sunat perempuan ini masih terdapat berbagai silang pendapat. Ada yang mengatakan merupakan “sunat” dalam agama Islam yang kedudukannya sama dengan sunat pada laki-laki, tetapi ada juga yang mengatakan bahwa sunat perempuan hanyalah budaya atau kebiasaan adat istiadat turun temurun, namun hadis Nabi telah mengindikasikan bahwa khitan perempuan dipandang sebagai sesuatu yang sangat pribadi dan jangan melampaui batas dan menyakiti dalam pelaksanaannya, karena khitan perempuan itu kemuliaan bagi perempuan dan pada dasarnya pemberdayaan perempuan adalah meningkatkan kemampuan perempuan dalam bidang pendidikan, kesehatan dan perekonomian.

Ibid.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline