Teringat beberapa bulan lalu saya bersama nenek berbincang-bincang manja sebelum tidur. Melihat kulit tangannya yang keriput dan rambut yang sudah mayoritas putih mengundang rasa keingintahuan saya untuk bertanya bagaimana sih keadaan saat nenek muda dulu. Tidak ada bayangan bagi saya yang berumur 20 tahun ini untuk membayangkannya kecuali beberapa foto keluarga yang terpampang rapi di dinding ruang tamu dan ada satu foto yang menarik pandangan saya untuk melihatnya lebih lekat yaitu foto hitam putih nenek tercinta saat masih belia. Rambut panjangnya yang dikepang rapi dengan style baju model kebaya ala tempo dulu seolah menggambarkan mayoritas perempuan belia jaman dulu yang terlihat ayu dan anggun.
Kalo beneran ada, kepingin rasanya punya mesin waktu untuk sekedar melihat-lihat keadaaan disana. Memperhatikan style pakaiannya, melihat jalanan yang orang-orangnya masih menjadikan sepeda ontel dan becak sebagai kendaraan utamanya dan merasakan udara yang masih bersih terhindar dari hiruk pikuk lalu lintas seperti sekarang ini. Nenek dengan sabar menjelaskan. Di umur yang sudah menginjak 75 tahun ia mencoba untuk menggali secuil memori yang masih mampu diingatnya.
Dulu itu, anak gadis benar-benar dijaga sama orang tua. Ga boleh sembarangan keluar malam. Terlintas di benakku bagaimana soal perjodohan pada saat itu karena mengingat pacaran jaman sekarang yang bebas dan mencondong ke budaya barat. Kalo dulu gaada istilah pacaran tapi saling menjodohkan biasanya dijodohkan ke kenalan-kenalan atau ke keluarga jauh, nenek menambahkan. Penjelasan nenek yang panjang semakin bikin penasaran.
Ingin rasanya menyaksikan kembali film-film klasik yang diproduksi oleh Indonesia pada jaman dahulu. Namun masih menjadi problema karena pada jaman dahulu data film masih menggunakan gulungan pita celluloid yang berjumlah ratusan ribu frame, mengingat negara indonesia ialah negara tropis, pita-pita celluloid tersebut rentan terkena vinegar syndrome(sejenis penyakit kanker pada film), berjamur dan kerusakan lainnya yang diitimbulkan akibat termakan usia ditambah lagi dengan kurangnya perawatan mengakibatkan memburuknya kondisi pita aset negara tersebut sehingga menyulitkan kita untuk bisa menyaksikannya kembali.
Akhirnya SA Films mengabulkan keinginan saya sebagai generasi penerus untuk bisa menjadi saksi hebatnya perfilman jaman dulu dengan merestorasi film yang dirilis pada tahun 1956 berjudul 3 Dara garapan Usmar Ismail. Bagi kalian yang belum tahu restorasi, restorasi adalah pemulihan kembali ke keadaan semula.
Menjadi pekerjaan yang berat bagi SA Films untuk merestorasinya karena dibutuhkan waktu selama 17 bulan hingga menghasilkan film dalam format digital. Jika restorasi alias pemulihan tidak dilakukan maka hasil film yang diputarkan akan menghasilkan gambar yang berbintik-bintik, timbulnya garis-garis putih dan suara yang tidak jernih. Maka dari itu tahap demi tahap restorasi harus dilakukan.
Pertama-tama dicatat terlebih dahulu apa saja kerusakan-kerusakan di tiap frame yang berjumlah 165.000 frame tersebut. Selanjutnya frame di bersihkan satu persatu secara manual. Dibutuhkan teknik yang tepat dalam membersihkan kerusakannya seperti coretan, goresan, hingga bekas lem yang telah menguning. Sayangnya Indonesia masih belum memiliki teknologi yang lengkap sehingga proses restorasi fisik dan audio harus dilakukan di L'Immagine Ritrovata, Bologna-Italia dengan melibatkan 2 orang Indonesia yakni dua film maker Lintang Gitomartoyo dan Lisabona Rahman.
Setelah di bersihkan secara manual, pita di cuci menggunakan mesin untuk menghilangkan noda yang mungkin masih tertinggal, setelah itu pita kemudian di scan untuk diedit kembali menggunakan komputer. Pada proses inilah kecanggihan teknologi dimanfaatkan hingga dihasilkan gambar dengan format 4K (4 ribu piksel).
Selanjutnya dilakukanlah restorasi audio. Restorasi audio juga tidak kalah sulitnya karena suara yang ditimbulkan telah rusak. Bisa saja dilakukan proses dubbing tapi hal ini tidak boleh dilakukan. Untungnya film 3 Dara ini memiliki beberapa duplikat sehingga jika ada suara yang hilang bisa di sisipkan dari duplikat yang lainnya.
Setelah dilakukan restorasi fisik selama 8 bulan, kemudian dilanjutkan dengan restorasi digital di PT Render Digital Indonesia. Saat tiba di Indonesia, kondisi file sudah disuguhkan ke dalam format 4K. Tiap frame memiliki resolusi yang tinggi. Jika 1 Frame memiliki ukuran sebesar 50 GB. Tak heran jika total file yang diterima sebanyak 12 Tera. Wow !!! jumlah yang sangat fantastis !!
Proses restorasi ini diperkirakan memakan biaya sekitar 3 miliyar rupiah !