Tahun 2015, saya menghabiskan semester terakhir di SMA Sekolah Master Indonesia, sekolah alternatif yang berlokasi di tengah kota Depok. Sekolah ini lebih terkenal dengan sebutan "sekolah anak jalanan", karena memang Master berdedikasi menampung anak-anak jalanan agar bisa bersekolah dan mendapatkan hak pendidikan mereka, sama seperti anak-anak lainnya.
Sejak saat itu saya memiliki ketertarikan dan perhatian ke soal hak pendidikan untuk semua anak di semua lapisan masyarakat. Karena Negara kita ini menjunjung tinggi keadilan sosial dalam pancasila, keadilan sosial dalam kaitannya dengan pendidikan berarti kesetaraan semua warga negara, kesetaraan hak mereka untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar mereka, kebutuhan untuk menyebarkan peluang kehidupan seluas mungkin. Maka pemerintah berusaha untuk mencapai cita-cita ini melalui pendidikan.
Konvensi tentang Hak Anak (PBB, 1989) menyatakan bahwa semua anak memiliki hak sipil dan politik yang sama dengan orang dewasa:
- Kebebasan berpikir, hati nurani dan agama
- Kebebasan berekspresi dan hak untuk didengar dalam pengambilan keputusan mempengaruhi privasi mereka
- Kebebasan dari penyiksaan atau perlakuan kejam, tidak manusiawi atau merendahkan termasuk perampasan kebebasan sewenang-wenang
- Perlindungan khusus jika dirampas dari lingkungan keluarga di mana pembukaan konvensi memperjelas bahwa mereka berhak dibesarkan dalam suasana cinta dan pengertian.
Konvensi tentang Hak Anak ini telah ditandatangani oleh lebih banyak negara daripada piagam hak asasi manusia lainnya. Pemerintah yang meratifikasi Konvensi ini setuju untuk melindungi hak asasi manusia anak-anak dan untuk mengakui bahwa anak-anak memiliki hak asasi manusia yang sama dengan orang dewasa. Namun seringkali anak-anak yang paling tidak bisa mengklaim hak yang ditetapkan dalam konvensi ini.
Lalu, apa yang dilakukan oleh sekolah alternatif untuk memperjuangkan pendidikan anak-anak yang tidak berkesempatan mengikuti sekolah reguler, nyatanya juga memiliki peranan penting dalam membangun keadilan sosial di masyarakat.
1. Mendukung "Sustainable Development Goals"
Tujuan dari "Sustainable development goals" salah satunya adalah untuk memastikan pendidikan inklusif dan berkualitas untuk semua anak dan mempromosikan lifelong learning pada tahun 2030, ini adalah target global untuk semua Negara.
Apakah pendidikan untuk semua, berarti untuk semua?
Pertanyaannya hingga sekarang adalah, apakah pendidikan untuk semua berarti untuk semua? Ada sejumlah hambatan untuk pendidikan yang telah diidentifikasi. Kelompok Educate A Child telah mengidentifikasi delapan hambatan utama untuk pendidikan dasar.
- kemiskinan
- geografi menantang
- konflik
- pengungsi
- jenis kelamin
- infrastruktur
- sumber daya
- kualitas
Selain itu, ada penghalang lainnya di bawah ini terkait dengan yang di atas tetapi lebih fokus pada sekolah, ruang kelas dan praktik, termasuk:
- Keuangan (kekurangan keuangan) untuk biaya dan sumber daya
- Lokasi - pedesaan vs. perkotaan
- Pendidikan khusus vs. pendidikan mainstream
- Kurikulum
- Sikap masyarakat: guru; teman sebaya; pelajar; orangtua
- Akses pendidikan
Maka sekolah alternatif berusaha memecahkan hambatan-hambatan pendidikan ini untuk memberikan peluang seluas-luasnya bagi semua murid agar dapat menikmati akses pendidikan yang telah ditetapkan sebagai hak mereka dalam undang-undang.
2. Attitude (sikap) dan kesabaran
Ada halangan tertentu yang bisa kita atasi hanya dengan melakukannya secara berbeda atau "memasang lift di tempat yang sebelumnya hanya ada tangga." Tetapi penghalang yang lebih sulit untuk diruntuhkan adalah sikap.