Perlombaan panjat pinang telah lama menjadi bagian tak terpisahkan dari perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia. Namun, insiden yang terjadi di Desa Tandam Hulu I, Kecamatan Hamparan Perak, Kabupaten Deli Serdang pada Kamis (17/8/2023) menegaskan perlunya kewaspadaan dan evaluasi mendalam terhadap tradisi ini.
Eka Prasetya, seorang pria berusia 36 tahun, menjadi korban dalam perlombaan panjat pinang yang diadakan dalam rangka peringatan HUT RI ke-78.
Menurut saksi-saksi, Eka berada di posisi paling bawah, menopang rekan satu timnya agar dapat mencapai puncak panjat pinang. Namun, nasib tragis menimpa Eka saat rekan di atasnya tiba-tiba jatuh dan menimpa dirinya. Dalam sekejap, kehilangan kesadaran menjadi akhir perjalanan hidup Eka.
Kepala Desa Tandam Hulu I, Sugito, memberikan gambaran kronologis kejadian yang menunjukkan betapa berbahayanya situasi tersebut.
Dalam upaya untuk meraih hadiah di puncak panjat pinang, para peserta sering kali terjebak dalam semangat kompetisi dan kegembiraan. Namun, kasus ini menjadi peringatan yang menyadarkan kita semua, apakah tradisi yang mengandung risiko serupa masih pantas diteruskan?
Perlombaan panjat pinang tidak hanya melibatkan keberanian dan ketangguhan peserta, tetapi juga menghadirkan risiko yang dapat mengancam nyawa.
Meskipun tradisi ini memiliki nilai historis dan budaya yang kuat, kita tidak boleh melupakan pentingnya keselamatan manusia. Seiring dengan perkembangan zaman, pertimbangan keselamatan dan perlindungan terhadap peserta harus ditingkatkan.
Pihak panitia pun dengan sigap menghentikan seluruh rangkaian acara setelah kejadian tragis ini. Tindakan ini mencerminkan tanggung jawab moral yang diemban oleh penyelenggara dalam memastikan keamanan para peserta dan penonton.
(Sumber: matatelinga.com)
Namun, langkah ini juga harus diikuti dengan evaluasi menyeluruh terhadap acara seperti ini. Muncul sebuah pertanyaan dalam benak penulis, apakah risiko kehilangan nyawa sebanding demi menjalankan sebuah tradisi?