Madrasah, dimana saya pernah menjadi santrinya, terletak di desa Kerjasan. Satu-satunya desa yang memiliki ikonik Kabupaten: Menara Kudus. Otomatis, madrasah kami juga satu-satunya lembaga pendidikan formal yang dekat dan 'merasa' memiliki Menara seutuhnya.
Sekolah Menara, begitu orang-orang tua menyebut madrasah kami yang sebenarnya bernama Qudsiyyah. Didirikan seratus tahun lalu oleh KHR Asnawi, salah satu pendiri Nahdhatul Ulama (NU), madrasah ini terus berkembang pesat. Dari yang awalnya hanya belajar di teras Masjid Menara pada masa sebelum kemerdekaan, hingga kini telah mempunyai gedung yang diisi ribuan santri.
Tak jauh dari madrasah kami, ada madrasah pula, bernama Madrasah Banat NU. Sesuai namanya, ia khusus menampung santri perempuan. Lokasinya sangat dekat, hanya berjarak beberapa rumah warga.
Tidak ada hubungan madrasah Qudsiyyah yang khusus laki-laki, dengan Madrasah Banat NU yang khusus perempuan. Baik secara kelembagaan, administrasi, maupun hubungan spesifik lainnya. Masing-masing mandiri dengan kebijakan yang berbeda sama sekali.
Secara akademis dan administratif, madrasah Banat dibidangi secara serius. Banyak penghargaan, prestasi melimpah ruah, hingga pialanya memenuhi almari-almari pajangan. Ia mewujud menjadi madrasah terbaik dengan segudang pujian.
Lain halnya dengan Qudsiyyah. Ia lebih banyak dengan ketawadhuan ala santri. Ia mewujud dalam dunia kepesantrenan yang setengah-setengah mengadopsi sistem sekolah formal. Tak merasa butuh dengan penghargaan, apalagi cuma piala yang cuma seharga satu lembaran nominal tertinggi rupiah.
Madrasah Banat aturannya ketat. Masuk jam tujuh, keluar jam setengah dua. Telat datang? harap lapor ke guru piket. Madrasah kami, masuk jam setengah delapan, pulang jam satu. Jika terlambat datang, guru-guru kami adalah surga pemaaf.
Karena saking tawadhu'nya, secara administratif pun, kadang masih banyak pemberlakuan kata maaf. Termasuk dalam hal keterlambatan pembayaran SPP.
Perlu diketahui, kebanyakan santri Qudsiyyah secara prosentase banyak berasal dari penduduk pinggiran kota yang letaknya berjauhan. Kebanyakan pula, mereka adalah anak-anak petani yang secara ekonomi bisa diraba tingkat kesejahteraannya. Maka, kata yang tepat adalah memang memaafkan.
Pernah satu kali dalam acara perpisahan di madrasah di depan wali santri, kepala sekolah berkelakar. Ia berujar dalam sambutannya untuk tidak menyamakan anak-anak Qudsiyyah yang laki-laki dengan madrasah sebelah yang perempuan.
"Jika masalah kualitas, saya tak meragukan lulusan Qudsiyyah. Tetapi jika masalah keterlambatan pembayaran SPP itu soal sederhana".