Lihat ke Halaman Asli

ilham aufa

Wiraswasta, Penulis Lepas

Kebutuhan Mendesak Sang Idola

Diperbarui: 31 Agustus 2016   12:14

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Yang ada dibenak, saat menyebut kata artis, tokoh masyarakat, pejabat tinggi, selalu identik dengan hidup yang nyaman, enak dan terlayani. Dielu-elu, jepret dan selfi, hingga rebutan salaman. Sungguh, cita-cita kebanyakan masyarakat awam. Namun apa jadinya, jika kebutuhan paling pribadi tiba-tiba tak tertahankan dan memaksa segera ambil keputusan, sementara suara eluan terus menggema menyambut sang idola? Repot.

***

Saat itu, kami berenam dalam mobil. Saya berada kursi tengah di samping sang tokoh. Ajudan yang berada di depan matanya selalu awas, mendampingi sopir. Sementara dua ajudan lagi di kursi belakang asik dengan lembaran kertas jadual dan handphone jadul.

Beberapa kali harus kontak nomor-nomor panjang. Beberapa kali juga nadanya agak tinggi, sambil sedikit memaki yang di ujung telpon.

Kata-kata saktinya selalu tak jauh dari “peserta ada berapa, siapa saja tokoh yang sudah datang, penyambutan seperti apa. Apa yang kurang”

Jadwal sangat padat hari itu. Saya menghitung dari pagi hingga waktu menjelang sore ini sudah ada 4 titik. Lepas magrib, masih ada 3 titik kunjungan lagi.

Tugas saya cuma menemani bicara dan sesekali bercanda dengan sang idola. Acuhkan saja aktivitas 3 ajudan yang turut serta. Toh, kerjaku cuma menemani sang idola.

Waktu sudah menunjukkan pukul 14.15 WIB. Dari jadual yang direncanakan, ini sudah molor seperempat jam, sementara jarak menuju lokasi masih sekitar 10 Km dengan kepadatan Jakarta yang luar biasa.

“Makanan kurang? Memang yang hadir ada berapa? Hah, 290 orang? Khan sudah dibilangin kemarin maksimal ruangan itu 150 orang?”, begitu kata-kata itu terdengar dari bangku belakang dengan nada agak bersungut-sungut.

Sang idola saya lihat cuek. Saya malah melihatnya justru ada sedikit senyum menungging di ujung bibir.

Saya seperti mendengar suara batin sang tokoh, “Hehehe.. ya jelas lah masyarakat berebut berdatangan. Lha wong saya menang besar di sana dua tahun lalu.”

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline