Dalam kehidupan modern saat ini kita dapat memperoleh ilmu dari manapun dengan mudah. Selain itu berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi memiliki dampaknya terhadap masyarakat Islam khususnya, di tengah gempuran ilmu pengetahuan dan teknologi ini sering kali ilmu yang diserap oleh masyarakat Islam tidak sesuai dengan prinsip-prinsip Islam itu sendiri yang akhirnya berdampak kepada seluruh aspek kehidupan dan banyak menimbulkan kerusakan juga kebingungan di tengah umat Islam. Syed Muhammad Naquib Al-Attas, baginya, kebingungan dan masalah yang muncul pada umat Islam ini dikarenakan runtuhnya adab (moral) dalam masyarakat Islam. Bagaimana tidak seluruh aspek kehidupan kaum muslimin semuanya telah diatur dalam Islam mulai dari bangun tidur hingga kembali tidur dan semuanya ada adab-adabnya.
Menurut Al-Attas persoalan mendasar mengenai keruntuhan adab ini yang harus diperbaiki dalam masyarakat Islam itu sendiri. Masyarakat Islam juga harus memahami tentang makna keadilan hal ini agar kaum muslimin tidak lagi mengalami krisis identitas dan mengetahui siapa dirinya dan apa tujuannya. Sebagai muslim harus tahu bagaimana ia harus bersikap adil terhadap dirinya dan juga orang lain. Al-Attas lebih menekankan agar setiap individu terlebih dahulu mengetahui tentang dirinya sendiri dan bersikap adil kepada dirinya. Bagaimana ia bisa berlaku adil terhadap orang lain padahal ia tidak bersikap adil terhadap dirinya sendiri. Keadilan dalam pandangan Al-Attas juga berkaitan dengan Ketuhanan karena dengan keadilan manusia dapat mencapai dan mematuhi perintah Allah.
Dalam pandangan Al-attas kemampuan untuk berbuat adil terhadap diri sendiri juga secara tidak langsung berkaitan dengan perjanjian yang dilakukan tiap individu dengan Allah Ta'ala. Apa yang dimaksud Perjanjian dengan Allah adalah ketika Allah berfirman: "Bukankah Aku Tuhanmu?", dan manusia secara jujur, bersaksi atas dirinya, menjawab "Ya!" dalam pengakuan atas kebenaran ketuhanan tersebut, manusia dengan secara resmi melakukan perjanjian dengan Allah Ta'ala. Apabila manusia melakukan penentangan terhadap perjanjian tersebut maka akan terjadi kekacauan (chaos) yang berlawanan dengan keteraturan (cosmos). Keadilan yang akan berlawanan dengan kezaliman.
Islam sebagai aspek yang menyeluruh dalam kehidupan sudah tentu memiliki konsep keadilan. Al-Attas menjelaskan bahwa konsep keadilan dalam Islam bukanlah suatu hal yang merujuk kepada hubungan linier antara tiap individu, masyarakat, atau negara, lebih dari itu konsep keadilan dalam Islam bermakna suatu keadaan hubungan yang harmoni dimana segala sesuatu berada pada tempatnya yang benar dan seharusnya, suatu keadaan keseimbangan, keteraturan, baik itu makhluk hidup atau benda. Sebagaimana yang kita ketahui secara sederhana adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya dan sesuai pada porsinya, adapun lawannya yakni kezaliman bermakna sebaliknya meletakkan sesuatu tidak pada tempatnya dan tidak sesuai pada porsinya. Maka dalam hal tersebut Al-Attas mengatakan:
"Konsep keadilan dalam Islam tidak hanya merujuk kepada keadaan harmoni yang berbentuk Perhubungan dan keseimbangan yang wujud antara satu orang dengan yang lainnya, atau antara masyarakat dengan negara, atau pemerintah dan rakyat, atau antara raja dan warganya, tetapi jauh lebih mendalam dan mendasar terutamanya berkaitan perhubungan yang harmoni dan benar seimbang antara seorang manusia dengan dirinya sendiri, sedangkan hubungan dengan yang lainnya adalah sampingan, iaitu antara dirinya dengan orang lain seperti misalnya antara dirinya dengan manusia sesamanya, dengan pemerintah, raja, negara, dan masyarakat"
Bahkan menurut Al-Attas di dalam kitab suci Al-Qur'an berulang kali menekankan bahwa manusia, apabila ia berbuat salah, maka ia menjadi tidak adil (zalim) terhadap dirinya, dan ketidakadilan (zulm) adalah suatu keadaan yang dilakukan oleh manusia terhadap dirinya sendiri. Maka dampak dari perbuatan melanggar kontrak yakni melanggar perjanjian yang dilakukan dengan Allah, bagi yang mengingkari atau menolak Allah, yang berbuat salah atau jahat, maka dengan itu ia telah tidak berlaku adil dengan dirinya. Pada hakikatnya ketidakadilan terjadi terhadap diri manusia sendiri, termasuk ketidakadilan yang berlaku antara manusia dengan Allah, dan antara manusia dengan manusia lainnya.
Dari penjabarannya mengenai keadilan tersebut Al-Attas kemudian menerangkan bahwa meletakkan setiap data ilmu pengetahuan pada tempatnya yang benar dalam hubungannya dengan orang yang mengetahui, sehingga apa yang diketahui menyebabkan keharmonian pada orang yang mengetahuinya. Mengetahui bagaimana meletakkan suatu ilmu pada tempatnya adalah kebijaksanaan (hikmah) Sebaliknya, ilmu tanpa aturan dan pencariannya tanpa disiplin membawa kepada kekeliruan, dan karena itu akan membawa kepada ketidak adilan kepada diri seseorang.
Pemahaman Terhadap Pemimpin yang Adil
Pada sebelumnya, Al-Attas menekankan sifat adil terhadap diri sendiri tiap individu, yang dimana setiap jiwa manusia telah melakukan perjanjian dengan Allah sebagai Tuhan. Hal ini perlu digaris bawahi, bahwa keadilan memiliki keterkaitan dengan Ketuhanan. Ketika seseorang melakukan pelanggaran atau pengingkaran terhadap perjanjian tersebut maka akan timbul kekacauan atau ketidakadilan.
Sifat adil ini harus ditanamkan kepada setiap diri seseorang bukan hanya beberapa orang saja atau hanya ketua kelompok masyarakat tertentu saja. Menurut Al-Attas, sifat individualisme yang angkuh, yang berpikir dirinya lebih baik dari orang lain, padahal orang lain lebih baik dari dirinya, dan terdapat kesombongan dalam dirinya yang ia tanam, serta egois dan menolak kebenaran. Kemudian ia berpikir bahwa ia mengetahui tempatnya dalam hubungannya dengan orang lain dan cenderung untuk iri hati merupakan dampak kekeliruan dalam ilmu tentang Islam dan pandangan Islam. Padahal ilmu memiliki kedudukan penting dalam Islam dan terhadap ilmu manusia harus berbuat adil padanya.
Jika orang yang keliru terhadap ilmu tentang Islam dan pandangan Islam ini bertambah jumlahnya, maka ia akan berdampak lebih besar lagi, bukan hanya berdampak pada dirinya melainkan juga berdampak kepada sebuah masyarakat dan negara. Beberapa diantara mereka atau yang dianggap mewakili mereka tentu akan menjadi pemimpin yang tidak adil. Dalam hal ini Al-Attas menuliskan:
"Dan mereka mengukuhkan orang-orang yang sejenis dalam setiap bidang tanggung jawab dan kepercayaan. Dalam kehidupan masyarakat; politik, sosial, kebudayaan, intelektual, keagamaan dan ruhaniah. Keadaan yang dihasilkan dan apa yang diderita oleh masyarakat adalah apa yang kita sebut keruntuhan adab, yang mencerminkan ketidakadilan yang meluas dan kerusakan ilmu yang terus menerus."
Dalam merespon hal ini, saat ini mungkin masyarakat Islam kemudian bertanya seperti apa pemimpin yang benar dan adil, bagaimana membedakan antara yang adil dan yang zalim, mereka berharap bebas dari memilih pemimpin yang adil. Bagi Al-Attas, pertanyaan-pertanyaan yang muncul tersebut tidak lain adalah tanda kekeliruan ilmu yang sudah tersebar ke masyarakat Islam. Dimana seharusnya kita mampu untuk membedakan antara haq dan yang batil. Namun kemampuan membedakan antara haq dan yang batil telah hilang ditengah-tengah kita. Maka kita tidak akan mendapatkan jawaban hingga kita memperoleh ilmu itu yaitu adab.
Demikianlah konsep keadilan yang mendalam dalam Islam melalui pandangan Syed Muhammad Naquib Al-Attas, ia tidak hanya adil terhadap manusia, namun harus bersikap adil terhadap dirinya sebagaimana Perjanjiannya dengan Allah, dan harus bersikap adil terhadap ilmu.
Referensi:
Islam dan Sekularisme, Syed Muhammad Naquib Al-Attas, Terj. Khalif Muammar A. Harris, RZS-CASIS, Kuala Lumpur, 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H