Lihat ke Halaman Asli

Alma

Almaa

Mencari Titik Terang Keadilan bagi Penyandang Disabilitas

Diperbarui: 8 Desember 2021   08:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia


Seorang Menteri Sosial memaksa penyandang tunarungu untuk berbicara di Hari Disabilitas Internasional. Risma pun menjelaskan bahwa ia tidak melarang para penyandang tunarungu untuk menggunakan bahasa isyarat. Namun, menjelaskan bahwa ia hanya ingin para penyandang disabilitas selalu memaksimalkan penggunaan anggota tubuh yang diberikan Tuhan Yang Maha Esa. Namun, perlu diketahui bahwa penyandang tunarungu yang memiliki hambatan dalam pendengaran biasanya memiliki hambatan dalam berbicara. Maka dari itu, secara medis pun sudah terpampang jelas bahwa penyandang tunarungu memiliki kesulitan menggunakan anggota tubuhnya secara maksimal daripada orang pada umumnya.


Setiap orang sejatinya menginginkan agar anggota tubuhnya dapat berjalan dengan maksimal. Sehingga tidak ada orang yang menginginkan mengalami kondisi tunarungu. Kita sebagai manusia yang beradab dan hidup di negara yang menjunjung tinggi Hak Asasi Manusia, seharusnya dapat menghargai kondisi dan latar belakang orang lain, terutama terhadap seorang anak dibawah umur yang kondisi psikologis nya masih fluktuatif. Sehingga, paksaan, cemooh, atau perbuatan tidak mengenakkan lainnya akan mudah memberikan dampak negatif terhadap  kondisi psikologis anak tersebut. Namun, kasus ini merupakan salah satu dari ribuan kasus diskriminasi penyandang disabilitas lain yang belum terungkap ke masyarakat. Menjadi penyandang disabilitas di Indonesia diibaratkan seperti peribahasa memakan hati berulam jantung.


Secara sederhana, diskriminasi terhadap penyandang disabilitas merupakan sikap membedakan secara sengaja terhadap sesuatu yang berhubungan dengan keterbatasan fisik, mental, intelektual, ataupun sensorik. Dalam aspek ekonomi, pemerintah belum menunjukkan keberpihakan pada penyandang disabilitas. 

Selama ini pemerintah mendefinisikan kemiskinan hanya dari kondisi keuangan seseorang, tanpa memikirkan lebih lanjut bahwa rumah tangga yang memiliki penyandang disabilitas sangat berpotensi mengalami kerentanan menjadi miskin karena memiliki pengeluaran lebih tinggi dibandingkan keluarga lainnya untuk biaya perawatan difabel. Mulai dari menapakkan kaki untuk keluar rumah hingga beraktivitas, selalu ada hambatan untuk penyandang disabilitas dapat hidup. Masih banyak penyebrangan jalan, kendaraan umum, dan toilet yang tidak dapat diakses oleh penyandang disabilitas. Belum lagi cibiran dari masyarakat dan pandangan merendahkan ketika berpapasan yang didapati penyandang disabilitas.


Dalam bidang pendidikan, pemerintah juga belum dapat memberikan jaminan akses difabel untuk mendapatkan pendidikan dasar dan lanjutan inklusif. Tidak hanya sebatas membuka akses difabel bisa mengenyam bangku pendidikan saja tetapi juga bisa menjamin keberlanjutan hingga akhir pendidikan. Untuk penyandang tunanetra misalnya, buku-buku dengan tulisan braille masih sulit ditemukan di perpustakaan-perpustakaan nasional, apalagi di perpustakaan sekolah di daerah.  Kesulitan anggaran dari pemerintah sudah tidak pantas menjadi dalih untuk tidak menyediakan fasilitas ini. Mengingat anggaran dari pemerintah secara terang-terangan dinyatakan digunakan untuk berbagai kepentingan yang sebenarnya tidak memiliki urgensi untuk kesejahteraan rakyat.


Terlebih lagi dalam proses beracara di pengadilan, sampai sekarang masih banyak penyandang disabilitas yang kesulitan untuk menggugat oknum yang telah memanfaatkan keterbatasannya untuk mendapatkan keuntungan baik secara finansial maupun seksual. Masalahnya, penuntut umum, hakim, dan panitera sekalipun masih kebingungan untuk mendapatkan kesaksian untuk pembuktian kejahatan yang dialami oleh penyandang disabilitas. Mengingat penyandang disabilitas juga termasuk orang yang memiliki gangguan mental sehingga tidak dapat beraktivitas seperti orang normal pada umumnya.


Sudah puluhan tahun Indonesia berdiri menjadi negara yang berdaulat. Namun, suara-suara yang samar terdengar yang memohon akan keadilan masih terdengar jelas di negeri ini. Pemerintah selama ini mendengar, tetapi tidak memperhatikan dan cenderung lebih sering mengabaikan. Lantas masih pantaskah Indonesia disebut sebagai negara berdaulat? Dimana rakyatnya dijajah di tanah kelahirannya sendiri?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline