Lihat ke Halaman Asli

Perjalanan Mengenal Cirebon Kota Mancanegara

Diperbarui: 24 Mei 2018   00:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

Pada mulanya terasa biasa-biasa saja bagi beberapa mahasiswa. Kota Cirebon, Kuningan, dan tempat-tempat wisata yang tertera di buku panduan perjalanan hunting fotografi Akademi Televisi Indonesia (ATVI) Semester II itu terkesan begitu dekat dengan Jakarta dan para mahasiswa berharap dapat melakukan hunting di kota yang sedikit lebih jauh. Kegiatan yang menuntut para mahasiswa ATVI untuk uji kemampuan fotografi tersebut sudah terlaksanakan awal Mei kemarin.

Diawali bangun pagi dan berpamitan dengan keluarga para mahasiswa sampai di Stasiun Gambir, Jakarta, pada pukul 05.00 WIB. Sambil menunggu semua mahasiswa datang, pihak kampus ATVI mengabsen seluruh mahasiswa, sedangkan Kedai Travel sibuk membagikan tiket perjalanan Kereta Api Eksekutif dan name tag mahasiswa dengan warna tali berbeda untuk setiap bus sesampainya di Cirebon.

Ujian bagi para mahasiswa dimulai. Memotret keindahan perjalanan di luar jendela selama di kereta adalah tugas pertama untuk memenuhi kebutuhan Ujian Akhir Semester (UAS) fotografi. Tiga jam dalam kereta sudah dilalui. Menandakan bahwa para mahasiswa baru tiba di Stasiun Cirebon dan harus melanjutkan perjalanan dengan empat bus menuju ke tempat selanjutnya. Nasi Jamblang Khas Cirebon adalah objek foto kedua yang akan diabadikan oleh para mahasiswa dan juga sebagai sambutan pertama untuk para mahasiswa serta civitas akademika ATVI yang baru saja menginjakkan kaki di kota udang tersebut.

Makan bersama siang itu dilaksanakan di Taman Budaya Hati Tersuci yang merupakan Taman Hati atau Taman Doa Gereja Santa Maria Cirebon-Jawa Barat. Taman tersebut menganut gaya arsitektur Cirebonan dengan dominasi rona merah bata serta ornamentik bernuansa Jawa Hindu Kuno. Di Taman Hati tersebut mahasiswa dapat mengambil objek-objek foto di bagian dalam Gereja maupun di bagian luar Gereja.

Usai menambah energi, para mahasiswa melanjutkan perjalanan ke Keraton Kasepuhan. Ada yang singgah ke masjid terdekat untuk menunaikan sholat dzuhur terlebih dahulu, ada juga yang langsung berburu objek foto di luar maupun bagian dalam keraton. Tempat sunyi, sepi, dan bersejarah ini identik dengan dua buah patung macan putih sebagai lambang keluarga besar Pajajaran (keturunan Prabu Jaya Dewata - Silih Wangi) di Taman Bundaran Dewandaru pada area utama Keraton Kasepuhan. Bagian dalam keraton ini terdiri dari bangunan utama yang berwarna putih. Di dalamnya terdapat ruang tamu, ruang tidur dan singgasana raja. Keraton ini merupakan keraton termegah dan paling terawat di Cirebon. Para mahasiswa sibuk mengambil objek foto dari detail hiasan dinding keraton yang berbentuk piring porselen peninggalan Tiongkok, arsitektur bangunan keraton, dan suasana keraton itu sendiri serta human interest yang tidak sengaja diabadikan khususnya untuk para mahasiswa jurnalistik televisi yang lebih mengutamakan objek foto human interest demi kebutuhan UAS fotografi jurnalistik.

Setelah beberapa jam berlalu, perjalanan dilanjutkan menuju Desa Gerabah Sitiwinangun. Seperti nama desanya sendiri, Sitiwinangun merupakan gabungan dari dua kata, Siti berarti tanah dan Winangun berarti dibangun dimana di desa tersebut mayoritas penduduk memproduksi gerabah yang memiliki nilai estetika sangat tinggi. Gerabah Sitiwinangun itu dibuat dari tanah liat atau lempung yang dicampur pasir. Para penghasil gerabah di desa tersebut hanya menggunakan dua cara yaitu dicetak dan menggunakan alat putar. Para mahasiswa berjalan kaki bergiliran sesuai bus menyusuri jalan di samping kali hingga sampai di rumah-rumah penduduk di mana banyak sekali hasil-hasil gerabah yang dapat mereka saksikan dan abadikan. Dari berbagai jenis guci, patung, dan topeng-topeng yang unik dan khas, para mahasiswa berpencar memburu hasil foto terbaik.

dok-pribadi-2-5b059fadcaf7db53967721e3.jpeg

Setelah puas mengambil objek foto dan meninggalkan desa, mereka bergerak lagi untuk makan malam bersama lalu menuju tempat penginapan yang akan menjadi rumah sementara selama 4 hari 3 malam di dekat Balaikota. Hari yang belum begitu melelahkan, tapi kalimat pertama dari artikel ini sudah mulai berkembang. Pemikiran yang pada mulanya biasa - biasa saja mulai tumbuh dan rasa penasaran seketika menggebu, bagaimana hari selanjutnya? Apakah Kota Cirebon juga memiliki daya tarik seperti kota mancanegara lainnya?

Tidur yang cukup lalu bangun pagi dengan teman sekamar, bergegas mandi dan sarapan di lantai 2 adalah kegiatan para mahasiswa untuk mengawali hari kedua. Tidak lupa mengenakan seragam hunting fotografi, pagi itu para mahasiswa diajak Kedai Travel ke Pusat Batik Trusmi Khas Cirebon. "Pagi segar, aktivitasnya hampir di setiap rumah. Ada toko, halaman dengan jemuran, ada yang sedang membatik, dan aneka kegiatan lainnya. Kegiatan pagi adalah target foto yang menantang. Buatlah foto terbaik kegiatan masyarakat pembatik, rancangan batik khas Cirebon dan suasana lingkungannya", kutipan kalimat dalam buku panduan hunting yang hanya dibaca oleh beberapa mahasiswa tersebut ternyata lumayan berguna untuk menambah semangat dan juga inspirasi.

Wanita-wanita tua maupun muda yang sedang membatik menggunakan canting, laki-laki separuh baya yang sedang membatik dengan teknik cetak, mencuci kain batik, dan kegiatan-kegiatan lainnya yang menjadi target para mahasiswa pagi itu sedikit menimbulkan kesulitan karena lokasi yang terbilang gelap sehingga sulit untuk mengatur segitiga eksposur pada kamera mereka masing-masing. Tapi dengan begitu bukan berarti mereka tidak menghasilkan apapun. Foto-foto yang dihasilkan para mahasiswa pun tetap bagus dan indah.

dok-pribadi-3-5b059db5dd0fa85eb02c6af4.jpeg

Kegiatan dilanjutkan untuk berburu foto di sekitar Stasiun dan Balaikota Cirebon. Arsitektur Balaikota dan Stasiun, serta lingkungan di sana menjadi objek foto para mahasiswa. Siang hari tiba dengan panggilan sholat jumat, seluruh mahasiswa bergegas ke Masjid Sang Cipta Rasa dekat Keraton Kasepuhan. Masjid tersebut bukan masjid biasa. Ketika muazin mengumandangkan adzan, di masjid tersebut dilakukan secara bersamaan oleh 7 orang muazin. Hal itu menjadi salah satu ciri khas Masjid yang melambangkan Wali Songo dari 9 jumlah pintu yang ada di sana.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline