Lihat ke Halaman Asli

Muhammad AudyaR

Belajar Menulis

7 Kitab Kuna Pembawa Perubahan Beragama

Diperbarui: 17 Mei 2020   00:52

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Travel. Sumber ilustrasi: PEXELS/Jcomp

Di pematang sawah, padi sudah berwarna kuning,  kiri-kanan  terlihat sejumlah pria dan wanita, muda, tua sedang asyik beraktivitas di bawah terik sang surya, melolong anjing milik mereka yang waspada akan kedatangan wajah-wajah baru. Sepanjang jalan terlihat sebuah pemukim, orang-orang lalu-lalang bergantian memasuki kawasan tersebut seraya berbisik tentang kedaan di dalam sana.

Sekeliling pohon-pohon, sebelah candi, dalam ruangan museum tampak berderet rapi terkurung kotak  kaca sebuah teks aksara Arab, pegon atau aksara Arab yang digunakan untuk menuliskan bahasa Jawa sudah usang di makan waktu. Lembaran dari lapisan luar batang pohon tidak utuh, tetap terkandung faedah bagi umat yang tidak runtuh, juga  saksi bisu dari cerita yang tidak berbicara.

Tersimpan wujud tanda penyebaran Agama Islam, Kitab Khotbah Idul Fitri, Kitab Idul Adha, Kitab Fiqih, Kitab Ilmu Alat, Kitab Ilmu Tauhid dan Kitab Al-Qur'an 30 Juz berumur ratusan tahun. Namun semua isi kitab terdapat beberapa gabungan-gabungan seperti Kitab  Fiqih dengan kumpulan do'a-do'a, juga dalam satu kitab memiliki judul dua, tiga, sampai empat. Semua itu masyarakat terapkan dalam menjalani kehidupan dengan cara selalu mengadakan tawasul dan mendo'akan kebaikan kepada leluhurnya.

Mulai terjadi perubahan keyakinan masyarakat Agama Hindu menjadi Agama Islam setelah datang panglima perang kerajaan dari Mataram yang gagal mengusir tentara VOC ke Batavia bernama Embah Dalem Arief Muhammad. Karena khawatir mendapat sanksi dari kerjaan beliau memutuskan untuk bersinggah di Kampung Adat Pulo, Desa Cangkuang, Kecamatan Leles, Kabupaten Garut Jawa Barat.

Terdapat dua bukti peninggalan perubahan agama yang terjadi pada saat itu berupa arca Dewa Syiwa dan makam Arief Muhammad saling berdampingan sebagai bentuk toleransi masyarakat dalam menganut agama. Sebelum ada bangunan candi masyarakat Adat Kampung Pulo tidak mengetahui, namun setelah datang ahli arkeolog islam meneliti lebih jauh baru diketahui.

"Waktu pencaharian batu-batu candi yang berserakan hanya 40%, nah yang 40% itu juga sudah dipakai nisan kuburan karena masyarakat tidak tahu ada candi," kata Umar (40) selaku wakil sesepuh adat dan juru pelihara museum generasi ke-9

Untuk memastikan asal-usul  keturunan  beliau darimana  dan sempat menjadi panglima perang kerajaan Mataram ada dalam buku yang sekarang berada di Keraton Cirebon karena cara ajaran islam yang diterapkan kepada masyarakat Candi Cangkuang mengikuti jejak  sesuai dengan Sunan Gunung Djati.

Candi Cangkuang adalah tempat khusus bersembahyang dan peristirahatan raja sekaligus peninggalan Agama Hindu Abad ke-VIII, nama tersebut diambil dari jenis pohon yang bernama cangkuang . Bangunan candi tersebut berfungsi menutup arca Dewa Syiwa agar terhindar dari kerusakan. Bentuk tersebut juga baru perkiraan mengingat material batu-batu yang sudah sebagian hilang digunakan untuk keperluan batu nisan masyarakat setempat.

Konon pada zaman dahulu ada mitos siapa saja yang berjiarah ke makam Arief Muhammad dapat melihat arca Dewa Syiwa lalu melihatnya semua maksud yang diingkan akan terkabul. Sampai sekarang kejadian seperti itu berlanjut, banyak orang yang berjiarah sekaligus melihat patung yang ada di dalam candi.

"Makannya demi pengmanan dikasih pintu. Kan, bagi orang Hindu dipuja sama kita dirusak. Siapa saja orang Hindu yang mau sembayang baru itu dibuka," ungkap Umar sembari tertawa, Minggu (09/03/2020).

Abad ke-17 masyarakat setempat  di islamkan oleh Arief Muhammad secara bertahap kemudian memiliki 7 anak perempuan 1 anak laki-laki lalu terbentuk sebuah Kampung Adat Pulo  dengan jumlah 6 rumah sebagai simbol anak perempuan dan 1 mushola simbol bagi anak laki-laki yang dimiliki beliau, tidak boleh ditambah atau dikurang harus tetap ada 7 bangunan pokok, 6 kepala keluarga  dengan tidak menghilankan tradisi Hindu yang sering dilakukan orang-orang di kampung sana seperti ritual, sesajen,  rebokasan, mapag bulan, 12 maulud, memandikan benda pusaka, niiskeun pare, penyambutan bulan puasa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline