Lihat ke Halaman Asli

Indonesia vs Kekerasan terhadap Perempuan

Diperbarui: 17 Januari 2022   07:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Perempuan selalu dihubungkan dengan manusia yang dapat menstruasi, hamil, melahirkan anak, dan mengurus pekerjaan rumah. Perempuan terikat dengan kata pu atau empu yang berarti manusia yang memiliki kehormatan atau orang yang sangat dihormati. Namun, sebagian orang menganggap kehormatan yang paling tinggi hanya ditujukan kepada laki-laki karena memiliki badan yang lebih besar dan kuat, sedangkan perempuan harus menunjukkan hormat dan patuh kepada laki-laki. Hal seperti ini merupakan hal yang biasa diajarkan oleh para orang tua dalam mendidik anaknya terutama bagi masyarakat Indonesia.

Kasus kekerasan terhadap perempuan menjadi salah satu topik hangat dalam beberapa tahun terakhir. Pada 2019-2021, Kementrian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA) menyatakan bahwa terdapat peningkatan kasus kekerasan pada perempuan. Pada 2019, sekitar 8.800 kasus kekerasan terhadap perempuan, di tahun 2020 jumlah kasus sempat turun menjadi 8.600 kasus, dan hingga November 2021 mengalami kenaikan dan kembali di angka 8.800 kasus, dan hingga Desember 2021 terdapat 10.247 kasus. Dalam tiga tahun terakhir, KemenPPPA menyatakan terdapat 26.200 kasus kekerasan yang dialami perempuan dengan laporan kekerasan fisik sebesar 39%, kekerasan psikis 29,8%, kekerasan seksual 11,33%, dan kekerasan dalam rumah tangga 58,81% (KemenPPPA). Komisi Nasional (Komnas) Perempuan juga mencatat jumlah laporan terkait kekerasan seksual meningkat setiap tahunnya sejak 2019, terdapat laporan yang masuk setiap dua jam dengan tiga perempuan yang melapor sebagai korban kekerasan seksual.

Kekerasan yang terjadi pada perempuan Indonesia dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori; yang pertama lingkup private, contohnya kekerasan dalam rumah tangga dan kekerasan yang dilakukan kekasih atau pacar. Kedua, lingkup publik atau komunitas, contohnya kekerasan di lingkungan tempat tinggal dan lingkungan institusi pendidikan. Ketiga, lingkup negara, yang artinya kekerasan dilakukan oleh aparat saat menjalankan tugasnya.

Maraknya kekerasan terhadap perempuan menjadi tanda adanya sistem hukum yang masih belum berjalan dengan baik dari segi penanganan secara hukum maupun undang-undang yang melindungi korban. Banyak kritik yang disampaikan oleh kelompok masyarakat terhadap pemerintah mengenai sistem hukum dan undang-undang untuk melindungi para korban. Hukum dan undang-undang saat ini masih belum cukup untuk menindak pelaku kejahatan terhadap perempuan. Beberapa tindakan kekerasan pada perempuan yang berbeda pada akhirnya disamaratakan oleh hukum dan undang-undang yang ada. Contohnya seperti, kasus pemerkosaan tidak hanya penetrasi alat kelamin laki-laki ke alat kelamin perempuan, tapi pemerkosaan juga dapat berbentuk pemaksaan yang dilakukan pelaku untuk memasukkan benda ke alat kelamin perempuan, anal, dan oral. Namun, dalam hukum dan undang-undang di Indonesia saat ini, anal, oral, dan pemaksaan untuk memasukkan benda ke alat kelamin perempuan masuk ke ranah pencabulan. Hal ini mengakibatkan hukum yang diterima pelaku berbeda dan tidak setimpal, misalnya pelaku yang harus dihukum selama 12 tahun karena memperkosa, menjadi 9 tahun karena perbuatan yang dilakukan masuk ke dalam kasus pencabulan. Padahal untuk korban, tindakan tersebut sama dengan pemerkosaan (Kompas.com, 2021). Selain itu dalam kasus pelecehan seksual, hukum dan undang-undang yang ada tidak mengatur secara spesifik. Hal ini mengakibatkan beberapa kasus seperti begal payudara dan catcalling tidak dapat dihukum secara maksimal. Padahal perbuatan tersebut termasuk sebagai pelecehan seksual.

Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) yang diusulkan Komnas Perempuan sejak 2012 pun tak kunjung disahkan dengan alasan RUU tersebut dianggap tidak urgen karena hanya menyangkut "perempuan" (Wawancara dengan Rocky Gerung, 11 Desember 2015). Jika dilihat dari jumlah kasus kekerasan dan pelecehan pada perempuan yang terus meningkat dalam beberapa tahun ini, RUU PKS sudah seharusnya segera disahkan, namun realitanya dalam proses pengesahannya sering terhambat. Contohnya seperti perbedaan ideologi dan pola pikir antar anggota DPR mengenai "perempuan" sehingga dalam pengesahannya sulit untuk direalisasikan. Pada 2021, RUU PKS resmi masuk kembali ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) yang sebelumnya dikeluarkan pada 2020 karena adanya dinamika dalam pembahasannya. Yang pertama, terkait dengan judul RUU antara penggunaan kata "kejahatan seksual" atau "kekerasan seksual"; kedua tentang jenis-jenis kekerasan; ketiga tentang sexual consent; dan keempat tentang kontrol respon dari masyarakat (dpr.go.id, 2021).

Dengan adanya RUU PKS, hukum dan undang-undang terhadap kekerasan yang terjadi pada perempuan akan semakin jelas dan spesifik. Di antaranya adalah pelecehan seksual fisik, pelecehan seksual non fisik, pelecehan seksual berbasis elektronik, pemaksaan kontrasepsi, pemaksaan sterilisasi, eksploitasi seksual dan penyiksaan seksual. Dan juga, hak-hak korban dan keluarga korban terpenuhi, seperti diberikan hak atas penanganan, hak atas perlindungan dan hak atas pemulihan, hak pendampingan yang berorientasi pada pemberian kekuatan secara fisik, mental, dan emansipasi korban dalam mengakses hak atas penanganan, perlindungan, dan pemulihan termasuk dalam menempuh proses peradilan.

RUU PKS juga menjadi tameng hukum dalam melindungi hak para korban kekerasan yang dapat memudahkan korban mulai dari mengajukan laporan, larangan untuk aparat peradilan melakukan tindakan diskriminatif, menjamin hak korban dari penyelidikan hingga sidang di pengadilan hingga pendampingan korban.

Kasus ini tak hanya disorot masyarakat, tapi juga terdapat peran LSM dan para aktivis feminisme yang ikut menyuarakan mengenai hak perempuan. Feminisme, merupakan gerakan perempuan untuk menuntut persamaan hak secara penuh untuk mencapai kesetaraan gender. Tak hanya menyuarakan tentang kesetaraan gender, feminisme juga mengangkat masalah yang harus dihadapi perempuan seperti pelecehan seksual, kekerasan, pemerkosaan, perceraian, dan lainnya.

Di Indonesia, dengan jumlah kasus kekerasan yang dinilai sudah sangat mengkhawatirkan ini memunculkan berbagai tuntutan pengesahan RUU PKS untuk menegakkan keadilan dari perspektif korban yang sekarang menjadi prioritas utama aktivis feminis di Indonesia. Disisi lain, banyak argumen yang muncul bahwa RUU PKS memuat teori hukum yang berasal dari negara barat, dianggap tidak memiliki dasar yang nyata, dan dianggap mendukung zina, melegalkan LGBT, melegalkan sex bebas, melegalkan aborsi, dan membebaskan perempuan dalam berpakaian.

Hambatan-hambatan tersebut membuat kaum feminisme dan masyarakat yang mendukung gerakan feminis semakin gencar untuk menyuarakan pentingnya RUU ini bagi kaum perempuan. Komnas Perempuan pun ikut menyuarakan gerakan ini dan ikut berkontribusi untuk mendukung disahkannya RUU PKS dan menyatakan bahwa RUU PKS diadopsi dari prinsip keadian yang sesuai dengan sila ke-5 Pancasila yang berbunyi "Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia" yang mana RUU PKS bersifat bebas dan liberal. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan bahwa RUU PKS dapat menutupi kekosongan hukum di Indonesia dalam menindak kekerasan seksual yang belum diatur dalam undang-undang (koran tempo.co, 2021).

Hadirnya kaum feminisme dan LSM yang mendukung memiliki pengaruh besar dalam menyuarakan isu ini. Karena faktanya, banyak kekerasan seksual yang dialami perempuan di Indonesia. Maka dari itu, aktivis feminis dan LSM sangat gencar mengangkat isu ini yang menyangkut hak-hak perempuan dan Hak Asasi Manusia atas bebas dari rasa takut dan hak atas rasa aman (UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM Pasal 30).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline