Lihat ke Halaman Asli

Audrina Tiara

Mahasiswa

Sejarah Kelam di Balik Kejayaan: Jugun Ianfu sebagai Dosa Besar Tentara Jepang

Diperbarui: 21 Desember 2023   12:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Penderitaan Perempuan Korban Perbudakan Seks pada Perang Dunia II 

Perang Dunia II memberikan banyak luka kelam bagi para masyarakat sipil yang menjadi korban. Sejarah yang telah berlalu tidak menutup kenangan bagi para korban akan kekejaman masa lalu yang mereka alami, yang salah satunya adalah kaum perempuan yang menjadi korban perbudakan seks militer. 

Dalam konflik yang mencakup seluruh dunia ini, ribuan perempuan menjadi korban praktik kejam ini yang menggiring mereka ke dalam situasi perbudakan seksual oleh tentara laki-laki. Para tentara laki-laki di balik kegagahan dan perjuangannya dalam membela negara atas nama nasionalisme ternyata tidak terlepas dari aib sejarah yang mereka miliki dengan perilaku tidak beradab yang mereka lakukan. Dibalik kejayaan para tentara laki-laki, mereka mengubur masa lalu kelam yang akhirnya terkuak kepada dunia untuk menyuarakan keadilan bagi para korban, yaitu perilaku kekerasan dan perbudakan seks oleh para tentara laki-laki. 

Seperti binatang yang penuh nafsu, para tentara laki-laki menggunakan perempuan sebagai objek penghibur dan pemuas hasrat seksual mereka di tengah riuhnya peperangan. Salah satu dosa besar yang dilakukan oleh tentara laki-laki khususnya tentara Jepang adalah praktik Jugun Ianfu yang merupakan sebutan lain dari perempuan pelayan seks untuk tentara Jepang. Mirisnya, praktik pelacuran dan perbudakan seks dalam militer Jepang pada masa itu merupakan kebijakan yang memang sudah disiapkan oleh pemerintah Jepang (Suliyati, 2018). 

Hal ini menandakan betapa rendahnya kedudukan perempuan di mata pemerintahan Jepang pada masa itu. Perempuan hanya dijadikan sebagai objek pemuas nafsu belaka agar dapat mendukung tentara Jepang sebagai dukungan seksual. Tidak jarang perempuan diperjual-belikan, yang semakin merendahkan status dan derajat perempuan pada masa itu. Padahal, seharusnya tentara Jepang dengan segala integritasnya dapat melindungi negara, dengan perempuan yang merupakan kelompok dalam negara tersebut.

Dampak psikologis, sosial, dan kemanusiaan dari kasus kekerasan dan perbudakan seks ini tentu saja menjadi luka dalam bagi para korban. Banyak pelanggaran HAM berat yang terjadi dalam kasus ini, seperti penghilangan hak kebebasan, hak untuk mendapatkan keamanan dan perlindungan, hingga penghilangan nyawa yang terparah. Isu kekerasan terhadap perempuan mencakup berbagai bentuk perlakuan yang merugikan, termasuk fisik, seksual, psikologis, dan ekonomi. 

Dalam konteks Jugun Ianfu, kekerasan terhadap perempuan adalah berbentuk perbudakan seks yang tentu saja merugikan segala aspek kehidupan dari korban tersebut. Maka penting mengingat bahwa isu ini tidak pernah menjadi perhatian pada masa itu, karena stigma masyarakat yang masih rendah terhadap perempuan dan kurangnya kesadaran masyarakat dunia akan kejamnya dampak dari peperangan yang menimpa perempuan.

Mengapa Perempuan? Mengapa Perbudakan Seks?

Perempuan dianggap sebagai salah satu kelompok paling rentan khususnya jika terjadi konflik dan peperangan. Perempuan tidak ditugaskan dalam garda terdepan untuk membela negara dan menyumbangkan fisiknya secara langsung untuk terjun dalam medan peperangan. 

Hal tersebut mengakibatkan adanya perbedaan peran perempuan dan laki-laki yang sangat signifikan ketika terjadi perang. Laki-laki yang terjun langsung dalam medan perang dengan semangat nasionalismenya menimbulkan ego yang tinggi dan validasi untuk mencari pelampiasan untuk melepas lelah. Sayangnya, perempuan yang tidak memiliki kekuatan apa-apa yang menjadi korban pelampiasan tersebut melalui perbudakan seks sebagai penghibur para tentara.

Suliyati (2018) dalam jurnalnya juga menyatakan bahwa praktik perbudakan seks atau Jugun Ianfu sebenarnya tidak hanya terjadi di Jepang dan menimpa perempuan Jepang saja. Masih ada banyak negara-negara lain yang juga melegalkan praktik kejam ini. Hal ini menandakan bahwa pelanggaran HAM yang terjadi akibat perbudakan seks saat perang menjadi peristiwa kelam yang universal. Artinya, penghapusan praktik tersebut dan penebusan dosa harus dilakukan oleh dewan internasional yang membantu untuk memulihkan para korban dan mencegah peristiwa tersebut agar tidak kembali terjadi.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline