Pajak adalah urat nadi utama pembiayaan negara. Lewat penerimaan pajak, pemerintah membangun infrastruktur, menyediakan layanan publik, hingga menstabilkan ekonomi. Namun, realita di Indonesia menunjukkan, penerimaan pajak kerap diwarnai fluktuasi. Pada periode 2012-2015, misalnya, penerimaan pajak sempat naik dari Rp1.332 triliun pada 2012 menjadi Rp1.633 triliun pada 2014, tetapi turun lagi menjadi Rp1.496 triliun pada 2015. Untuk menanggulangi hal ini, pemerintah kerap mengandalkan kebijakan Tax Amnesty atau pengampunan pajak sebagai solusi instan.
Apa Itu Tax Amnesty?
Tax Amnesty adalah kebijakan yang memungkinkan wajib pajak yang tidak patuh untuk melaporkan aset dan membayar tebusan dengan imbalan penghapusan sanksi. Kebijakan ini pertama kali diimplementasikan melalui UU Nomor 11 Tahun 2016. Tax Amnesty Jilid I saat itu berhasil meningkatkan penerimaan pajak dari Rp1.496 triliun pada 2015 menjadi Rp1.784 triliun pada 2016, serta merepatriasi dana sebesar Rp147 triliun. Program ini juga memperluas basis pajak, menambah ratusan ribu wajib pajak baru.
Namun, Tax Amnesty juga membawa pro dan kontra. Di satu sisi, kebijakan ini mendatangkan manfaat langsung berupa lonjakan penerimaan pajak. Di sisi lain, ada kekhawatiran bahwa pengampunan berulang kali bisa menciptakan ketidakadilan dan moral hazard.
Mengapa Tax Amnesty Diperdebatkan?
Manfaat Jangka Pendek: Mendongkrak Penerimaan dan Likuiditas
Data menunjukkan bahwa Tax Amnesty Jilid I dan II berhasil mendatangkan triliunan rupiah dari uang tebusan dan deklarasi aset. Program ini juga memperkuat likuiditas ekonomi domestik dengan membawa pulang dana yang sebelumnya "parkir" di luar negeri. Likuiditas ini mendorong investasi, meningkatkan konsumsi, dan mempercepat pembangunan.
Namun, manfaat ini sering kali bersifat jangka pendek. Ketika program berakhir, penerimaan pajak cenderung kembali stagnan, terutama jika kepatuhan wajib pajak tidak meningkat secara signifikan.
Risiko Jangka Panjang: Ketidakadilan dan Penurunan Kepatuhan
Kritik utama terhadap Tax Amnesty adalah dampaknya terhadap keadilan sosial. Wajib pajak yang patuh merasa dirugikan karena mereka tidak menerima pengampunan serupa. Sementara itu, wajib pajak yang tidak patuh justru diuntungkan. Ketidakadilan ini berpotensi menurunkan kepatuhan wajib pajak secara keseluruhan.