Lihat ke Halaman Asli

Aku Belajar dari Kegagalanku

Diperbarui: 7 September 2015   21:03

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pilihan dalam hidup begitu banyak, begitu juga pilihan dalam menentukan universitas. Dalam memilih universitas untukku sangat tidak mudah, disaat teman lain sudah mendaftar banyak universitas swasta ataupun mengikuti bimbel untuk mengejar perguruan tinggi negeri, jujur saja aku belum melakukannya hingga akhir semester 1 kelas 12. Saat itu, aku memiliki cita-cita untuk melanjutkan sekolahku ke luar negeri, setelah aku berbicara akan rencana sekolahku ke orang tua, mereka pun memberikan dukungan, dan aku pun bahagia karena mereka akan mendukungku baik secara finansial dan moral.

Pada saat itu juga, akhirnya aku membuat keputusan untuk melanjutkan pendidikanku di Jerman, tetapi papa memberi syarat, kalau mau kuliah di luar negeri, aku harus berusaha sendiri dalam mencari informasi untuk les dan mencari universitas. Akhirnya aku memulai mengambil kursus bahasa Jerman di daerah Tangerang Selatan karena tidak terlalu jauh dari rumahku. Proses untuk memahami bahasa Jerman dalam waktu singkat pun tidak mudah, aku harus memahami 1 level dasar dalam 6 bulan dan setelah itu aku mengambil kursus intensif 3 bulan dalam menyelesaikan 2 level berikutnya. Di akhir level yang aku ambil, aku pun harus menempuh ujian untuk mendapatkan sertifikat sebagai syarat agar aku bisa menempuh studi di Jerman.Setelah menyelesaikan kursus bahasa Jerman, akhirnya aku memulai mengurus visa di akhir bulan September dengan harapan akhir Oktober semua sudah beres dan aku bisa berangkat ke Jerman dengan tujuan melanjutkan kursus ke level yang lebih tinggi. Setelah 2 minggu berjalan, aku pun menanyakan proses visaku ke kedutaan Jerman dan ternyata megurus visa tidaklah mudah, aku banyak mengalami halangan dalam mengurusnya, dimulai dari pengurus visa yang galak hingga lamanya menunggu jawaban mengenai visaku. Dari minggu ke minggu, visaku semakin tidak jelas, pihak kedutaan banyak memberikan syarat yang menyulitkanku untuk berangkat sampai rencanaku untuk berangkat akhir bulan Oktober pun gagal.

Aku harus bersabar menunggu lagi dan aku pun harus mengurus kursusku agar jadwalnya bisa menyesuaikan visaku. Setiap minggu, aku hampir selalu ke kedutaan hanya untuk mengecek visa dengan jawaban yang selalu tidak jelas. Hingga setelah 6 bulan menunggu, aku pun tahu ternyata visaku ditolak dengan alasan yang menurutku tidak jelas pula. Dari situ, aku benar-benar sedih, aku merasa sudah berjuang keras dalam rencana pendidikanku ini, rasanya aku pun hancur. Disitulah titik terendah aku dimana rasanya hidup ini kejam, aku merasa menjadi orang paling gagal di dunia ini.

Aku hidup di rasa kegagalan memakan waktu yang lama, hal itu menjadikanku orang yang tertutup dan mudah sedih, padahal sebelumnya aku adalah tipe anak yang periang dan terbuka. Jujur saja aku marah kepada Tuhan karena memberikanku kegagalan ini.Sampai pada akhirnya, setelah orang tuaku menasehatiku dengan sabar hampir setiap minggunya karena aku menangis terus, aku pun sadar, tangisanku sangat tidak berguna. Dari situ aku bangkit dan mulai mencari jalan lain untuk melanjutkan pendidikanku.

Walaupun akhirnya aku telat kuliah, setidaknya aku belajar bersyukur karena aku masih bisa kuliah dan orang tuaku masih mampu membiayaiku. Aku juga belajar bahwa memang rencana Tuhan lebih indah dari rencana manusia. Sekarang, aku sangat bahagia dan kembali menjadi diriku yang dulu dengan kehidupan baru yang jauh lebih indah dengan orang-orang yang selalu mencintaiku.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline