Lihat ke Halaman Asli

Cinta yang Sesungguhnya

Diperbarui: 25 Juni 2015   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Dear, buku harianku.

Maaf, aku menutupi namanya dengan merahnya darahku.

Diary, pertama kali aku mengetahuinya, aku berhasil memandangnya dengan kedua bola mata yang anggun, lalu aku berhasil senyum untuknya. Hingga suatu hari, aku bercerita tentang rasaku terhadap sahabat cantikku. Akan tetapi, dia membalasnya dengan air mata yang berselimut selengkung senyuman. Hingga aku bertanya "Apa yang terjadi?" tertiba pandanganku gelap menyusut, aku merasa terputar, lalu terfokus dengan suara ayah dan ibunda tersayang yang memanggil namaku sambil tertawa. selanjutnya aku merasakan sebuah tarikan dari sahabat kecilku, Fanya yang bersemangat untuk mengajakku bermain "Ayo, Syafa kita main disana lagi" begitulah suara manisnya, dan akupun terbangun tertiba. Hanya ada Fanri disampingku, dan tergambar hujan deras disekeliling kami, kami terduduk dipinggir halaman sekolah sambil tertegun melihat hujan nan deras beserta satu binntang yang menerang disebelah bulan yang kesepian. "Kenapa sih harus hujan, gue kan jadi gak bisa dinner sama Safira" Ucap Fanri dengan nada ketus. "Gue juga gak bisa nyampelin salam terakhir ke ayah dan bunda gue" balasku "Kenapa sih, lo masih percaya sama kematian itu?" tanyanya kesal. "entahlah, tapi......." jawabku yang tertiba, terpotong karena melihat Fanri yang tertiba bangun dan berlari keluasnya halaman sambil berteriak. "gueeeeee gaak pernah mau kehilangan lo" lalu aku membangun menyusulnya sambil merentangkan dan berjalan terputar menghampiri posisinya "tapi hidup gue udah gak lama lagi" balasku terharu sambil memandang wajahnya secara mendalam. "kenapa lo ngelakuin ini disaat...." "disaat? disaat apa? disaat lo mulai mencintai dia? dan butuh gue untuk mencurahkan semua isi hati lo ke safira? iyaa kan Fan? basi tau gak lo!" balasku memerah, tiba-tiba aku merasakan darah yang biasa keluar dihidungku datang lagi, bahkan semakin terlihat memerah, jantungku terasa mengecam membeku, saat itupun seluruh badanku terdorong menjatuh, aku semakin merasakan hawa yang dingin yang membuat diriku semakin membeku tanpa dekapan hangat. "Syaf? lo kenapa" tanyanya sambil ikut menjatuhkan badanya dan mengeratkan dekapannya. "Syaf ayo pulang!" serunya sekali lagi. "gak perlu Fan" "tapi lo sakit. kenapa sih lo gak mau ngertiin gue, sedikit aja" "maaf Fan, maaf. hari ini gue udah gak punya harapan lagi. harapan untuk buat lo cinta sama gue, dan gue sadar. itu semua gak perlu, karena gue udah milikin lo, walaupun gak sepenuhnya. Gue..." "apa Syaf..apa?" "Gue selalu nunggu lo, kapanpun disaat hati gue butuh lo, tanya hujan, tanya bulan dan bintang yang selalu kita pandang, tanya sekumpulan surat-surat yang gak pernah lo bales, tanya darah dan air mata yang selalu gue keluarin buat lo. Tapi lo gak pernah sadar, sampai akhirnya lo memilih dia, maafin atas seluruh sifat gue. tolong..tolong Fan, jangan lakuin hal yang sama lagi ke cewek yang mencintai lo tulus selanjutnya" Balasku yang tidak mengharapkan balasannya lagi, saat itupun aku melihat diriku sedang berbaring diatas pangkuan dan air matanya.

Terima Kasih Tuhan, aku baru sadar, bahwa ini yang diartikan Cinta sesungguhnya

Salam,

Syafa




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline