Lihat ke Halaman Asli

Bagaikan Anak Elang

Diperbarui: 24 Desember 2016   23:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Angin berhembus dingin di wajahku. Tanah 20 meter di bawahku akan jadi tempatku melepas nyawa jika aku lakukan sekarang. “Hidupmu masih panjang nak! Jangan putus asa! Ini bukan akhirnya!” Teriak bapak polisi di bawah. Haha. Bukan akhirnya. Ya, bagi mereka memang bukan. Bagiku juga bukan,  pada awalnya.  Dulu mungkin aku menganggap rendah orang yang membuang hidupnya begitu saja seperti ini. Mengakhiri sebelum seharusnya berakhir. Aku dulu berfikir orang-orang seperti itu berfikiran pendek. Namun itu semua sebelum aku mengalami hal yang sama. Ya…itu dulu…

Aku berjalan menyusuri jalan raya yang cukup ramai. Pagi itu tak setitikpun ada semangat yang menggerakkan tubuhku, hanya ada keterpaksaan. Tugas Presentasi, makalah dan ulangan, aku belum siap untuk hari ini. Yah paling tidak aku sudah menyelesaikan tugas merangkum untuk hari ini. Tetapi tatap saja, bisa kubayangkan wajah guru bak setan menceramahiku hari ini ketika tahu aku tak “menghargainya” dan “menganggap enteng” tugasnya. TIIIN! TIIIN! TIIIN! Klakson motor di belakangku. Aku menoleh. “Woi minggir sana, jangan ngalangin jalan! Dasar bego!” Teriak sang pengemudi. Aku kaget, lalu segera minggir ke samping kiri trotoar menjauhi jalan raya. Pengemudi itu langsung tancap gas, melesat kemudian menghilang di sela-sela mobil jauh di depan. Belum selesai, masih ada beberapa pengendara lain yang juga melintas di atas trotoar.

Heeeh. Kuelus dadaku mencoba sabar. Salah satu cara untuk menghadapi orang bodoh adalah dengan cara tidak menjadi bodoh juga. Kalau sudah terlanjur ikutan jadi bodoh, pasti akan kalah argumen karena kalah pengalaman dengan yang sudah lebih lama jadi orang bodoh. Ya itulah dunia ini. Tak mau kupikir panjang, kupercepat langkahku menuju sekolah.

Aku sampai beberapa menit lebih awal seperti biasanya, cukuplah. Kuberjalan melewati deret-deret kelas lain, menuju ke kelasku sendiri. Suasana di kelasku masih sepi, hanya beberapa murid yang sedang asik sendiri dibangku mereka, dan beberapa bangu bertas, yang pemiliknya entah di mana. Entah memang jam mereka semua mengikuti bagian bumi lain, atau memang mereka malas. Biarlah, yang penting aku harus tetap semangat. Aku tahu sebentar lagi masuk, kucoba membuka laptop kesayanganku, dan mengerjakan tugas presentasi itu.

Yah, tak terasa sebentar lagi bel masuk berbunyi. Seluruh sekolahan diselimuti nada-nada lagu daerah dan juga lagu kebangsaan. Beserta itu, rombongan murid datang berduyun-duyun. Kemudian, beberapa saat setelah lagu Indonesia Pusaka selesai diputar, berbunyilah bel masuk. Teman sebangkuku hari ini tidak masuk. It’s okay. Tapi yang jadi masalah adalah dia anggota kelompok presentasiku, dan membawa beberapa bagian slide presentasi. Duh, apa yang harus kulakukan nant? Ah tapi tak apa, aku yakin hari ini pasti tidak akan seperti hari kemarin, atau kemarinnya lagi. Tapi akan lebih baik lagi.

Kemudian, sang guru pkn pun datang. Senyumnya berkembang, terlihat riang. “Selamat pagi anak-anak!” sapanya, sambil berjalan ke meja guru untuk duduk. “Pagiiiiii pak!” sahut teman-temanku. “Sudah siap untuk presentasi?” tanya sang guru. Murid-murid pun mulai gaduh. Antara siap dan tidak siap. “Baiklah, kalau gitu segera kita mulai, ayo siapkan proyektornya!” Seru sang guru tanpa presetujuan.

Anak-anak lain mulai ramai bersiap-siap. Teman-teman sekelompokku mulai berdatangan ke arahku. “Gimana, udah selesai?” tanya Jabrik, yang entah mengapa dipanggil begitu. “Belum. Masih kurang.” Jawabku sambil terus menatap layar laptopku, mengerjakan. “Yaaaah.” Mereka semua berkata serempak kecewa. “Terus si Akmal kemana?” sambi tolah-toleh mencari jejak eksistensi teman sebangkuku itu. “Dia nggak masuk, udah dari kemaren kan.” Jawabku. “Adduuuh, terus gimana dong? Kamu sih ngerjain pake gak selesai!” keluh si Jabrik.

Kenapa aku yang disalahkan? “Ayo Jabrik, kelompokmu maju dulu!” perintah sang guru. “Maaf pak, tapi kami belum siap.” Kataku meminta keringanan. “Sudah, nggak ada alasan, ayo cepat!” bantah guruku. Dengan terpaksa kami maju. Mungkin ini saat yang tepat untuk improvisasi, mungkin saja kami bisa berhasil. Kutarik nafas panjang. I can and I will do this.

Setelah meniyapkan laptop aku bertanya pada temanku. “Ada yang mau buka? Ayo dong!” Mereka semua terdiam, hanya tolah-toleh tak mau tahu. Oke kalau begitu biar aku saja.

“Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.” Salamku dengan lantang memulai sesi presentasi. Selanjutnya aku menjelaskan subjek presentasi, dan memperkenalkan anggota kelompokku beserta nomor absen mereka.

“Ayo cepet yang presentasi siapa?” tanyaku. Mereka hanya menggeleng-gelengkan kepala tak mau. “Kamu aja dulu, kan yang bikin kamu, yang ngerti ya kamu doang, kita terakhir-terakhir aja.”  Setelah itu aku mulai, aku lanjutkan meskipun dengan slide presentasi dengan desain jelek, dan polos tanpa animasi. Namun semuanya mulai hancur.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline