Lihat ke Halaman Asli

Sertifikasi Guru: Sebuah Stagnasi Pendidikan (Reminder)

Diperbarui: 24 Juni 2015   03:13

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

"Melihat betapa simpang siurnya pendidikan dan pengembangannya, penulis sebagai praktisi sekaligus guru yang menolak untuk mendapat sertifikasi guru (setelah dua kali mendapat panggilan sertifikasi) merasa geram dengan keadaan dunia pendidikan hingga hari ini. Lewat tulisan yang pernah dimuat di media Lampung Post, 4 April 2009, penulis membuka kembali kesadaran dan esensi dunia pendidikan yang seharusnya. Mari kita kedepankan nurani! Mari kita jujur dengan kenyataan yang kita hadapi! Bangsa ini akan hancur dan sedang menuju ke arah sana. Uang telah membobrokkan moralitas pemimpin-pemimpin bangsa ini dan kini telah merasuk ke dunia pendidikan. Bangsa ini berduka!"

Kekuatan uang sangatlah besar memporak-porandakan dunia dan menjungkirbalikkan logika berpikir. Tidak sedikit hati nurani hanyut di telan kekuatan supremasi uang dengan segala kenikmatannya. Banyak orang berubah pikiran seketika dan berperilaku tidak logis karena demi mendapat uang yang berlimpah. Bahkan, tidak sedikit pemimpin bangsa ini juga hancur karena keserakahannya pada uang.

Sebuah kesadaran terbangun bahwa uang memiliki sisi menolong tapi di sisi yang lain dapat menghancurkan. Itulah sebabnya sering kita dengar sebuah perumpamaan “bagaikan sekeping uang” karena ada dua sisi yang tak terpisahkan. Seperti halnya kebaikan dan kebobrokan tidak dapat dipisahkan tetapi bisa kita bedakan dalam keseharian.

Sekeping Uang Sertifikasi

Berangkat dari sekeping uang itulah, sebuah pemikiran kritis atas sertifikasi guru akan dimulai. Untuk apakah sertifkasi guru diadakan? Tentunya dengan mudah kita bisa menjawab bahwa sertifikasi untuk mengembangkan profesionalisme guru. Secara lebih dalam lagi, sertifikasi mengusahakan sebuah profil guru yang tidak hanya sekedar menjadi pengajar tetapi dapat menjadi pendidik. Sebuah tujuan yang mulia, guru diharapkan tidak sekedar melakukan transfer ilmu pada anak didik tetapi juga mendampingi dan menjadi teladan akan nilai-nilai kehidupan bagi anak didik.

Benarkah sertifikasi untuk sebuah profesionalisme? Jangan-jangan sertifikasi hanyalah demi uang yang menjadi kompensasi dari lulusnya uji sertifikasi. Sejumlah uangdiberikan sebesar gaji pokok yang tidak sedikit jumlahnya dalam kurun waktu tertentu benar-benar menyedot perhatian banyak kalangan pendidikan. Berbagai usaha untuk melengkapi arsip (portofolio) diusahakan dengan berbagai cara. Bahkan sambil menunggu giliran sertifikasi, banyak guru menjadi rajin mengikuti banyak seminar, pelatihan, atau workshop demi mendapat sertifikat. Apakah semua itu demi profesionalisme? Ataukah, demi uang yang menggiurkan itu?

Sertifikasi benar-benar seperti sekeping uang. Di satu sisi profesionalisme ingin dikedepankan tetapi di sisi lain justru memporak-porandakan dunia pendidikan. Dan ini bisa menjadi awal kehancuran dunia pendidikan itu sendiri. Bahkan, nantinya sertifikasi akan menjadi sebuah arena mendapatkan uang saja, sedangkan profesionalisme tinggal menjadi mimpi dunia pendidikan belaka.

Profesionalisme Tergadai

Uang dapat menjadi bomerang bagi dunia pendidikan. Banyak kepala sekolah hancur dan tidak lagi fokus akan pengembangan sekolah karena kepala sekolah sibuk dengan otak-atik uang. Ketika uang menjadi tujuan dari sebuah pelayanan pendidikan niscaya lambat laun akanmerontokkan jiwa edukatif itu sendiri.

Ketika banyak guru ikut sertifikasi hanya demi mendapatkan tambahan uang, maka profesionalisme itu sudah tergadai. Profesionalisme disamakan dengan sejumlah uang dan lebih dari itu, profesionalisme dibelenggu menjadi sebuah tujuan. Padahal, pada hakekatnya profesionalisme adalah sebuah proses karena profesionalisme merupakan sebuah aktualisasi kemampuan seiring perkembangan jaman. Celakanya, sertifikasi telah menjadi biro penggadaian untuk sebuah profesionalisme guru.

Bahkan lebih dari itu, nasib anak-anak didik kita pun mulai tergadaikan juga. Ketika para guru sibuk memburu sertifikat, anak didik mulai terlupakan. Banyak fenomena di mana guru sibuk meninggalkan kelas untuk sebuah sertifikat.

Di sisi lain, di saat guru sudah dinyatakan lulus uji sertifikasi, jangan-jangan guru sudah merasa puas karena sudah layak dianggap professional. Memang ada sebuah supervisi yang direncanakan untuk meninjau mereka yang sudah lolos dalam kurun waktu tertentu, tetapi sehebat dan seefektif apakah supervisi itu? Padahal untuk uji sertifikasi sampai pencairan “dana profesioanl” saja tersendat-sendat.

Sebenarnya inilah yang disebut dengan stagnasi pendidikan. Pengambil kebijakan pendidikan sudah buntu untuk mengembangkan dunia pendidikan itu sendiri. Akibatnya, uang menjadi senjata andalan untuk menutupi itu semua. Memang dengan iming-iming uang untuk sebuah profesionalisme sangat efektif di mana hal itu tampak dari antusiasme guru untuk mengikuti uji sertifikasi. Dan, ini juga akan menjadi sangat efektif untuk merobohkan pendidikan itu di kemudian hari.

Menebus Profesionalisme

Tiba saatnya untuk menebus kembali profesionalisme itu demi esensi pendidikan itu sendiri. Pendidikan adalah lingkungan untuk berproses memanusiakan manusia itu sendiri menuju ke taraf insani. Dan, Jeffrey Glanz (2006) dalam bukunya Cultural Leadership mengatakan bahwa sekolah ada untuk anak didik sehingga sudah selayaknya pendidikan berfokus pada kebutuhan dan perkembangan anak didik.

Ketika pelaku pendidikan yang semestinya menjadi mitra belajar bagi anak didik mulai “dimabuk” dengan profesionalisme yang berfokus pada uang, saatnya mengembalikan spirit profesionalisme itu sendiri. Mengkaji ulang eksisitensi sertifikasi menjadi langkah awal yang baik untuk menebus profesioanlisme yang tergadai itu.

Uang bukanlah reward yang tepat dalam dunia pendidikan. Ketika sertifikasi guru yang ingin menguak profesionalisme guru dengan memberi reward dalam bentuk uang, maka bidikan itu akan mudah melenceng. Fakta telah membuktikan, guru ingin lulus sertifikasi bukan demi mengembangkan profesionalisme tetapi demi mendapatkan uangnya.

Penghargaan atas kemajuan guru dalam karier dapat diberikan dalam bentuk kesempatan, seperti studi lanjut baik dalam maupun luar negeri, mengikuti kursus bidang tertentu baik dalam maupun luar negeri, mengadakan penelitian pribadi atau kolaboratif, mengembangkan proyek pengembangan pendidikan, dan masih banyak lagi bentuk-bentuk kesempatan yang bisa diberikan.

Memberi kesempatan bagi guru untuk berkembang dan maju dengan memfasilitasi mereka adalah sebuah cara yang lebih berkesinambungan dan bisa diharapkan uuntuk dunia pendidikan itu sendiri. Hal ini akan terasa beda ketika penghargaan itu hanya berupa sejumlah uang yang tidak jelas kegunaannya bagi profesionalisme guru itu sendiri.

Sebuah komparasi dapat dilakukan tatkala sertifikasi guru tidak lagi memberi reward atas kemajuan atau profesionalisme guru dalam bentuk uang tetapi dalam bentuk kesempatan. Sebuah prediksi dapat dilontarkan bahwa antusiasme guru tidak akan terlalu besar. Karena kesempatan tidaklah semenarik uang yang nyata dan bisa digunakan untuk berbagai keperluan seketika itu juga. Bahkan, tidak akan sedikit guru yang berkomentar, “Untuk apa saya kuliah, kursus, ikut pelatihan itu, buat proyek ini?”

Komentar itu dapat menjadi sebuah fenomena bahwa praktisi pendidikan pun sudah dilanda sebuah stagnasi pendidikan, sulit untuk berkembang dan lebih menikmati kemapanan. “Kalau begini saja sudah jalan, mengapa harus begitu?” Hal itu semakin menguatkan wabah stagnasi pendidikan itu. Indikasi-indikasi itu dapat menjadi bukti bahwa kekuatan uang dapat menyimpangkan spirit dunia pendidikan akan profesionalisme.

Akhirnya, sebuah kesadaran besar mesti dibangun bahwa profesionalisme bukanlah sebuah tujuan dan batas akhir dari sebuah pengembangan pendidikan. Akan tetapi, profesionalisme adalah sebuah proses berkelanjutan dalam mengaktualisasikan keterampilan dan pelayanan untuk dunia pendidikan, khususnya demi pengembangan anak didik. Dan, sertifikasi adalah media yang efektif tatkala bukan uang sebagai reward tetapi kesempatan-kesempatan bagi guru untuk mengembangkan kemampuannya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline