Lihat ke Halaman Asli

Segera: Didirikan Sekolah Kehidupan untuk Bangsa

Diperbarui: 24 Juni 2015   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

“Makna hidup bukanlah meraih kemakmuran melainkan mengembangkan jiwa”, begitulah ungkapan Alexander Solzhenitsyn, penulis dan pemenang hadiah nobel. Menggunakan ungkapan itu untuk melihat kenyataan kepemimpinan Indonesia dewasa ini sangatlah miris dan ironis. Sebuah pemandangan yang umum dan lazim melihat kehidupan pemimpin bangsa ini yang bergelimpangan harta dan kemewahan. Bahkan para pemimpin kita nyaris tertutup hati nuraninya oleh keserakahan dan kemakziatan.

Satu hal yang terlupakan oleh para pemimpin bangsa ini adalah untuk siapa mereka memimpin. Inti dasar dari sebuah kepemimpinan adalah kekuatan masyarakat atau rakyat yang mereka pimpin. Tanpa rakyat yang mempercayai mereka maka sesungguhnya seorang pemimpin sudah mati. Jika dinyatakan dalam bahasa yang tragis, tanpa kepercayaan rakyat maka pemimpin akan segera dimatikan oleh rakyat dalam perjalanan waktu. Sejalan dengan yang dinyatakan Alexander tentang makna hidup, maka kepemimpinan sesungguhnya adalah mengembangkan jiwa yang mengarah pada kesatuan hati dan budi bersama dengan masyarakat dalam membangun semesta.

G. Alan Bernard, presiden dari Mid Park, Inc., menyatakan, “Kehormatan yang harus dimiliki seorang pemimpin menuntut etika yang benar-benar sempurna. Seorang pemimpin tidak hanya harus mengetahui yang benar dan yang salah, tetapi juga harus menghindari ‘wilayah kelabu’ (area yang tidak jelas)”. Tentu kita masih ingat kata-kata para pejabat di masa rezim Soeharto, yakni selalu mengatakan “semua baik-baik saja” tatkala mister presiden bertanya. Semua dilakukan agar mister presiden tenang dan merasa semua sudah berjalan sesuai dengan kehendaknya. Baik-baik saja merupakan sebuah bentuk verbal dari wilayah kelabu di sebuah rezim kepemimpinan bangsa ini.

Di masa kepemimpinan masa kini yang sangat kental dengan konspirasi antar golongan dan partai sesuai dengan kepentingan politik masing-masing maka sangat mudah kita temukan kata “tidak ada apa-apa” tatkala sebuah kasus atau kebobrokan mulai terkuak. Selain itu, kata “demi” sangat laris manis dalam percaturan politik dan sosial. “Demi masyarakat maka partai kami...” begitulah banyak parta berjualan ide dan mencoba menarik simpatik masyarakat walau setelahnya ‘habis manis sepah dibuang’. Sering kali kita dengar “demi moral anak bangsa kami menolak...” atau “demi tegaknya iman maka sepatutnya...”. Begitulah golongan-golongan tertentu berteriak-teriak memperjuangkan moralitas dan iman atas nama anak bangsa dan generasi walau menggunakan cara-cara tidak bermoral dan tidak beriman. Akhirnya kita sadar, dari masa ke masa telah terjadi suatu ‘wilayah kelabu’ yang sesungguhnya menjerumuskan dan menghancurkan orang lain bahkan bangsa ini.

Konteks Pendidikan

Dalam sebuah film Patch Adam yang dimainkan oleh Robin Willimas digambarkan dengan jelas dan nyata bahwa inti dari profesi dokter adalah bukan untuk menyembuhkan orang-orang yang sakit tetapi meningkatkan kualitas hidup mereka. Orang sakit pertama-pertama tidak membutuhkan obat tetapi membutuhkan suatu keadaan diterima, diperhatikan, dikuatkan, diteguhkan, dan didukung. Obat dan dokter hanyalah media yang mengiringi situasi itu menuju sebuah keadaan pasien yang lebih baik. Patch Adam berusaha menghibur pasien dengan pakaian badut untuk anak-anak yang terserang kanker bahkan menghibur nenek yang sakit dengan kolam mie buatan ketika menjadi mahasiswa kedokteran yang sedang praktik di rumah sakit. Dia sadar betul bahwa dokter sebagai pemimpin hendaknya mengembangkan jiwa kedokterannya untuk menyentuh jiwa para pasien, bukan semata-mata mengobati secara medis dan dibayar karenanya. Bahkan dia tidak jatuh pada wilayah kelabu bahwa rumah sakit adalah tempat merawat dan mengobati orang sakit namun dia mempertegas wilayah itu bahwa rumah sakit adalah tempat interaksi manusia dalam pengembangan jiwa dan raga. Tidak mudah menjadi dokter luar biasa ala Patch Adam karena di luar sana kita menemukan banyak dokter biasa-biasa saja.

Sekolah Tomoe Gakuen di mana Totto Chan bersekolah merupakan sekolah di gerbong kereta yang mengedepankan pendekatan jiwa daripada penjejalan materi dan target nilai (skor) yang membuat para siswa stress dan para guru menjadi sadis. Totto Chan dapat belajar tentang kehidupan lewat pelajaran hidup. Dia belajar bagaimana seharusnya orang hidup dan menghidupi kehidupan ini selayaknya. Di sekolah ini Totto Chan tidak lagi melamun melihat ke luar kelas karena jenuh dengan ceramah sang guru. Di sekolah ini Totto Chan tidak lagi merasakan dimarahi dan dicap sebagai anak nakal dan bodoh. Akhirnya Totto Chan menemukan sekolah kehidupan sejati yang mengajarkan pelajaran hidup secara bermakna dan kontekstual.

Bagaimana pendidikan di negara tercinta ini? Tembok kelas telah menjadi “tembok ratapan” bagi para siswa karena begitu beratnya tuntutan kurikulum yang ada dengan mata pelajaran yang begitu banyak plus materi yang menumpuk. Sekolah telah menjadi neraka bagi anak-anak bangsa. Mari kita kembalikan keceriaan bersekolah dan kemeriahan ruang kelas belajar tentang persahabatan, persaudaraan, dan kehidupan. Segera: didirikan sekolah kehidupan yang nantinya melahirkan pemimpin-pemimpin bangsa yang berkarakter, humanis, dan mencintai bangsa beserta rakyatnya.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline