Lihat ke Halaman Asli

Auberta Amadea Puttiwi

Mahasiswa Fakultas Ilmu Keperawatan ( Universitas Indonesia )

Sanksi Hukum bagi Oknum Pemalsuan Rapid Test sebagai Bentuk Pelanggaran Upaya Pencegahan dan Penanggulangan Covid-19

Diperbarui: 10 Juni 2021   10:06

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Hukum. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Meningkatnya jumlah penderita covid-19 secara signifikan terhitung sejak kasus pertama di Indonesia pada  2 Maret 2020 hingga 8 April 2021 telah tercatat sebanyak 1,5 juta kasus. Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah dalam pencegahan dan penanggulangan penyebaran virus tersebut mulai dari himbauan untuk isolasi diri dengan upaya pemberlakuan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) serta penghimbauan masyarakat agar selalu mematuhi dan menerapkan protokol kesehatan. Tidak hanya itu, pemerintah juga berupaya melalui pemberlakuan kewajiban masyarakat yang akan bepergian atau melakukan perjalanan ke luar kota untuk menunjukkan surat keterangan hasil rapid test negatif covid-19 yang berlaku 14 hari sejak diterbitkannya surat rapid test tersebut serta upaya vaksinisasi yang tengah gencar dilakukan saat ini.

Sejak kebijakan tahun lalu terkait isolasi mandiri, pemerintah berasumsi bahwa ketika menjelang hari raya atau hari libur panjang tetap akan terjadi peningkatan aktivitas pelaku perjalanan yang tentunya akan menimbulkan cluster covid-19 baru. Oleh karena itu, pemerintah telah menetapkan sejumlah syarat bagi pelaku perjalanan diantaranya surat rapid test, swab PCR yang negatif, maupun GeNose yang bertujuan untuk mencegah penyebaran virus serta mengetahui dan mengantisipasi apabila orang tersebut positif corona. Persyaratan tersebut berdasarkan surat edaran Kepala BNPB Selaku Pelaksana Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Nomor 9 tahun 2020 tentang Perubahan Atas Surat Edaran Nomor 7 Tahun 2020 Tentang Kriteria dan Persyaratan Perjalanan Orang Dalam Masa Adaptasi Kebiasaan Baru Menuju Masyarakat Produktif dan Aman Corona Virus Disease-19 (Alih Usman, 2021)

POKOK PERMASALAHAN

Kasus-kasus pemalsuan surat keterangan tes rapid yang dikeluarkan oleh klinik atau tenaga medis akan menerima beberapa sanksi yang telah ditetapkan sebelumnya, baik itu pidana maupun perdata. Hal tersebut menjadi pokok permasalahan yang akan dibahas sebagai bentuk pelanggaran terhadap Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1501/MENKES/PER/X/2010 tentang Jenis Penyakit Tertentu yang Dapat Menimbulkan Wabah serta Tata Cara Penanggulangan Seperlunya. Permasalahan ini perlu adanya analisis dari kacamata hukum supaya masyarakat sebagai penerima pelayanan kesehatan berupa tes rapid dan tenaga kesehatan sebagai pemberi pelayanan kesehatan dapat mematuhi peraturan untuk memutus rantai covid-19 sehingga kebijakan yang telah ditetapan akan berjalan sebagaimana mestinya.

Tentunya, oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab dalam memperjualbelikan dan menggunakan surat keterangan tes rapid palsu tersebut memiliki beberapa alasan seperti kasus di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara yang menangkap dua orang tenaga kesehatan yang ketahuan menerbitkan ratusan lembar surat keterangan tes rapid palsu yang akan digunakan penumpang kapal untuk menyeberang ke Pulau Nias melalui Pelabuhan Sibolga. Tindakan tersebut dilakukan oleh tenaga kesehatan di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah dengan bantuan salah seorang perawat lainnya di sebuah klinik kesehatan di daerah tersebut lantaran terdesak uang untuk melunasi hutangnya.

Pada kasus tersebut, Kasat Reskrim Polres Tapanuli Tengah, AKP Sisworo mengatakan bahwa tidak ada perbedaan surat rapid test palsu dengan yang asli, namun setelah diteliti ternyata surat rapid test palsu yang diterbitkan pelaku sama sekali tidak mencantumkan kode registrasi dari instansi yang dicantumkan serta yang terdapat di surat itu hanyalah tanda tangan seorang dokter di Rumah Sakit Umum Daerah Kabupaten Tapanuli Tengah yang dipalsukan oleh para tenaga kesehatan tersebut. Dokter inilah yang kemudian melaporkan kejadian itu pada polisi setempat. Pasalnya setelah dilakukan penyelidikan dan dikonfirmasi ke fasilitas kesehatan yang dimaksud, mereka mengaku tidak pernah memiliki daftar nama sejumlah orang itu serta instansi merasa tidak mengeluarkan surat keterangan tersebut (Raymond, 2020).

Kasus pemalsuan surat tes rapid serupa juga terjadi di Palangka Raya dengan oknum pengguna seorang sopir di Posko Lintas Batas Gugus Tugas Penanganan Covid 19 Palangka Raya. Kejadian ini acap kali terjadi di daerah tersebut. Oleh karena itu, Antonius Kristianto sebagai Ketua DPD PPKHI Kalimantan Tengah memeringatkan bahwa tidak hanya oknum yang mengeluarkan surat, tetapi oknum yang menggunakan surat tersebut dapat dikenai hukuman pidana. Beliau juga mengatakan bahwa surat hasil tes rapid sebagai bukti yang menerangkan bahwa seseorang itu dalam keadaan sehat atau tidak. Apabila para sopir ini bekerja atas nama perusahaan, maka perusahaan pun wajib memfasilitasi rapid tes kepada karyawannya yang bepergian dalam menjalankan pekerjaan (Andre Faisal, 2020).

Melalui beberapa data kasus di atas dan kasus-kasus yang dikeluarkan oleh iNews (2020), ternyata kasus seperti ini telah terjadi sepanjang tahun 2020 di berbagai daerah dengan alasan pengguna diantaranya seperti ketakutan atau kecemasan jika dinyatakan negatif sehingga enggan melakukan tes Covid-19 yang sebenarnya, kemudian pengguna juga ingin mencari cara yang cepat untuk mendapatkan surat keterangan tanpa mengantri atau mendaftar telebih dahulu, hingga persoalan biaya (Maria Christina Malau, 2020).

Menurut sumber yang sama, petugas memproses sebagian pelaku perjalanan yang ketahuan untuk sebagian diamankan dan menjalani proses hukum, lalu sebagian pula ada yang diminta untuk menjalani tes agar bisa mendapatkan dokumen sah dan melanjutkan perjalanannya. Wakil Ketua DPR RI, Azis Syamsudin, sangat mengapresiasi tindakan kepolisian dan satgas covid-19 dalam pengungkapan sindikat pemalsu tes rapid ini baik di bandara, pelabuhan, maupun jalur darat yang lain karena menurutnya hal tersebut akan berdampak banyak terhadap orang lain apabila pelaku perjalanan ternyata terbukti positif Covid-19. Menurutnya temuan mengenai pemalsuan hasil tes Covid-19 perlu mendapatkan perhatian khusus karena dampaknya sangat berbahaya, bisa saja pelaku perjalanan tersebut positif Covid-19 sehingga dapat menularkan kepada orang lain di sekitarnya (Noverdi Puja Saputra, 2021).

ANALISIS HUKUM

Apabila ditinjau dari kacamata hukum, bagi pelaku yang membuat dan memalsukan surat keterangan hasil tes rapid serta bagi pengguna yang secara sengaja menggunakannya akan dikenakan sanksi berdasarkan pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana dengan ancaman pidana penjara selama-lamanya 6 (enam) tahun yang berbunyi demikian :

  • Barang siapa membuat surat palsu atau memalsukan surat yang dapat menimbulkan sesuatu hak, perikatan atau pembebasan hutang, atau yang diperuntukkan sebagai bukti daripada sesuatu hal dengan maksud untuk memakai atau menyuruh orang lain memakai surat tersebut seolah-olah isinya benar dan tidak dipalsu, diancam jika pemakaian tersebut dapat menimbulkan kerugian karena pemalsuan surat, dengan pidana penjara paling lama enam tahun
  • Diancam dengan pidana yang sama, barang siapa dengan sengaja memakai surat palsu atau yang dipalsukan seolah-olah sejati, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline