Lihat ke Halaman Asli

AT Wardhana

Orang biasa

Feodalisme Pendidikan di Indonesia: Antara Kasta dan Buku Pelajaran

Diperbarui: 21 September 2024   20:23

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

/id.pinterest.com/sutoriapp/

Jika feodalisme di Eropa ditandai dengan ksatria berbaju baja, istana megah, dan para bangsawan yang hidup dalam kemewahan, maka feodalisme pendidikan di Indonesia hari ini hadir dalam bentuk yang lebih halus, tetapi tidak kalah mematikan. Para "bangsawan" di sini adalah segelintir elit pendidikan dan birokrat yang mengendalikan sistem dengan tangan besi, sementara para "petani" modern --- siswa, guru honorer, dan sekolah-sekolah di pelosok --- terjebak dalam putaran tiada akhir dari keterbatasan akses, biaya tinggi, dan kurikulum yang, jujur saja, lebih mendewakan angka ketimbang esensi belajar.

Seperti para bangsawan feodal, elit pendidikan kita tampak sibuk di menara gading mereka, mengatur kebijakan dari jauh, penuh dengan teori pendidikan mutakhir yang hanya mereka pahami. Siswa dan guru di bawahnya hanya bisa menonton dan menebak-nebak, sambil berharap kebijakan tersebut tidak terlalu merugikan mereka. Pendiidkan berkualitas di Indonesia, tampaknya masih menjadi milik segelintir yang beruntung. Sekolah-sekolah yang dilengkapi dengan fasilitas mewah, bimbel-bimbel berbayar, serta jalur-jalur khusus untuk masuk universitas seolah menciptakan kasta baru di dunia pendidikan.

Kalau di era feodal, para petani terjebak dalam tanah yang tidak pernah bisa mereka miliki, hari ini siswa di sekolah-sekolah daerah terpencil berjuang di bawah kurikulum yang tidak relevan dan fasilitas minim. Dengan papan tulis yang retak, buku yang usang, serta akses internet yang lebih sering putus daripada sambung, pendidikan yang dijanjikan sebagai jalan keluar dari kemiskinan seakan menjadi lelucon. Apa bedanya mereka dengan para petani abad pertengahan yang bekerja keras tanpa harapan untuk naik kelas?

Jika di Eropa, Gereja Katolik menjadi penjaga ilmu, di Indonesia tugas itu diambil alih oleh birokrasi. Sistem pendidikan kita, penuh dengan regulasi dan aturan yang kaku, seolah memastikan bahwa hanya mereka yang mampu mengisi dokumen demi dokumen yang bisa "mendapatkan pendidikan". Kurikulum berubah seiring dengan mood kebijakan, tanpa memikirkan apakah guru dan siswa mampu mengikuti arus perubahan ini. Para guru dipaksa mengisi berkas yang tak berujung, daripada fokus pada esensi mendidik.

Biaya pendidikan yang kian tinggi adalah belenggu baru. Seperti para petani feodal yang tidak mampu membeli tanah, para siswa dari keluarga miskin hanya bisa bermimpi menembus pendidikan tinggi. Beasiswa? Tentu saja, tersedia, tapi aksesnya sulit, dan seringkali hanya mereka yang sudah berpendidikan tinggi yang bisa mengaksesnya. Cobalah tanyakan pada siswa di pelosok yang tak pernah mendengar apa itu internet: "Bagaimana caranya mendaftar beasiswa?" Jawabannya mungkin sama dengan pertanyaan bagaimana caranya petani feodal bisa naik kuda dan menjadi ksatria.

Seperti feodalisme yang memisahkan petani dari pusat pendidikan, hari ini, desa-desa terpencil di Indonesia masih menghadapi keterbatasan akses yang sama. Tidak adanya sarana transportasi yang layak, sulitnya jaringan internet, dan jauhnya sekolah-sekolah berkualitas membuat pendidikan hanya menjadi mimpi bagi mereka yang berada di ujung-ujung negeri. Dan ironisnya, kita terus mendengar "Indonesia Merdeka Belajar," meskipun merdeka dari apa dan untuk siapa masih jadi misteri.

Sama seperti feodalisme yang memelihara ketidaksetaraan, sistem pendidikan Indonesia tampaknya juga memperpanjang jurang antara yang kaya dan yang miskin. Sekolah-sekolah elit mempersiapkan siswa untuk menjadi bagian dari kelas penguasa, sementara sekolah di daerah hanya menghasilkan lulusan yang terjebak dalam lingkaran pekerjaan serabutan. Pengetahuan yang stagnan, kurikulum yang terlalu baku, dan minimnya inovasi memastikan bahwa hanya sedikit dari mereka yang mampu bangkit dari posisi sosial mereka.

Feodalisme di Indonesia mungkin sudah lama berlalu, tapi dalam bentuk pendidikan, ia tetap hidup dan sehat. Dengan hierarki yang tegas, kontrol yang kuat atas akses pengetahuan, dan jurang yang lebar antara yang bisa dan tidak bisa mengakses pendidikan berkualitas, kita telah menciptakan kembali sistem lama dalam bentuk yang lebih modern. Dan ironisnya, kita terus berdebat tentang pentingnya pendidikan bagi semua, sementara dalam praktiknya, kita hanya memberikan pendidikan kepada mereka yang sudah berada di puncak.

Jadi, pertanyaannya sekarang: kapan pendidikan akan benar-benar menjadi hak semua orang, bukan hanya segelintir "bangsawan modern" di negeri ini?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline