Lihat ke Halaman Asli

Lailatuscahyaningr

Mahasiswi Sastra Indonesia, Universitas Negeri Malang

Jejak-jejak Rindu

Diperbarui: 10 Februari 2019   12:47

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Daun itu mengalun kian anggun. Menggerakkan setangkai bunga mawar merah yang masih enggan kembang. Aku masih diam termenung. Duduk disebuah bangku besi yang dingin dengan roman yang membawaku hanyut dalam perasaan. Melihat sang mentari yang ingin segera beristirahat. Merebahkan dirinya dan kembali untuk esok hari. Langit jingga mengantarnya memasuki ruang peristirahatan. Senja. 

Suasana senja ini seperti pernah kurasakan sebelumnya. Kurasakan diantara relung -- relung jiwa yang kesepian. Entah mengapa. Saat -- saat yang ada di hari itu. 

Sebuah hari yang mengingatkanku pada sebuah nama. Sebuah suara. Juga sebuah jejak. Jejak -- jejak itu ada  terselimuti daun -- daun kering, kuning kecoklatan. Yang jatuh diterpa angin sepoi -- sepoi. Menjatuhkan diri diatas tanah coklat berpaduh hijau diantara rerumputan. 

Teduh, rindang, juga menyeramkan. Sebuah medan menuju pegunungan. Jalanan terjal juga lika -- liku tanjakan. Juga langit yang menatapku hari itu. Awan yang bergerak mendahului langkahku. Yang mungkin mengalunkan sebuah perasaan yang sama dengan rasaku.

Hati. Hatiku masih tertinggal dijalan itu. masih bisa merasakan saat -- saat itu. Saat dimana aku mencoba bertahan. Diantara hati juga diantara jiwa. Rasanya aku mati terbelenggu. Mati tanpa jiwa. Juga mati tanpa rasa. Namun hati ini tetap menggugah sebuah rasa yang berbeda. Membawa dan menggiring sebuah nama. Yang meninggalkan sebuah jejak juga rasa.

Lihat. Daun itu berkerumun diantara tanah yang basah kerana hujan. Saling tumpang tindih tutup -- menutupi. Menyembunyikan rasa yang jauh tertinggal. Tetapi kini rasa itu masih ada. Sangat ada. Bahkan tak terusik oleh rasa apapun. Rasa itu masih utuh. Meski sudah sangat jauh waktu berlari. Sepertinya rasa itu takkan mudah terganti. Entah aku pun juga tak mengerti mengapa. Yang jelas hatiku masih tertinggal di senja itu hari itu.

***

Pepohonan tinggi menjulang dengan rumput yang bertumbuh tinggi menyodorkan nuansa penuh makna. Suara deretan kayu yang membunyikan "kreeekk.. kreekk.." menyajikan suasana mistis. Kuraih tangan Mahen dan menggandengnya erat -- erat. Serasa tak ingin daku ini melepas.

Angin dingin melewati dan menyapaku. Menggerai jilbab biru yang kini kukenakan. Semilir.

Kami menyusuri jalan diantara guguran daun yang menguning. Merasakan hangatnya udara yang mulai memanas. Menerobos angin yang bertiup sepoi -- sepoi. Dan menyeruak rumput -- rumput yang meninggi. 

Kami berjalan berbaris memanjang layaknya bermain kereta api. Dengan suara khas dari gesekan sepatu dengan tanah yang berselimut daun menambah rasa keharmonisan alam. Burung -- burung beterbangan dan berpasangan menyanyikan lagu ceria. Membuat pepohonan yang rindang mengayun mengikuti kemerduan nyanyian burung. Suasana alam yang hijau dan segar sangat menggugah mata. Bagaimana tega tangan -- tangan ini mengusik keindahan seluar biasa ini?

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline