Sebelumnya, saya mengucapkan terma kasih banyak kepada para Kompasianer yang telah membaca artikel saya sebelumnya, ‘Tarawih Keliling’. Awalnya, saya agak pesimis untuk menulis, tapi karena jumlah pembaca lumayan, saya senang dan melanjutkan untuk menulis. Terima kasih juga kepada redaktur Kompasiana sudah menjadikannya sebagai artikel pilihan dan headline.
Pertama kali saya tahu masjid ini secara tidak sengaja. Ketika itu saya ingin ke sebuah lokasi—saya lupa tepatnya—lewat Tugu Pancoran ke kanan, dan tiba-tiba sampailah di sebuah gapuran masjid yang megah. Saya sempat memelankan laju motor dan membaca apa yang tertulis di gerbang itu. Ternyata sebuah masjid yang bagi saya cukup unik namanya. Bukan nama Kearab-araban, tapi pribumi sekali ‘Masjid Agung Sunda Kelapa’. Spontas hati saya bergerak, semoga suatu saat nanti saya bisa mengunjunginya.
Beberapa bulan kemudian, saya sudah bekerja (sebelumnya status saya ‘pengacara’ alias pengangguran banyak acara, hee). Ketika berangkat kerja, jalan yang saya tempuh melewati lokasi masjid itu. Akhirnya, ketika Ramadan saya sempatkan mampir dan Salat di sana.
Masjid ini sungguh berkesan bagi saya. Sejuk, indah dan fasilitas komplet dilengkapi berbagai macam aksesori elektronik modern. Kalau saya kedatangan tamu dari luar daerah pun saya sering merujuknya ke masjid ini sekadar melepas lelah. Seorang senior saya yang hendak kuliah di Belanda pernah saya ajak mampir, dan dia merasa bahagia sekali. Apalagi, di depan masjid ada banyak penjual makanan. Dia puas menyantap gado-gado, bahkan sampai nambah, plus es degan kelapa segar.
Masjid ini berdiri di kawasan elit, kompleks perumahan mewah Menteng. Tak heran jika jamaah juga banyak yang bermobil. Dan sebagaimana masjid-masjid besar lainnya di Jakarta, di sini disediakan buka bersama setiap harinya. Khusus 10 akhir bulan Ramadan, disediakan pula sahur bersama.
(Artikel ini tidak akan membahas sejarah panjang berdirinya Masjid Agung Sunda Kelapa. Untuk tahun sejarah, asal muasal nama, mungkin Anda bisa silaturahmi ke Kakek Google atau Nenek Wikipedia pasti lengkap di sana.)
Setiap Ramadan, di masjid ini digelar bazar. Berlokasi di depan masjid dan lapangan samping. Cukup beragam, ada kudapan dan makanan khas bulan suci, busana, juga beberapa minuman branded sedang promo (sengaja tidak saya foto karena saya bukan tim marketing mereka :D). Maka tak heran, sebelum masuk ke dalam masjid, Anda akan disapa banyak penjual. Tentunya lebih sopan, bukan teriak-teriak seperti di banyak mal atau pasar swalayan ‘Ayo kakak dipilih’,‘Tanya aja kakak mau apa’ atau yang singkat padat, ‘Boleh, kakak’. Nah lo, boleh apa coba?!
Pertama kali ke masjid ini saya agak bingung. Di mana sandal saya harus parkir? Di pintu utama masjid yang menanjak saya lihat tidak begitu banyak sandal, akhirnya saya menelusuri jalan setapak yang mengantarkan saya ke bagian bawah samping lapangan. Di sana ada tempat penitipan sandal, dan tempat wudhu mini. Sedangkan toilet utama harus berjalan lagi sekira 30 meter.
Saya agak terburu-buru karena takut ketinggalan jamaah Salat Isya’ dan Tarawih. Setelah sampai di atas ternyata Salat belum dilaksanakan, padahal adzan sudah sedaritadi. Ternyata, para jamaah khusyuk membaca Alquran bersama-sama dengan tampilan slide di tembok depan. Ada dua buah layar proyektor membentang dan beberapa layar LCD di shaf depan sehingga para jama’ah bisa menyimak dan membacanya serentak. Pemandu tilawah dengan nada murattal sangat merdu, sehingga semua menirukan liuk-liuknya dengan saksama dan gembira.
Lalu Salat Isya didirikan dan dilanjut dengan ceramah agama. Para khatib rata-rata bergelar magister, sehingga materi ceramah cukup berbobot nan ilmiah. Saya sempat kaget karena pernah suatu malam yang mengisi cerama adalah seorang profesor perempuan. Tentunya beliau berceramah di tempat ibu-ibu (lantai bawah), dan untuk jamaah laki-laki ditampilkan live steaming-nya. Saya menikmati. Di mana lagi kalau bukan di Indonesia bisa seperti ini? Negara Pancasila yang tidak kaku akan agama dan gender.
Di sini, Salat Tarawih berjumlah 20 raka’at dengan pembacaan surat Alquran di luar juz ‘Amma. Maka bisa dipastikan, sekali Tarawih menghabiskan 1 juz atau setengahnya. Diimami oleh beberapa imam, baik dari Indonesia maupun syaikh asli Timur Tengah. Saya lupa namanya. Alhasil kedua imam ini memiliki suara yang ‘keterlaluan’ medunya. Kalau saya boleh menilai, beliau cocok jika bikin album rekaman murratal sendiri.