Lihat ke Halaman Asli

Atunk F. Karyadi

Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

Asyiknya Tarawih Keliling di Jakarta

Diperbarui: 22 Juni 2016   21:25

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Khusyuk berdoa bersama di Masjid Sunda Kelapa sebelum Salat Tarawih (Dokumentasi pribadi)

 

Ada banyak ibadah di bulan Ramadan. Di antaranya ibadah wajib, berpuasa mulai terbit fajar sampai tengelamnya matahari; dan ibadah sunnah, Salat Tarawih di malam hari selepas Salat Isya’.

Jakarta memiliki banyak masjid besar dan bersejarah. Alhamdulillah, dua tahun ini saya melakukan ‘Tarawih Keliling’ di berbagai masjid di Ibu Kota. Rasanya sungguh nikmat. Bukan hanya kenikmatan lahiriah (seperti kuliner gurih dan murah) tetapi juga batiniah (mewek karena banyaknya dosa).

Kegiatan itu bermula ketika saya kebingungan karena jarak kantor dan rumah yang cukup jauh (kantor saya di Jakarta Pusat, rumah di Jakarta Timur). Ditambah lagi ‘macet’ yang memang menjadi ‘momok’ yang tak bisa dihindari. Pulang kantor pukul 17.00-an WIB sampai rumah satu jam kemudian. Terkadang, karena kelelahan saya tidak ikut jamaah Tarawih di kampung. Akibatnya, saya Salat sendirian di rumah dan yang sering justru ketiduran tak jadi Salat. Wooo, dasar!

Akhirnya, saya buat rencana bagaimana bisa ikut Salat Tarawih tanpa harus kecapekan. Lalu terbesitlah untuk melaksanakan Tarawih di masjid kantor dan masjid-masjid sekitarnya.

Masjid pertama yang saya kunjungi untuk Tarawih adalah masjid kantor tempat saya bekerja, di Masjid Bimantara, Kebon Sirih. Kebetulan setiap hari di sana juga disediakan buka bersama. Panitia menyediakan 900-1.000 nasi kotak. Saya semakin betah, hehe. Apalagi di antara Salat Isya dan Salat Tarawih ada ceramah dari para ustadz yang masya Allah, sejuk.

Suasana buka bersama di Masjid Bimantara, wah rame ya... Alhamdulillah berkah.

Hari berikutnya, saya mencoba masjid lain di luar kantor.  Jaraknya tidak terlalu jauh, di dekat Stasiun Gondangdia, yaitu Masjid Cut Meutia. Saya baru tahu kalau di situ ada masjid, dan ternyata cukup banyak jamaahnya. Bangunannya kuno ala Belanda, aroma sajadahnya khas, ber-AC, bacaan imamnya merdu, dan juga disediakan buka bersama.

Kemudian, hari-hari setelahnya, saya terus keliling menelusuri masjid-masjid di Jakarta. Di antaranya; Masjid Kwitang, Masid Istiqlal, Masjid Sunda Kelapa, Masjid Kalibata, Masjid Attin TMII, Masjid Cikini, Masjid Matraman, dll.

Semua masjid memiliki keunikan dan kekhasan masing-masing, itu semua seru dan asyik. Memperkaya perspektif kita, memperluas pengetahuan, merasakan berbagai budaya dan tradisi yang sebelumnya kita tidak ketahui.

Di beberapa masjid itu, bahkan saya bisa mewek alias meneteskan air mata saat Salat. Sesenggukan. Padahal, jujur sejujurnya, saya belum pernah menangis ketika salat, paling hanya terenyuh ketika nonton tayangan live Salat Tarawih di Masjidil Haram Makkah Mukarramah.

Nyangka nggak sih, ini masjid epik di Jakarta. Ayo tebak di mana?

Dari Tarawih keliling itu juga, saya kemudian tahu dan merasakan bahwa adanya perbedaan dalam Islam benar-benar sebagai rahmat, serta bagaimana kita bersikap. Seperti jumlah Tarawih plus Witir, mana yang tepat antara 11 atau 23 raka’at (?). Bagi saya itu bukan esensi. Tapi yang terpenting ialah, seberapa banyak air mata kita menetes saat Tarawih, bukan karena memikirkan belum beli baju Lebaran, pajak mobil kinclong, tagihan kontrakan, THR keponakan, atau tunggakan KPR (Kredit Pemilikan Rumah) idaman, tetapi merenungkan jumlah dosa kita yang lebih banyak daripada amal saleh kita. Astagfirullah.  *mewek  T_T
Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline