[caption caption="Novel 'Raden Mandasia' "][/caption]Setelah menjadi tamu kehormatan (guest of honour) di ajang Frankfurt Book Fair 2015 di Jerman, kini Indonesia semakin dikenal luas oleh para pencinta buku, literatur dan sastra di seluruh dunia. Para penulis dan sastrawan Tanah Air pun kian gencar menelurkan karya-karya mereka, Yusi Avianto Pareanom salah satunya.
Baru-baru ini, pria asal Semarang itu menulis novel berjudul Raden Mandasia si Pencuri Daging Sapi. Novel setebal 450 halaman itu diterbitkan oleh Banana pada Maret 2016.
"Saya menggarap novel ini sebagai selingan di tengah penulisan novel Anak-Anak Gerhana—pengalaman generasi saya tumbuh di bawah Orde Baru. Pekerjaan yang semula membebaskan itu berubah menjadi tuntunan serius karena meteri cerita berkembang," ungkap Yusi dalam epilognya.
Di media sosial, novel ini ramai mendapat pujian dari para warganet (netizen). Bahkan, beberapa kali Yusi diundang untuk membedahnya di berbagai forum sastra di Jakarta dengan menghadiri para komentator dari beragam latar belakang. Kamis 14 April 2016, novel yang bisa disebut sebagai dongeng kontemporer itu dibedah di Caffeewar, Kemang, Jakarta.
[caption caption="Novel 'Raden Mandasia' Dibedah di Coffeewar Kemang Jakarta"]
[/caption]"Mas Yusi sering berkelakar, dan itulah kekuatan beliau termasuk dalam tulisannya. Bagi saya, ini novel yang heteronormatif, baik memandang perempuan maupun sesama lak-laki. Saya suka tokoh Nyai Manggis. Halaman 154 bagi saya progresif masih bisa diperdebatkan," tutur Anya Rompas, anggota Komunitas Bunga Matahari.
"Kalimatnya efisien, tidak ada yang sia-sia," ungkap salah satu pembaca dalam forum itu.
Hadir pula dalam bedah novel tersebut sebagai panelis; Hikmat Darmawan, pengamat kebudayaan pop, koalisi seni Indonesia; Bagus Takwin, pengajar Fakultas Psikologi UI; dan pemandu acara; Ardyan M Erlangga, jurnalis sekaligus pekerja buku. Selain berdiskusi, acara ini juga disemarakkan oleh musik "Temennya Teteh Agraria Folks".
Secara singkat, novel ini bercerita tentang Raden Mandasia yang menjalani hari-harinya memikirkan penyelamatan Kerajaan Gilingwesi dan Sungu Lembu yang hidup penuh dendam. Keduanya bertemu di rumah dadu Nyai Manggis di Kelapa. Sunggu Lembu mengerti bahwa Raden Mandasia yang memiliki kegemaran ganjil mencuri daging sapi adalah pembuka jalan rencananya. Maka, ia pun menyanggupi ketika Raden Mandasia mengajaknya menempuh perjalanan menuju Kerajaan Gerbang Agung.
Selain novel Raden Mandasia, mantan wartawan Tempo ini juga banyak menulis buku fiksi maupun nonfiksi. Di antaranya, Rumah Kopi Singa Tertawa (2011), A Grave Sin No.14 and other stories (2015, terbit tiga bahasa: Indonesia, Inggris, dan Jerman), terlibat dalam karya kerjasama novel grafis Ekspedisi Kapal Borobudur, dan Eendaagsche Exprestreinen, serta Lenka. Pengajar di Akademi Novel DKJ (Dewan Kesenian Jakarta) ini aktif menerjemahkan dan menyunting karya penulis-penulis asing ke dalam bahasa Indonesia.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H