[caption caption="Toko Plastik di Pasar Jatinegara Diamuk Api, Warga Panik"][/caption]Kemarin sore (24/3/2016) saya pulang lebih awal daripada biasanya karena ada keperluan di rumah. Melintasi jalan Jatinegara Utara saya mendengar suara sirine mobil pemadam kebakaran (damkar) yang bersumber dari dalam pasar. Di sana banyak warga panik dan tampak petugas damkar sedang bertugas. Si Jago Merah pun terlihat berkobar di atas bangunan. Kebakaran!
Karena mengejar waktu, saya hanya melihat sepintas lalu kembali tancap gas. Tapi kemudian, saya sadar kenapa hanya diam bahkan abai (?!). Tanpa banyak cingcong, meski sudah berlalu sekira 1 KM saya banting setir masuk gang dan menuju titik kejadian.
Warga semakin padat, saya menerobos mereka dan segera parkir motor. Abang tukang bakso memperingati saya, "Mas, parkir agak maju, nanti ada mobil petugas kena gilas motor elu!". Baiklah. Dialog pertama tercipta, saya sangat senang dan langsung memenuhi nasihat moral praktis itu.
Ternyata lokasi kejadian masih cukup jauh, saya harus berlari ringan. Sambil ngos-ngosan saya segera mengeluarkan kamera ponsel. Saya bidik bangunan yang berasap juga para warga yang panik. Tiba-tiba ada teriakan, "Wei bantuin wei, bantuin..."
[caption caption="Warga sekitar pasar yang panik"]
[/caption]Itu suara kepanikan para dagangan yang bergegas menyelamatkan dagangannya dan menutup tokonya. Hati saya bergejolak, antara membantu mereka atau meliput kejadian. Teriakan itu masih terus melambung.
Saya jadi teringat film "The Bang Bang Club" (2010) ketika seorang jurnalis senior Kevin Carter yang galau akibat dinilai banyak orang tak memiliki rasa empati dan humanistis. Ia memoto seorang anak kelaparan dan burung bangkai yang siap menikam, tanpa mengusir burung itu. Foto yang dibidik di Sudan pada 1994 tersebut mendapat anugerah fotografi Pulitzer Prize namun akhirnya Kevin bunuh diri.
[caption caption="Foto Kevin Carter pemenang Pulitzer Prize "]
[/caption]Tentu saya tidak seperti mendiang, saya hanya membunuh kata liyan--karena terkadang ego itu dibutuhkan! Sore itu saya yakin banyak warga lain yang akan membantu sedangkan pewarta bisa dibilang tidak ada. Saya pun sampai pada titik utama lalu memotret beberapa angle dan mengirimnya lewat surat elektronik ke grup kantor.
Seorang jurnalis menanggapi, dia langsung menelepon. Saya kira dia akan menelepon pihak damkar karena lebih banyak tahu soal-muasal kejadian. Tapi ternyata dia menelepon saya, dengan kalimat pembuka,"Gue wawancarain lu aja, elu sebagai warga. Coba gambarkan suasana di sana, apa, kapan, bagaimana, bla-bla..." persis seperti kaidah jurnalistik kawakan 5W + 1H.
Tak lama, berita pun naik. Kami menjadi media pertama yang memberitakan pada pukul 18:24 WIB. Lalu beberapa jam kemudian disusul media lainnya, saling mengabarkan (pada 19:16 WIBdan 20:14 WIB) . Mobil damkar lainnya berdatangan.
So, itulah 'jurnalisme warga' atau 'citizen journalism'. Siapa pun Anda dan bagaimana pun, Anda bisa dan berhak memberitakan kejadian di sekeliling. Tinggal hubungi rekan jurnalis saja.
Sedangkan dalam teori, Shayne Bowman & Chris Willis (2003) mengatakan, "The act of citizens playing an active role in the process of collecting, reporting, analyzing, and disseminating news and information”.