Bermula dari di suatu sore menjelang terbenamnya matahari. Saya bersama kawan-kawan unyu sedang lari-larian. Bercelana pendek, ingus meler, dan sebuah jajan di tangan. Kami hendak berkumpul di masjid menunggu adzan tiba. Sebuah sarung kami kalungkan sekenanya. Dan akan kami pakai kalau sudah berada di masjid nanti.
“Kamu ini kok santri banget, toh!” tutur seorang nenek ketika saya melintas di depan rumahnya.
Nenek itu baru saja tinggal di Jakarta. Menjenguk cucunya. Hanya berjarak sekitar lima rumah dari rumah saya. Ketika itu saya tidak begitu menggubris apa yang dikatakannya. Apalagi ada kosakata ‘santri’ bagi saya baru. Namun, cukup terekam.
Selesai dari masjid, saya pulang ke rumah. Setelah mengecup tangan ibu—aduh jadi teringat masa kecil—saya beranikan diri bertanya.
“Bu, santri itu apa sih?”
Ibu saya menghentikan bacaan al-Qur’annya. Menyempatkan diri menanggapi anak yang nakal ini.
“Santri itu ya...” tampaknya ibu juga kebingungan mau jawab apa.
Belum dilanjutkan, bapak saya menyeloroh “Santri ya muridnya kiai, tinggal di pesantren.”
Kebingungan saya bertambah, ada kosakata baru lagi, ‘kiai’ dan ‘pesantren’. Melihat gelagat saya yang cukup aneh, ibu menambahkan definisi yang lebih mudah dicerna. “Santri itu anak yang suka mengaji”. Titik.
Saya sedikit ada gambaran. Sejak itu pula, bapak sering bercerita kepada saya tentang santri-kiai-pesantren. Bahkan beberapa tahun kemudian, kakak saya dipesantrenkan! Dan saya dikader akan menyusul.