Lihat ke Halaman Asli

Atunk F. Karyadi

Menulis yang manis dan mengedit yang pahit. Haaa

“Hujan-hujanan” Bersama Sapardi Djoko Damono

Diperbarui: 21 Agustus 2015   19:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Sapardi Djoko Damono"][/caption] 

TAK DISANGKA setelah 26 tahun puisi Hujan Bulan Juni dikarang (1989), kini Sapardi Djoko Damono (SDD) menggubahnya mejadi sebuah novel dengan judul yang sama. Puisi itu dikenal luas oleh masyarakat Indonesia. Tidak sedikit yang kemudian mengadaptasinya menjadi musikalisasi puisi di berbagai komunitas sastra, juga komik oleh Mansjur Daman.

SDD mengaku, novel ini merupakan interpretasi atas puisinya sendiri. Bagi dia, mustahil ada hujan di saat bulan Juni. Karena bulan Juni adalah musim kemarau panjang untuk Tanah Air Indonesia (hal.3). Ini adalah simbol dari kerinduan, di mana pohon dan tanah mendambakan datangnya hujan saat kemarau melanda.

Simbol-simbol alam itu ditokohkan pula oleh SDD melalui sosok pria dalam novel yang bernama Sarwono dan gadis yang dicintainya, Pingkan. Perbedaan budaya dan agama menjadi tembok tebal bagi keduanya. Namun demikian, novel ini tidak membahas problematika usang antara baik dan buruk, atau benar dan salah. Novel ini murni bercerita tentang dua insan saling mencintai meski berbeda.

Sarwono adalah dosen muda FISIP-UI yang mendapat tugas penelitian ke berbagai kampus seperti UGM dan UNSRAT. Dalam perjalannya itu ia selalu minta ditemani rekannya sesama dosen muda bernama Pingkan yang tak lain adik dari sahabatnya sendiri saat SMA, Toar Pelenkahu. Pingkan gadis keturunan Solo dan Menado. Kecantikannya membuat Sarwono jatuh hati. Bahkan ketika Pingkan hendak melanjutkan study ke Kyoto Jepang, Sarwono berkali-kali membujuknya untuk tidak pergi.

Pingkan pun berangkat dan hubungan berlajut, keduanya saling mengirim kabar dan gambar melalui WA. Namun sayang, Sarwono jatuh sakit. Sarwono menjalani perawaan intensif karena menderita paru-paru basah. Tanpa pikir panjang, setibanya di bandara Soekarno-Hatta, Pingkan langsung lanjut menuju Solo, padahal dia punya tugas menjadi guide mahasiswa Jepang yang berkunjung ke Indonesia. Tugas itu diabaikan, ia lebih memilih memenuhi “tugas hatinya” untuk menjenguk Sarwono di Solo.

Unik dan Aneh

SDD lebih terkenal sebagai penyair daripada cerpenis atau novelis, sekalipun ia amat jago menghasilkan karya berupa apa pun itu. Dalam novel ini, puisi SDD dijadikan pamungkas cerita yang diletakkan di bagian terakhir. Dua buah puisi itu menjadi ending yang menjawab semua pertanyaan pembaca tentang hubungan cinta Sarwono-Pingkan. /iii/kita tak pernah bertemu:/aku dalam dirimu/tiadakah pilihan/kecuali di situ?/kau terpencil dalam diriku/ (hal.133).

Masih banyak hal unik bahkan aneh dalam novel ini. Salah satunya terdapat di halaman 44-45. Sang pengarang tidak memberikan tanda baca apa pun dalam tulisan satu bab itu kecuali dua titik sebagai tanda akhir kalimat. Jika dihitung jumlahnya sekitar 230 kata. Isinya menerangkan tentang ‘kasih sayang’. Keyword ini diulang sebanyak tujuh kali tanpa menjemukan.

Selain itu, terdapat pada halaman 39-43. Satu bab itu berupa dialog persis seperti skrip naskah drama. Isinya percakapan Sarwono-Pingkan saat berada dalam satu kamar di sebuah hotel. Menggelitik, karena dialek khas Jawa dan Menado bercampur, sesekali bahasa gaul ala Jakarta.

Bagi pencinta musik jazz, novel ini akan terasa lebih renyah. Tak heran karena di dalamnya banyak menuturkan para maestro musik klasik seperti Beethoven, Chopin, Debussy dan Bach. Sarwono dan Pingkan juga terlibat debat soal tafsir lagu Charlie Byrd dan sentuhan jari-jari Concierto Williams (hal.36).

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline