Lihat ke Halaman Asli

Akademisi UM Bandung: Tafsir Al-Quran Harus Konsisten untuk Menjaga Kemurnian Akidah

Diperbarui: 1 November 2024   09:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dokumentasi UM Bandung.

Bandung - Seminar "Living Al-Quran: Kajian Tafsir Al-Quran dan Problematika Dakwah Islamiyah di Barat" yang diadakan di Auditorium KH Ahmad Dahlan UM Bandung pada Jumat, 25 Oktober 2024, membahas pandangan Muhammadiyah dan Ahmadiyah dalam menafsirkan Al-Quran. Acara ini menghadirkan berbagai pandangan terkait metode dan prinsip-prinsip dalam tafsir Al-Quran, terutama yang menyangkut aspek akidah.

Wakil Dekan Fakultas Agama Islam UM Bandung Cecep Taufikurrohman MA PhD menjelaskan bahwa perbedaan tafsir antara Muhammadiyah dan Ahmadiyah bukan hanya soal cabang ibadah (furu'iyyah), melainkan telah masuk ranah akidah (ushul al-aqidah), yang jika salah arah dapat membawa pada kekufuran.

 Alumnu Universitas Al-Azhar Mesir ini menekankan pentingnya konsistensi dalam prinsip akidah agar umat tidak menyimpang.

Salah satu kekeliruan yang dikritisi adalah cara Ahmadiyah menerjemahkan Al-Quran ke dalam berbagai bahasa. Wakil Dekan FAI yang akrab disapan Buya ini mengungkapkan bahwa beberapa terjemahan Ahmadiyah dianggap menyimpang dari pemahaman Islam yang lazim. 

Misalnya, penafsiran tentang "khataman nabiyyin" yang mendukung keyakinan Ahmadiyah terhadap Mirza Ghulam Ahmad sebagai Al-Masih Al-Mau'ud yang bertentangan dengan keyakinan mainstream dalam Islam.

Lebih lanjut, Buya juga menyoroti bahwa metode terjemahan Ahmadiyah sering kali tidak langsung merujuk pada teks Arab, tetapi melalui terjemahan bahasa Inggris atau Urdu. Hal ini, menurut Buya, bisa menimbulkan distorsi makna dan ketidaksesuaian dalam konteks yang seharusnya dijaga secara ketat dalam ilmu tafsir.

Dalam pendekatan metodologis, Buya mengkritik bahwa Ahmadiyah tidak konsisten dalam merujuk hadis-hadis utama yang sudah diterima luas di kalangan umat Islam. Mereka cenderung mengacu pada interpretasi yang sesuai dengan pandangan internal mereka, tanpa mengikuti kesepakatan (ijma') ulama. 

Sebagai contoh, tafsir Ahmadiyah tentang kematian Nabi Isa dinilai tidak memiliki dasar kuat dalam hadis.

Buya juga menyoroti perbedaan konsep kenabian dalam Ahmadiyah, yang menganggap kenabian belum berakhir dengan Nabi Muhammad SAW, tetapi sekaligus menegaskan bahwa Mirza Ghulam Ahmad adalah utusan sebagai Al-Masih. 

Klaim ini, menurut Buya, bertentangan dengan pandangan mayoritas ulama yang menyatakan kenabian telah ditutup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline