Indonesia merupakan produsen kedelai terbesar di kawasan ASEAN, namun impotasinya juga paling besar. Tahun ini, impor kedelai Indonesia diperkirakan sebesar 1,96 juta ton dan tahun depan diproyeksikan meningkat menjadi 1,99 juta ton. Sebagian besar kedelai diimpor berasal dari Amerika, Kanada, Argentina dan Brasil yang bersifat transgenik.
Total kebutuhan kedelai dalam negeri meningkat setiap tahunnya berbanding lurus dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Meningkatnya kebutuhan akan kedelai dikarenakan oleh konsumsi yang terus meningkat mengikuti pertambahan jumlah penduduk. Kedelai merupakan sumber protein nabati yang menyehatkan, juga dikenal murah dan terjangkau oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Rakyat mengolah kedelai menjadi berbagai produk pangan seperti tempe, tahu, tauco, kecap, susu dan lain-lain dengan permintaan yang selalu meningkat setiap tahunnya sebanding dengan pertumbuhan jumlah penduduk. Saat ini, di Indonesia diperkirakan terdapat lebih dari seratus ribu pengrajin tempe, dengan skala produksi yang sangat bervariasi satu sama lain. Sekitar 60% dari kedelai diolah menjadi tempe. Konsumsi tempe di Indonesia telah mencapai 7 kg per kapita per tahun. Provinsi yang penduduknya cukup banyak mengkonsumsi tempe di Indonesia adalah Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, Jawa Barat, Lampung dan DKI Jakarta. Bukan bain besarnya konsumsi kedelai bagi masyarakat kita.
Impor komoditi pertanian tanaman pa ngan dapat diketahui bahwa kedelai memiliki peringkat kedua sedikit di bawah gandum, dan kedelai harusnya dapat diproduksi dalam negeri. Perlunya kedelai dalam negeri karena sebagian besar kedelai impor berasal dari negara yang mengadopsi budidaya kedelai transgenik.Tanaman transgenik atau dikenal sebagai Genetically Modified Organism (GMO) menurut definisi WHO adalah organisme yang telah mengalami perubahan pada materi genetiknya, sehingga organisme tersebut memiliki sifat-sifat yang tidak dimiliki sebelumnya. Gen yang disisipkan ke dalam organisme tersebut dapat berasal dari spesies yang sama ataupun berbeda. Pangan transgenik memang memiliki kualitas fisik yang lebih baik dibandingkan pangan lokal. Namun dibalik hal tersebut terdapat kekhawatiran akan pangan transgenik karena adanya sifat-sifat baru yang dimilikitanaman dapat menimbulkan ekspresi protein baru akibat gen dari spesies lain. Protein yang baru ini dapat memunculkan toksisitas dan alergi baru.
Ayo kembali menyukai kedelai lokal dari petani kita yang lebih alami dan non rekayasa genetik (transgenik).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H