Lihat ke Halaman Asli

atrimus

pensiunan

Saatnya Prabowo Selamatkan Indonesia

Diperbarui: 11 Februari 2024   10:17

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sejak lama saya menyimpan kekaguman terhadap keluarga Djojohadikusumo. Tiga generasi keluarga itu mengabdikan hidupnya untuk Indonesia. 

Margono Djojohadikusumo dikenal sebagai  pendiri Bank Negara Indonesia yang awalnya diproyeksi untuk jadi Bank Sentral. Bisa dikatakan pada  era awal kemerdekaan itu Pak Margono adalah Founding Fathers nya industri perbankan tanah air. 

Tetapi pengorbanan terbesar Pak Margono untuk Indonesia justru melalui dua orang putranya yang gugur jadi pahlawan dalam perang kemerdekaan ; Subianto dan Suyono Djojohadikusumo.

Setelah dua putranya tiada, Pak Margono menumpukan asa pada putra sulungnya Sumitro Djojohadikusumo. Sumitro yang kemudian kita kenal sebagai begawan ekonomi Indonesia melanjutkan perjuangan kedua adiknya untuk Indonesia dengan cara berbeda. Sumitro gigih membela Indonesia di meja perundingan. Dan pasca kemerdekaan, Sumitro berani berseberangan dengan pemerintah pusat karena keyakinannya pada demokrasi dan desentralisasi. Sumitro harus mengasingkan diri di luar negeri hingga kemudian Presiden Suharto memanggilnya pulang.

Dalam pengasingan itulah Sumitro dan istrinya Dora Marie Sigar membesarkan empat anak mereka, salah satunya Prabowo Subianto Djojohadikusumo. Prabowo, anak ketiga dari empat bersaudara, tidak saja menyandang trah keluarga Djojohadikusumo yang cemerlang pada namanya tetapi juga disematkan nama almarhum Subianto pamannya yang gugur sebagai patriot bangsa. Itulah jalan sejarah yang menuntun Prabowo menjadi perwira TNI. Dia pun muncul sebagai salah satu perwira cerdas sehingga mengharumkan nama Djojohadikusumo. Menjadi patroit pemberani membuat nama Subianto jadi abadi.

Bagi saya pribadi, Prabowo adalah inspirasi dari semangat pantang menyerah. Hidup tak selalu mudah untuk Prabowo : diberhentikan dari TNI, eksil di Jordania, kalah dalam konvensi Capres Golkar 2004, kalah sebagai Cawapres Pilpres 2009 dan pada dua pemilu berikutnya kalah dalam pemilihan presiden melawan Joko Widodo. Tetapi kekalahan demi kekalahan itu tidak menghancurkannya malah semakin menguatkan Prabowo. Dia selalu optimis akan masa depan dengan binar wajah memancarkan kepahlawanan dua pamannya.

Tetapi belakangan binar di wajah itu berganti lelah justru ketika peluang Prabowo untuk jadi presiden cukup besar. Saya tidak lagi menemukan semangat yang sama dalam tatapan Prabowo. Ada kekosongan yang tidak terungkapkan. Awalnya saya pikir ini hanya masalah usia tetapi lambat laun saya bisa merasakan apa yang pelan-pelan menghancurkan tokoh yang saya kagumi ini. Sebagai seorang petarung sejati, Prabowo menemukan dirinya hanya bidak dalam pertarungan politik pamungkas. Dia yang berhasil menundukkan takdir sejarah pelan-pelan ditelan oleh ambisi. Dan celakanya itu bukanlah ambisi pribadinya.

Saya bisa membayangkan betapa getirnya perasaan Prabowo ketika harus menerima Gibran sebagai cawapres. Padahal perpaduannya dengan Erik Thohir adalah kesempurnaan masa depan. Ditambah lagi dengan politik bansos yang  mengkerdilkan elektabilitas Prabowo sehingga perlu ditolong dengan menjebol APBN. Bukankah tindakan-tindakan itu membuat Prabowo terpaksa harus menanggalkan nama Djojohadikusumo?  Karena trah itu sangat gandrung dengan demokrasi dan cemerlang dalam soal ekonomi.

Tidak hanya nama Djojohadikusumo tetapi jauh di lubuk hatinya Prabowo pasti juga sudah menanggalkan nama Subianto. Bayangkan saja seorang patriot tak kenal menyerah kemudian diminta untuk joget gemoy hanya demi elektabilitas padahal dia punya modal 44 persen lebih suara. Sosok militer pemberani sekaligus intelektual mumpuni tenggelam oleh ambisi keluarga banal. Tanpa nama Subianto dan Djojohadikusumo, Prabowo hanyalah politisi biasa yang mudah diperalat. Dilupakan oleh sejarah adalah lebih baik bagi Prabowo daripada dikenang sebagai pecundang yang mengkhianati nilai-nilai keluarganya sendiri.


Takdir buruk itu hanya bisa dihalau oleh keberanian moral. Prabowo pasti paham satu-satunya cara menyelamatkan demokrasi di Republik ini adalah dengan mundur dari kontestasi. Bukan jalan yang mudah tetapi itulah pengorbanan sejati untuk ibu pertiwi. Menjadi pahlawan rakyat jauh lebih penting dibanding sekedar jabatan presiden. Mengikuti jejak pamannya Subianto dan Suyono. Meneruskan perjuangan ayah dan kakeknya Sumitro dan Margono. Dan wajah Prabowo Subianto Djojohadikusumo akan terus berbinar menyinari Republik ini hingga bergenerasi-generasi kemudian.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline