Lihat ke Halaman Asli

Mengajari Anak Siap Kalah sejak Dini

Diperbarui: 18 Juni 2015   02:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Beauty. Sumber ilustrasi: Unsplash

“Siap kalah”, inilah kata-kata yang begitu sering kita dengar sekarang, baik dari orang-orang dalam lingkungan pergaulan kita maupun dari obrolan di media sosial. Tentu kata-kata tersebut dihubungkan dengan orang yang tidak ‘siap kalah’. Ternyata, ‘siap kalah’ sudah harus diajarkan kepada anak sejak dini. Sebab kehidupan tidak melulu tentang menang. Setiap orang yang menjalani kehidupan tidak selalu menang. Ada saat dimana kekalahan menjadi bagian kita. Dan kenyataan ini mesti dihadapi dengan perasaan ‘siap kalah’. Memang, kehidupan yang utuh ialah kehidupan dimana menang atau kalah pernah dirasakan. Anak harus diajar tentang bagaimana menghadapi kekalahan.

Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan ‘siap kalah’? Secara praktis siap kalah bisa didefinisikan sebagai suatu sikap dan tindakan menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain dengan menyatakannya secara terbuka, tanpa berprasangka buruk. Dengan demikian, mengajari anak ‘siap kalah’ dapat dimaknai sebagai tindakan mengajari anak siap menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain dalam sikap dan tindakan tanpa berprasangka buruk. Singkatnya, mengajari anak siap kalah artinya mengajari anak menerima kekalahan dan mengakui kemenangan orang lain.

Penyebab tidak siap kalah

Tentu saja ada faktor yang menyebabkan seseorang tidak siap kalah, yaitu faktor internal dan eksternal. Secara internal, seseorang tidak siap kalah karena:

1.Mental siap kalah tidak dipersiapkan sejak dini

Hal ini erat kaitannya dengan pola asuh orang tua. Apabila orang tua tidak mengajari anak siap kalah, mental anak tidak akan siap menghadapi kenyataan pada saat mengalami kekalahan. Mental siap kalah berhubungan erat dengan norma dan etika berkompetisi. Anak yang tidak diajari tentang siap kalah cenderung dibutakan oleh ambisiusme sehingga tidak dapat melihat betapa pentingnya norma dan etika berkompetisi.

2.Tertekan

Penyebabnya bermacam-macam. Misalnya pandangan orang lain di tentang dirinya, beban yang mungkin akan ditanggung, dsb. Mental yang undepressure akan mengakibatkan stress. Hal ini bisa terjadi oleh karena tidak mengukur kemampuan diri dan mudah tergoda untuk mendapatkan sesuatu hal, seperti kedudukan atau harta.

3.Malu

Kita tahu, dalam suatu kompetisi, setiap peserta memiliki peluang yang sama, yaitu peluang untuk menang atau kalah. Namun, ada orang tertentu yang memberikan perhatian lebih kepada peluang untuk menang saja. Sikap ini diperlihatkan dengan menyampaikan kepada orang lain bahwa ia pasti menang. Namun apabila kenyataan menunjukkan bahwa ia mengalami kekalahan, maka perasaan malu menguasainya. Untuk menutupi rasa malu ini, biasanya, orang akan berusaha dengan segala cara supaya mengubah keadaan atau paling tidak dapat menekan rasa malu yang teramat besar yang menguasainya.

Sedangkan, secara eksternal, seseorang siap kalah karena:

1.Tekanan sosial

Pandangan bahwa orang yang berkompetisi akan sampai pada level kehidupan berbeda dalam arti status sosialnya lebih tinggi dari pada orang lain merupakan sumber tekanan sosial ini. Ia yang tadinya dihormati, dipandang dan didahulukan dalam banyak hal kini harus menghadapi kenyataan yang terbalik 180 derajat. Ia harus menyandang status kalah. Kondisi semacam ini tidak mudah ditanggung/dihadapi. Beberapa orang malah menempuh cara yang tidak benar untuk mengakhiri tekanan sosial ini. Saya kira Anda tahu, cara apa yang saya maksudkan.

2.Informasi yang salah

Hal ini berhubungan dengan informasi pembanding yang menyatakan bahwa sebenarnya dialah yang menang, kalau saja tidak terjadi kecurangan. Padahal informasi ini tidak benar. Informasi ini sengaja dihembuskan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Dan sebenarnya, secara tidak langsung ia sedang dipermainkan.

Sejauh mana pentingnya mengajari anak‘siap kalah’??

Hal-hal berikut memperlihatkan betapa pentingnya mengajari anak siap kalah sejak dini:

1.Mengajari anak siap kalah berarti memperkenalkan kehidupan yang utuh kepadanya

Seperti yang telah saya singgung di atas bahwa setiap orang yang menjalani kehidupan tidak akan selalu berada dalam keadaan menang atau pemenang. Ada saat dimana kekalahan menjadi bagian setiap orang. Apalagi yang mengikuti suatu kompetisi. Apabila hari ini seseorang menang dan besok ia kalah, itulah kehidupan yang utuh. Kita tidak menemukan orang yang sepanjang hidupnya terus menerus menang tanpa satu kali pun menelan pil kekalahan. Orang yang hanya mau menang merupakan orang yang sebenarnya telah mengalami kekalahan yaitu kalah dalam hal tidak mengalami kehidupan yang utuh. Dan orang-orang seperti ini merupakan orang-orang yang tidak siap kalah. Orang-orang yang memandang kekalahan sebagai sesuatu hal yang terpisah dari kehidupan. Kita tahu, hal itu tidak mungkin terjadi!

2.Mengajari anak siap kalah berarti memberi kesempatan kepada anak untuk belajar tentang apa bagaimana rasanya kalah

Seseorang pernah berkata, ‘hanya orang yang pernah mengalami dukacita yang dapat memahami perasaan orang yang sedang berduka’. Ungkapan ini juga cocok untuk menggambarkan tentang perasaan orang yang mengalami kekalahan. Kalau ingin tahu seperti apa rasanya kalah, alamilah kekalahan itu. Seorang psikolog dan juga ibu dari seorang anak berusia 11 tahun, Annmarie Neal, mengatakan ---------------“Ketika anak-anak tidak belajar bagaimana rasanya gagal, maka tercipta energi neurotik yang disebut perfeksionisme. Mereka terjebak dalam lingkaran sempurna dan kehilangan kesempatan untuk belajar dari pengalaman.”-----------

3.Mengajari anak siap kalah berarti mengajari anak tentang bagaimana menghargai orang yang menang

Kalau ada kalah, maka pasti ada menang. Suatu kemenangan tidak begitu indah dirayakan apabila tidak ada pengakuan dari orang yang dikalahkan. Ini bukan tentang orang yang menang, melainkan tentang orang yang kalah. Pada saat seseorang yang mengalami kekalahan mengakui kemenangan orang lain, ia sedang menghargai kemenangan sekaligus menyatakan kepada yang menang bahwa ia menerima kekalahannya.

4.Mengajari anak siap kalah berarti mengajari anak tentang bagaimana mempersiapkan diri untuk menggapai kemenangan

Ada ungkapan yang sangat terkenal, “kekalahan merupakan kemenangan yang tertunda”. Sebenarnya, ungkapan ini bukanlah mantra yang dapat membuat setiap orang yang mengucapkannya akan menang setelah kalah. Tidak! Ungkapan ini mengajarkan tentang kekalahan sekarang ini bisa diubah menjadi kemenangan di masa yang akan datang. Dan hal itu hanya bisa terwujud apabila orang yang mengalami kekalahan sekarang ini mengetahui dengan jelas hal-hal apa saja yang membuat dia kalah lalu memperbaikinya dan mencoba lagi. Niscaya kemenangan menjadi bagian dia. Annmarie Neal, psikolog, mengatakan ----------“rahasia sukses anak ke depannya ialah jika ia dibesarkan dalam lingkungan yang mendorong mereka untuk menguji batas dan terlibat dalam segala hal di sekitarnya, termasuk untuk gagal.”----------

5.Mengajari anak siap kalah berarti menyatakan kepada anak bahwa kekalahan itu biasa

Ya! Kalah itu bukanlah perkara luar biasa. Kalah itu wajar. Kalau ada menang pasti ada kalah. Anak perlu menanamkan hal ini dalam memorinya sehingga ia tidak memiliki perasaan bahwa kekalahan merupakan sesuatu hal yang luar biasa. Karena itu tidak perlu uring-uringan. Pengusaha sekaligus pendiri Appfisrt mengatakan bahwa -----------------“dari segi pekerjaan, generasi penerus yang tangguh dan terampil secara mental adalah generasi yang pernah jatuh dalam kegagalan dan bangkit kembali. Sebab generasi ini akan kuat bertahan di masa depannya. ”-------------

6.Mengajari anak siap kalah berarti mempersiapkan mental anak menjadi dewasa

Bukan rahasia lagi, orang yang tidak siap kalah cenderung bertingkah kekanak-kanakan. Sebenarnya fenomena semacam ini menggambarkan tentang kondisi mentalnya. Anak yang diajari tentang siap kalah tidak akan bertingkah childist. Ia akan menerima kekalahannya dengan lapang dada. Anak-anak yang diajari tentang siap kalah akan memiliki mental baja dan siap bersaing dalam segala kondisi kehidupan. Mereka akan lebih siap menghadapi tantangan.

7.Mengajari anak siap kalah berarti memberi kesempatan kepada anak untuk belajar tentang nilai-nilai kehidupan

Anak mempunyai kesempatan untuk belajar bahwa yang terpenting adalah ‘menjalani’, apa pun hasilnya. Hasil bisa dicapai dengan berbagai cara termasuk berbuat curang. Nilai-nilai seperti ini perlu diajarkan kepada anak agar tidak menghalalkan segala cara untuk mencapai hasil. Anak perlu tahu bahwa hasil haruslah dicapai dengan cara yang benar.

8.Mengajari anak siap kalah berarti melatih kepercayaan diri anak

Kita tahu, anak-anak yang mengalami kekalahan tidak akan takut kalah pada saat mencoba sesuatu hal yang baru. Ia akan percaya diri. Sebab tidak ada perasaan takut gagal atau kalah. Tentu kita ingat bahwa kepercayaan diri penting bagi anak dalam menjalani kehidupan.

9.Mengajari anak siap kalah berarti melatih anak bertanggung jawab

Hasil yang dicapai berkaitan erat dengan bagaimana melakukan. Anak akan belajar bahwa melakukan sesuatu hal dengan tidak bertanggung jawab akan mendatangkan hasil yang tidak diinginkan. Di sini anak akan belajar bahwa tanggung jawab menentukan hasil yang dicapai.

10.Mengajari anak kalah berarti mengajari tentang kenyataan bahwa kita tak selalu bisa mendapatkan apa yang kita inginkan

Seberapa pun kerasnya anak berusaha untuk mendapatkan keinginannya, upaya tersebut tidaklah selalu berakhir dengan manis alias keinginannya belum tentu tercapai. Anak perlu mengetahui hal ini agar ia tidak mundur atau putus asa dan kapok atau enggan untuk berupaya lagi. Disini pun anak belajar bahwa yang menentukan kehidupan bukan anak/manusia. Kita/anak berusaha, tetapi Tuhanlah yang menentukan.

Beberapa Kiat

Mengajari anak siap kalah bukan perkara mudah. Karena itu diperlukan kiat-kiat untuk melaksanakannya:

1.Mulailah dengan hal-hal kecil atau praktis

Misalnya ketika anak menginginkan sesuatu hal dan tidak tercapai oleh karena yang diinginkannya itu telah menjadi bagian orang lain, anak perlu diberitahu bahwa itu biasa. Dan ia bisa berusaha lagi untuk mendapatkan hal lain yang tidak didapatkan oleh orang lain.

2.Berikan kesempatan kepada anak untuk menceritakan perasaannya, terutama ketika ia mengalami kekalahan

Tindakan ini akan membantu anak menuangkan beban atau rasa sesak dalam dada. Tidak sedikit orang yang mampu mengatasi kekalahannya hanya dengan cara ini. Pada saat-saat seperti inilah, orang tua perlu memainkan peran sebagai pendengar yang baik dan motivator. Saat anak mencurahkan isi hatinya, inilah momentum yang tepat untuk menanamkan norma-norma dan etika dalam berkompetisi, bahwa setiap orang tidak mungkin selalu menang.

3.Sabar

Oleh karena anak merupakan individu yang masih dalam tahap pertumbuhan dan perkembangan, tentu tidak cukup hanya satu kali mengajari anak tentang siap kalah. Diperlukan berkali-kali. Dan disinilah kesabaran diperlukan.

Kata-kata Palinng Akhir

Orang tua mana pun pasti menginginkan anaknya berhasil. Namun kenyataan kadang berbicara lain. Ada saat-saat dimana anak mengalami kegagalan. Dan pada hal itu terjadi, jangan menyudutkan anak. Orang tua perlu mengingatkan betapa pentingnya bangkit kembali dan berusaha lagi untuk meraih kemenangan.

Kiranya mencerahkan!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline