Lihat ke Halaman Asli

Nasihat untuk Para Penasihat

Diperbarui: 25 Juni 2015   01:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Konon- suatu hari dua cucu Rasulullah melihat seorang sahabat Rasul lagi berwudlu. Cara wudlunya menurut mereka belumbenar. Tetapi sahabat ini senior mereka yang sangat mereka hormati, maka meski dia salah pasti tidak sopan menegurnya begitu saja. Lantassalah satu berkata:

“paman, kami lagi berantem!”.

“lho, emang kenapa?” tanya sang sahabat.

“iya paman, dia bilang wudlu saya salah, aku bilang wudlu dia yang keliru!”

“emang yang ngajarin kalian wudlu siapa?” tukas si sahabat.

“kakek!” maksudnya Rasulullah. Si paman garuk-garuk kepala, barangkali sih dia berpikir: hadeeeeeuh! kalau yang ngajarin saja Baginda Rasulullah, bukan kelas gue nih!. Kedua cucu lantas minta kepada sang paman menjadi juri lomba wudlu mereka.

“paman liat deh kami wudlu, nanti paman kasih tahu siapa yang wudlunya benar!”

Sang juri terbengong menyaksikannya. Akhir cerita , dipeluknya kedua cucu kekasih Allah itu, diciumnya kening keduanya sambil berkata: “terimakasih nak, terpujilah Allah yang mengirimkan engkau kepadaku untuk memperbaiki carakuberwudlu”.

Berilah nasehat dengan akhlak, dengan etika,bukan dengan menyalahkan, apalagi sampai mengumpat danmengklaim nasehatnyalah yang paling sesuai dengan Al Quran dan hadis, dengan cara yang sangat sering menyakiti hati orang lain dengan dalih kebenaran harus disampaikan meskipun pahit. Dan barangkali yang paling menyedihkan dari kaum yang mengaku dirinya para penasehat ini, konflik justru kemudian muncul diantara sesama muslim, karena diantara sesama muslim pesoalan perbedaan pendapat sangatlah sensitif.

Akhir-akhir ini saya sering  kebanjiran nasehat, lewat media sosial ataupun  lisan. Di banyak hal para penasehat ini sangat keras dengan pendapatnya, itu bagus sepanjang tidak dengan cara memaksakan kepada orang lain untuk berpikir sama dengan mereka. Kembali kepada al Quran dan sunnah ditafsirkan sebagai yang tidak ada tuntunan sahih yang eksplisit berarti tidak boleh.Contohnya bacaan menjelang berbuka puasa;”…Allahumma lakasumtu…”,yang konon tidak ada tuntunannya, atau hadisnya lemah sehingga tidak perlu dibaca. Doa ini sudah dibaca jutaan ummat, itu doa yang baik, ibarat cucu saya yang berdoa: Ya Allah, semoga atoek Fauzi dapat rejeki yang banyak dan beliin Husna baju baru, amin”, saya jamin doa ini pun tidak ada hadisnya namun insya Allah juga tidak keliru sepanjang kita tidak pernah berpikir bahwa yang Husna ucapkan itu sunnah dalam pengertian berdasar hadis yang sahih dan teriwayat.

Ilmu Allah sangatlah luas, tidak semuanya secara eksplisit tertuang di dalam firmanNya di dalam AlQuran apalagi asSunnah. Kalaupun semua kayu di rimba raya dijadikan pena, dan semua air di lautan dijadikan tinta, tidak akan cukup untuk menuliskan ilmu Allah. Artinya ada kaidah-kaidah umum kebenaran yang hanya tersiratdan memerlukan kearifan kita untuk menafsirkannya.

Sepanjang dari aspek akidah kita meyakini iman yang sama, cukuplah itu sebagai prioritas. Karena kunci agama adalah akidah, kalau baik akidahnya, insyaAllah baiklah semuanya. Beda penafsiran dalam hal hubungan antar ummat ataupun dalam masalah fiqih lainnya menurut saya bukan saatnya dijadikan dasar untuk mengklaim kebenaran sepihak. Dakwah seharusnya dengan santun, dengan mengedepankan akhlak, dengan tidak menyakiti orang lain. Setiap orang mempunyai harga diri, menyerang keyakinan orang lain sama halnya dengan melukai harga dirinya, dan lihatlah, silaturahmi dan ukhuwah kemudian dikorbankan dengan dalih menyampaikan kebenaran meskipun pahit. Artinya kebenaran disampaikan dengan mengorbankan kebenaran lainnya, bukankan itu naif?.

Saudaraku para penasehat, saya sangat menghargai nasehat-nasehat kalian, saya yakin semua itu baik. Maka sampaikanlah dengan mengedepankan baik sangka, ukhuwah, silaturahmi dan prinsip menghargai hak dan kehormatan sesama manusia, bukan hanya semata menghargai hak dan kehormatan sesama muslim. Caranya banyak dan mudah kok, jangan memberijawaban kepada yang orang tidak bertanya, jangan menyuruh berhemat kepada orang miskin, tidak perlu mengingatkan bahwa daging babi itu haram kepada mereka yang bukan muslim dan banyak lagi. Namun ketika saya dengan segala kebodohan saya bertanya kepada anda: “bolehkan saya memberi sodakoh kepada orang kafir?” nah, dengan prinsip open mind, terbuka terhadap perbedaan, menghargai posisi orang lain, saya siap mendengar nasehat anda, kalau perlu semalam suntuk!”

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline