…Negeri ku lagi tersapu badai,
karena terlalu banyak orang pandai,
yang suka berandai
tak peduli kehormatan diri tergadai
di curam yang landai
akhirnya berperilaku tak lebih dari seekor keledai…
(Judul Arogansi Penguasa; karya Atjih Sukaesih;
dalam buku KPK dalam 130 Puisi : Secercah Renungan Seorang Anak Negeri)
Tak ada yang bisa mengingkari kenyataan bahwa cermin baik buruknya wajah Negeri ini berasal dari perilaku para Pemimpin-nya. Jika perilaku mereka diperlihatkan dengan sikap egois, saling berebut tahta jabatan, mata masyarakat awam pun akan melihat hanya sebatas itulah moralitas para Pemimpin kita. Mereka (para Pemimpin) mengatakan bahwa perbedaan pendapat dan pandangan adalah cermin demokrasi, tetapi tidak menyadari bahwa apa yang sedang dipertontonkan mereka pada rakyat adalah kesombongan dan keangkuhan perilaku. Mereka mengatakan bahwa konflik merupakan bentuk dinamika suatu bangsa, tapi mereka tidak sadar bahwa konflik yang sedang mereka perankan telah menjadikan rakyat muak. Rakyat tahu bahwa konflik tersebut bukan cermin dari dinamika demokrasi, tapi lebih sekedar arena rebutan jabatan yang kerap menghalalkan segala cara.
Aroma politik bangsa yang berkecamuk dengan hiruk pikuk gelegarnya. Segala jegal dari si tukang jagal saling unjuk kekuatan, yang konon menurut shahibul hikayat…menyebut diri sedang menjalankan reformasi, padahal semua itu hanya dramaturgi belaka karena lambat laun terciumlah aroma bunga bangkai yang menyeruak karena menyimpan banyak kebusukan dari permainan “perang” yang dijalankan dengan segala strategi dan taktik. Kebusukan dan pembusukan yang terjadi telah menyebar ke setiap sendi ruas dari tulang-tulang penyanggah tubuh, hingga dimana-mana yang tercium adalah aroma bangkai. Begitulah….
Penyakit politik Negeri ini begitu kronis, penyakit itu ditunjukkan dengan ketidakjelasan arah mau dibawa kemana bangsa ini, semua serba tidak jelas dan seakan dibuat tidak jelas oleh para pelaku elite politik. Kita khawatir, demokrasi hanya melahirkan kesombongan para Pemimpin-nya. Kita juga emoh jika atas nama demokrasi, mereka bertingkah egois dan serakah seperti itu. Mereka hanya mementingkan dirinya sendiri tanpa memikirkan apa yang sedang menimpa rakyat sesungguhnya karena mereka asyik dengan egonya masing-masing. Ada yang ingin menggusur Ketua Partai, ingin menjadi Ketua Partai, atau jadi Politisi Kutu Loncat, berebut dukungan militer untuk partainya, dan seterusnya. Sekiranya kita bisa mengatakan ada dua kondisi yang saling bertentangan antara apa yang dialami rakyat, dan apa yang dicitak-citakan Pemimpin-nya. Bukankah itu bisa dikatakan ketidaksinambungan antara Pemimpin dan yang dipimpin ? Juga, bukankah itu merupakan cermin kotor Negeri ini, dimana empati dan simpati Pemimpin atas yang dipimpin justru semakin melemah ? Masih adakah Pemimpin yang memiliki karakter di Negeri ini ?
Pada situasi lain, hari demi hari wajah masa depan Negeri ini semakin suram saja. Tanda-tanda kehidupan yang sehat sulit didapati, semuanya serba ruwet, bingung, karena orientasi kedepan yang sangat lemah. Semuanya dilakukan hanya dalam rangka pencapaian orientasi jangka pendek dan untuk kepentingan elite tertentu saja. Semuanya serba gelap, tak ada sinar harapan, bahkan seolah-olah pengharapan telah padam dihati sanubari bangsa ini, yang ada hanyalah letupan emosional dan egoisme yang dimuntahkan terus menerus bagaikan lahar dan hawa panas gunung berapi yang mengitari medan perpolitikan di Negeri ini. Hawa panas yang dimuntahkan dan menjelma menjadi perpecahan ditubuh partai-partai (seperti yang akhir-akhir ini) menghiasi setiap sudut media massa sebenarnya lahir akibat ketidakdewasaan para elite politik partai untuk mengolah konflik.
Benar bahwa konflik nyata-nyata dibutuhkan oleh partai agar partai makin survival di mata publik. Konflik juga menunjukkan dinamika tertentu dari sebuah partai, namun di Negeri ini terlihat sangat ironis, sebab konflik yang terjadi bersifat destrukrif. Mereka tidak berdebat bagaimana menata Negeri ini ke depan, melainkan hanya sibuk mengurus perpecahan ditingkat internal sendiri. Akibatnya, konflik dalam kehidupan partai bukan malah memperkuat dinamika demokrasi itu sendiri, melainkan justru melemahkannya.
Pernyataannya, mengapa partai mudah terpecah-pecah, baik kekuatan luar maupun kekuatan dalam partai sendiri ? Disini Penulis kemukakan bahwa mereka telah kehilangan pemimpin yang berkarakter, karena yang ada di tubuh partai bukanlah pemimpin yang “sudah jadi” atau pemimpin berkarakter, tetapi pemimpin “setengah jadi”. Mereka rata-rata menghiasi wajah partai politik Negeri ini. Pemimpin “setengah jadi” tidak memiliki karakter, baginya hanya uang, jabatan, kekuasaan yang harus dicapai, bukan kedamaian dan kesejukan. Demi itu semua nilai-nilai untuk berjuang secara tulus dan luhur lenyap. Ketaatan mereka bukan pada etika dan moralitas demokrasi, tetapi kepada “dewa uang”.
Uang bagi mereka adalah segala-galanya, karena demi ini semua mereka rela kehilangan nama baik, bagi mereka nama baik itu urusan gampang. Mereka menganggap bahwa dengan uang, nama baik bisa dibeli. Konsekuensi logis, ketika uang dijadikan dewa dalam ranah politik, maka jangan harap akan muncul pemimpin yang berkarakter. Mereka adalah “Pemimpin Sok Alim Tetapi Zalim” yang mencari uang dalam proses kepemimpinannya. Argumen ini memang mudah dipatahkan dengan retorika mereka, tapi bisakah mereka mengelak bahwa apa yang mereka lakukan hanyalah demi dan untuk uang ? Bukan untuk rakyat ?
Pemimpin berkarakter adalah mereka yang mau bercermin terus menerus dan berusaha untuk menjaga reputasi nama baiknya. Dalam hal ini “nama baik” yang dimaksudkan bukanlah nama baik yang direkayasa dengan menyogok publik agar mereka mengatakan bahwa dia memang baik padahal tidak baik, tapi nama baik yang lahir karena memang perilakunya baik terhadap rakyat. Demi nama baik, dia lebih baik kehilangan jabatan, kekuasaan dan uang. Demi nama baik, misalnya, mereka tentu saja tidak mau memisahkan diri dari partai asalnya dengan banyak melanggar aturan partai dan menjadi politisi kutu loncat, sebab perilakunya telah banyak dicemooh publik.
Bagi pemimpin berkarakter, nama baik harus dijaga, sebab ada pepatah yang mengatakan ”lebih baik mati daripada kehilangan nama baik”. Nama baik adalah segalanya bagi dia. Karakter adalah dirimu sendiri ditengah kegelapan. Seperti dikatakan Dwigth L. Moody,… “saya memelihara karakter dengan berusaha memelihara reputasi saya sendiri”…
Sayangnya, kebanyakan elite politik kita sudah membalik logika di atas, karena bagi mereka biarlah tak punya nama baik, jika demi nama baik justru kehilangan jabatan sebagai pemimpin. Mereka berlomba-lomba menjadi Pemimpin, padahal mereka tak layak jadi Pemimpin. Dengan menjadi Pemimpin, bagi mereka tentu uang gampang dicari, rakyat gampang dikelabui, dan seterusnya. Itulah mungkin yang pernah dikatakan Thomas Hobbes ribuan tahun lalu, bahwa manusia cenderung mau menguasai manusia lainnya, yakni dengan mengubah dirinya dengan menjadi serigala yang menerkam kesana kesini.
Akibatnya Pemimpin yang demikian itu akan sulit dipercayai oleh publik karena kata-katanya sulit dipegang sebab hanya sekedar retorika demi retorika. Mereka hanya mengumbar janji, sekali berjanji sekaligus mengingkarinya. Konsistensinya sulit dipegang, karena mereka memiliki banyak agenda yang tersembunyi (hidden agenda). Agenda inilah yang membuat diantara mereka tidak ada saling kepercayaan satu dengan lainnya.
Melihat cermin elite politik sekarang ini, kita sangat layak mempertanyakan iman mereka. Seorang yang beriman terhadap yang adikodrati, tentu percaya bahwa kelicikan terhadap masyarakat akan menimbulkan kecelakaan pada dirinya kelak. Dia akan membalas semua akal bulus akal Pemimpin yang licik tersebut. Kita justru sulit untuk mengatakan bahwa diantara Pemimpin serakah itu ada keimanannya. Sisi kemanusiaannya jelas-jelas dipertanyakan oleh publik, sebab Pemimpin yang manusiawi tentu memiliki hati besar, memiliki perasaan terhadap rakyat dan tidak hanya sekedar mencari keuntungan pribadi.
Tidak sadarkah mereka bahwa ditengah-tengah kemelaratan rakyat di negeri ini, justru mereka berusaha mati-matian memperebutkan posisi dari kedudukan dan jabatannya dengan melupakan reputasi ? Mengapa ini terjadi ? Jawabannya, karena mereka telah kehilangan ketulusan, karena mereka telah terjebak pada kesewenang-wenangan dalam menggunakan kekuasaannya. Akibatnya, mereka gila hormat, gila jabatan dan gila harta. Inilah yang membuat mereka menjadi silau dan menutup pintu hati nuraninya. Mereka berpikir bahwa hanya dirinya lah yang paling benar dan paling tahu. Semua itu bersumber dari hilangnya cinta sejati dalam kalbu mereka, hingga mereka tidak peduli lagi terhadap aspirasi rakyat yang memilih mereka. Semua janji dimasa lalu sirna karena ambisi pribadi yang lebih kuat daripada ketulusan.
Semoga mereka sadar bahwa rakyat membutuhkan Pemimpin yang berkarakter yang bisa dipercaya, yaitu mereka yang memiliki iman, dan dalam iman itu mereka akan melahirkan karakter kemanusiawian, ketulusan, keterbukaan, kepedulian dan keteguhan. Masih adakah Pemimpin yang berkarakter seperti itu ? (Pekanbaru, 01-02-2015)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H