Lihat ke Halaman Asli

Atjih Kurniasih

Guru di SMP Negeri 1 Cipanas

Mengenal Lebih Dekat dengan Tjiptadinata Melaui Beranda Rasa

Diperbarui: 20 Mei 2016   12:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jujur saja, saya baru mengenal pak Tjip belum sebulan ini. Itupun bukan melalui kompasiana. Tetapi lewat bukunya yang berjudul BERANDA RASA. Sebuah buku sederhana tampilannnya, tetapi isinya berbanding terbalik. Banyak hal yang bisa saya pelajari dari sana. Mulai data pribadi beliau, pengalaman hidup, sampai cintanya bersama ibu Roselina. Kesemuanya terangkum begitu apik dan inspiratif tampa kesan menggurui, namun pembaca secara tidak langsung berguru kepada beliau. Termasuk sa

Dalam usianya yang nanti tanggal 21 Mei tepat 73 tahun,  belaiu terus saja menulis. Sebuah langkah yang selama ini saya kadang pertanyakan dalam catatan harian saya.  

 Apakah pantas seorang wanita usia 54 tahun  masih sibuk dengan menulis di facebook atau di blog? Yang seharusnya sudah mulai mempersiapkan diri bagaimana menjadi manusia yang selalu beribadah kepada-NYA?

Namun setelah membaca tulisan beliau, langkah saya menjadi lebih mantap. Mengapa tidak?. Pak Tjip saja dengan usianya yang jauh di atas saya masih bersemangat untuk itu?. Mengisi hari-hari senja bersama pasangan tercinta sambil menulis. Bukankah itu menyenangkan?. Dalam usia yang sudah tidak muda lagi masih bermamfaat bagi banyak orang? Minimal menginspirasi ? bukankah ltu ladang amal?. Ladang amal melalui sebuah tulisan yang memiliki kehebatan menembus ruang dan waktu dan mampu menembus beribu malah jutaan  kepala, lebih hebat dari peluru yang hanya menembus satu kepala.

Pak Tjip sudah mendapatkan langkah jitu dalam mengisi hari- hari tuanya, sementara ada banyak orang yang merasa tidak berguna saat menjelang tua, merasa sepi dan merasa tidak diperhatikan. Tetapi pak Tjip, dengan usianya yang terbilang tidak muda, banyak dikelilingi teman  dan teman bagi beliau sebuah anugerah yang membuatnya selalu bahagia dan bersyukur. Seperti yang beliau tulis dalam beberapa tulisannya yang menyiratkan itu. “berarti dalam satu hari saya mendapat teman 3 orang. sesuatu pencapaian yang membuat saya semakin bersyukur”. Tulisanya dalam “Sepotong Kisah Hidup, dari pedagang jadi penulis”.

Ada beberapa tulisan lainnnya yang menyiratkan beliau seperti itu, beliau yang  nama lengkapnya Tjiptadi Efendi dan lahir di Padang 21 Mei 1943, benar-benar sosok yang mengerti benar silahturahmi dan persahabatan adalah sebuah hal yang tak ternilai, maka lahirlah tulisan semisal “Arti Sebuah Persahabatan Bagi Saya”, “Hidup Tampa Musuh, adalah Sebuah Kebahagian Terbesar”. Namun pak Tjip tetap memberikan pesan bahwa dalam bersahabat dan menjalin silahturahmi kemandirian kita pun harus tetap kita jalankan seperti nasehatnya yang bisa kita baca dalam tulisannnya “Kunci Sukses itu Sesungguhnya ada di Tangan Kita” atau “Jangan Pernah Percayakan Mimpi Kita Pada Orang Lain”.

Tokoh Tjiptadinata, kalau boleh saya memanggil pak Tjip,  melalui “Beranda Rasa”nya menitipkan pesan banyak hal. Pesan yang beliau sampaikan melalui bentuk pengalaman pribadinya jauh dari berteori. Sehingga apa yang beliau sampaikan begitu bermakna, karena sudah melalui pengalaman hidup keseharian yang beliau katakan sebagai universitas kehidupan. Sehingga pembaca merasa tidak “digurui” walaupun kenyataannnya sedang “berguru”pada beliau.  Seperti saya contohnya.

Betapa tidak, saya berguru kepada beliau dari pesan-pesan moral dan nilai-nilai kehidupan yang bisa saya petik dari tulisannnya. Dan sebagai seorang guru, ini bisa menjadi ladang ide saya untuk bercerita kepada siswa-siswa  minimal membacakan tulisannnya. Dengan demikian mereka bisa mengambil pesan moralnya, karena berdasarkan pengalaman saya mengajar, pesan moral lebih sampai dengan bentuk bercerita tentang pengalaman orang lain karena merasai tidak digurui.

Pesan moral dan nilai-nilai kehidupan melalui pengalaman hidupnya, beliau tulis dengan bahasa yang begitu renyah. Sehingga yang membacanya begitu menikmatinya sambil secara tidak langsung mengambil pelajarannya. Seperti tulisan “Kita Bukan Maling”, “Ketika Orang Merasa Dirinya Hebat, Maka Saat itu Adalah Awal Kejatuhan” atau “ Hidup Jangan Seperti Mengajar Layangan” yang isinya kalau boleh saya terjemahkan adalah kita harus banyak bersyukur dengan apa yang sudah kita miliki. Dan banyak lainnnya. Sehingga saat saya membacanya saya tulis karakter apa yang beliau sampaikan. Diantaranya Kejujuran, Keiklasan, cinta Damai, kearifan, jangan sombong, humanis, kerja keras. Bukankah karakter-karakter itu penting bagi saya, anak, serta siswa-siswa saya. Hal inilah yang melatar belakangi mengapa buku “Beranda Rasa” akan saya gunakan dan saya bacakan di depan kelas saat saya mengajar.

Pembelajar Sejati. Itulah kesan lain yang bisa saya petik, setelah membaca bukunya. Begitu banyak pengalaman hidup yang beliau alami, dan usia yang sudah tidak muda lagi, tidak menjadikan beliau surut dan berhenti untuk belajar. Pendidikan Formal yang beliau kenyam di IKIP jurusan Bahasa dan pendidikan non Formalnya Psychologi serta menjadi motivator di banyak tempat  tidak menjadikan beliau berhenti untuk terus belajar dan belajar. Dan tempat untuk beliau belajar diantaranya Kompasiana. Yang oleh beliau katakan sebagai Universitas Terbuka dan gratis.

Saat saya membaca bukunya, apalagi sampai  di halaman 98 di mana terlihat ada foto pak Tjiptadinata dengan anak-anak Papua yang tergambar pada imaginasi saya, sosok seorang bapak dan seorang kakek yang bahagia dengan anak dan cucunya. Entah lah perkiraan saya benar atau tidak. Yang jelas sebagai sosok suami yang penuh keromantisan dan penuh kasih sayang telah beliau contohkan. Terbukti buku yang beliau namakan Beranda Rasa itu dibuka dengan halaman yang bertuliskan

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline