Infrastruktur adalah fasilitas-fasilitas fisik yang dikembangkan atau dibutuhkan oleh agen-agen publik untuk fungsi-fungsi pemerintahan dalam penyediaan air, tenaga listrik, pembuangan limbah, transportasi dan pelayanan-pelayanan similar untuk memfasilitasi tujuan-tujuan sosial dan ekonomi (American Public Works Association (Stone, 1974 Dalam Kodoatie,R.J.,2005). Pembangunan infrastruktur di Indonesia saat ini berjalan sangat pesat.
Sebagian besar infrastruktur yang dikembangkan saat ini merupakan Toll goodsyakni baarang publik yang excludable dan non rival. Dalam pembangunannya diperlukan skema pembiayaan yang tepat agar pembangunan berjalan sesuai target. Pembiayaan pembangunn infrastruktur merupakan tanggung jawab pemerintah, namun terdapat keterbatasan APBN dan APBD maka diperlukan strategi lainnya yang melibatkan mitra swasta untuk pendanannya.
Alternatif pembiayaan pengadaan infrastruktur dapat melalui strategi pembiayaan non konvensional. Salah satu infrastruktur yang sedang dikembangkan di Indonesia yaitu transportasi umum di Jakarta berupa MRT atau Mass Rapid Transit.
Jakarta, Ibu Kota yang penuh aktifitas dan sudah diperkirakan terdapat MRT sejak tahun 1980 megingat transportasi umum saat ini di Jakarta hanya melayani 56% perjalanan yang dilakukan oleh komuter sehari-hari. MRT jakarta diharapkan dapat mengurangi kemacetan yang disebabkan banyaknya penduduk daerah sekitar jabodetabek yang masuk maupun keluar Jakarta setiap hari kerja dan masalah transportasi semakin mulai menarik perhatian politik dan telah meramalkan bahwa tanpa terobosan transportasi utama, kemacetan akan membanjiri kota itu menjadi kemacetan lalu lintas lengkap pada tahun 2020.
Dalam studi kasus yang saya ambil skema pendanaan proyek MRT yaitu sudah diatur dalam Perda No.4 Tahun 2008 mengatur penggunaan permodalan yang dipinjamkan JICA, yaitu menerima setoran modal dari Pemprov DKI sebesar 58% dari total pinjaman dari JICA, dan pinjaman pemerintah pusat 42% dari total pinjaman yang diteruskan ke Pemprov DKI lalu oleh Pemprov DKI ke PT MRT.MRT Jakarta merupakan proyek pertama di Indonesia yang menerapkan skema three sub level agreement antara peminjam (JICA) dan Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta, dan PT MRT Jakarta sebagai Badan Usaha Milik Daerah Provinsi DKI Jakarta. Total pembiayaan yang dibutuhkan untuk pembangunan infrastruktur proyek MRT disemua koridor mecapai 140 Milyar Yen dengan dana pinjaman Sebesar 120 Milyar Yen dan sisanya akan menggunakan dana APBD DKI Jakarta. Hal ini berarti sumber pembiayaan MRT Jakarta berasal dari konvensional dan non konvensional.
Menurut saya, skema pembiyaan yang melibatkan peminjaman dari negara lain ini sudah tepat. Sebelum krisis ekonomi dan politik tahun 1997-1999, sebuah Build-Operate-Transfer (BOT) dianggap sebagai bagian dari MRT baru melakukan keterlibatan sektor swasta. Setelah krisis, rencana mengandalkan BOT untuk menyediakan pembiayaan terbukti tidak layak dan proyek MRT itu lagi diusulkan sebagai skema yang didanai pemerintah. Anggaran dari daerah maupun negara tidak mungkin dapat mencukupi pembiayaan MRT Jakarta.
Menggaet swasta pun juga tidak memungkinkan karena prinsip BOT tidak dapat diterapkan. Hal ini membuat pemerintah memilih untuk meminjam dana ke Luar Negeri. Pinjaman tersebut memiliki jangka waktu selama 30 tahun dengan jaminan lunak dan bunga pinjaman sebesar 0,25 persen per tahun. Skema pembiayaan sudah tepat karena ini untuk pendanaan infrastruktur MRT yang merupakan proyek nasional dan berjangka panjang maka kesempatan ini tidak boleh disia-siakan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H