Lihat ke Halaman Asli

Atika Maulidayanti

Saya seorang pegawai di salah satu anak perusahaan swasta di jakarta

"Suksesnya Kebijakan Merdeka Belajar melalui Program Guru Penggerak" - Semarak Merdeka Belajar

Diperbarui: 15 Mei 2023   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Siswa maupun mahasiswa merupakan salah satu aset penting negara.Terciptanya siswa/mahasiswa yang unggul membuktikan berhasilnya negara dalam mencetak penerus bangsa. Angka keberhasilan tersebut tidak luput dari berhasilnya pendidikan dalam keluarga.

Berdasar Undang-Undang 52 tahun 2009 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga, Bab I pasal 1 ayat 6 pengertian Keluarga adalah unit terkecil dalam masyarakat yang terdiri dari suami istri; atau suami (Kepala keluarga), istri dan anaknya yang di sebut dengan Rumah Tangga atau dengan sebutan lainnya ialah keluarga kecil; sedangkan yang disebut dengan keluarga besar selain suami, istri dan anak-anaknya dirumah tangga tersebut terdapat orang tua atau disebut ayah dan ibu dari pihak suami dan juga terdapat anak-anaknya orang tua yang lain termasuk orang tua dari ayah (Kakek dan nenek).

Setiap keluarga mempunyai pola  asuh anak yang berbeda-beda.  Pola  asuh  tersebut dapat ditinjau dalam beberapa jenis. Pertama, pengasuhan  otoriter,  pada  pola  ini  otoritas  tertinggi  berada  pada  orang  tua,  jika  anak  tidak  menyukai  yang diperintahkan orang tua, maka orang tua akan memaksakan dan harus menjalani perintah tersebut. Sehingga  dalam  pola  pengasuhan  otoriter,  anak  merasa  terkekang,  kurangnya  kebebasan.    Kedua,  pengasuhan  demokratis,  pola  ini  terlihat  adanya  kehangatan  dan  musyawarah  antara  orang  tua  dan  anak,  sehingga  dalam  pola  pengasuhan  demokratis  anak  lebih  bersahabat,  mampu  diajak  kerjasama,  dan  hal-hal  positif  lainnya  dari  pola  pengasuhan  demokratis.  Ketiga,  pengasuhan  permisif,  pola  pengasuhan ini memberikan kebebasan kepada anak tanpa  adanya  dampingan  dan  kontrol  yang  wajar  dari orang tua. Pola pengasuhan permisif, orang tua tidak menerapkan aturan yang tegas dan konsisten, sehingga  anak  merasa  leluasa  melakukan  sesuka  hatinya  (Baumrind,  1966;  Baumrind,  1971;  Kholifah,  2018; Susanto, 2011).

Menurut Arifah Prima Satrianingrum & Farida Agus Setyawati dalam jurnal ilmiah PTK PNF (http://doi.org/10.21009/jiv.1601.1) dengan judul "Perbedaan Pola Pengasuhan Orang Tua Pada Anak Usia Dini Ditinjau Dari Berbagai Suku Di Indonesia: Kajian Literatur", menyatakan bahwa ditemukan berbagai hal yang membedakan pola  pengasuhan  suku  satu  dengan  yang  lainnya.  perbedaan tersebut mencakup dari nilai dan budaya yang  dianut,  pembentukan  karakter  anak,  dan  pola  pengasuhan yang dilakukan terhadap anak ini ditinjau dari aturan dan nilai budaya setempat, pola komunikasi yang  digunakan  oleh  orang  tua,  serta  tujuan,  visi,  dan  misi  dari  budaya  yang  mempengaruhi  cara  orang  tua  mendidik  anak.

Hasil dari penelitian Fitri Winarti, Sulistyarini, dan Syamsuri  tahun 2021 yang dilakukan di Kelurahan Sedau Kota Singkawang. Pola asuh orang tua yang digunakan oleh orang tua adalah pola asuh otoriter sebesar 49,25% dengan kategori tinggi, pola asuh permisif sebesar 31,34% dengan kategori sedang, dan pola asuh demokratis sebesar 19,49% rendah.

Dalam Jurnal Pendidikan Guru Pendidikan Anak Usia Dini P-ISSN. 2407-1064, pola asuh otoriter adalah bentuk pola asuh yang menekankan pada pengawasan orang tua agar anak tunduk dan patuh. Orang tua memiliki pola asuh otoriter bersikap pemaksa, keras dan kaku dimana orang tua akan membuat berbagai aturan yang harus di patuhi oleh anak-anaknya tanpa mau tahu perasaan sang anak. Orang tua akan emosi dan marah jika anak melakukan hal yang tidak sesuai dengan yang diinginkan oleh orang tuanya. Pola asuh otoriter seringkali dianggap sebagai pola asuh yang bisa mengganggu perkembangan anak. Beberapa fakta penelitian menunjukkan hasil bahwa pola asuh otoriter bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak tetapi terdapat hasil penelitian bahwa pola asuh otoriter bisa memiliki dampak positif terhadap perkembangan moral anak. Pola asuh otoriter juga memberikan dampak positif pada perilaku anak jika aturan yang dibuat orang tua bersifat wajib dilaksanakan seperti sholat, anak akan rajin beribadah dan sopan serta taat kepada orang tua. Pola asuh otoriter juga berdampak negatif jika orang tua terlalu menekan anak sehingga menjadi keras kepala, susah diatur, serta tidak taat kepada orang tua, hal ini disebabkan karena anak merasa dibatasi kebebasannya, dipaksa dan menghukum anak jika salah sehingga anak melampiaskan perasaan-perasaannya dengan bertindak sesuai keinginannya. Diharapkan orang tua bisa menerapkan pola asuh yang baik sesuai dengan kebutuhan anak agar perkembangan anak dapat berkembang dengan baik terutama pada aspek perkembangan moral anak. (Yuliyanti Bun, Bahran Taib,  dan Dewi Mufidatul Ummah, 2020).

Untuk merubah pola asuh yang otoriter dalam masyarakat, pemerintah dalam hal ini Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi membuat sebuah kebijakan yang diberi nama "Merdeka Belajar".  Kebijakan Merdeka Belajar merupakan langkah untuk mentransformasi pendidikan demi terwujudnya Sumber Daya Manusia (SDM) Unggul Indonesia yang memiliki Profil Pelajar Pancasila. 

Sampai dengan akhir April 2021 terdapat 10 episode Merdeka Belajar yang telah diluncurkan. Salah satu programnya adalah program guru penggerak. Pemerintah, dalam hal ini Kemendikbud akan mendorong Guru Penggerak menjadi pemimpin-pemimpin pendidikan di masa depan yang mewujudkan generasi unggul Indonesia. Guru Penggerak adalah pemimpin pembelajaran yang mendorong tumbuh kembang murid secara holistik, aktif, dan proaktif dalam mengembangkan pendidik lainnya untuk mengimplementasikan pembelajaran yang berpusat kepada murid, serta menjadi teladan dan agen transformasi ekosistem pendidikan untuk mewujudkan profil Pelajar Pancasila. Perjalanan Guru Penggerak dimulai dengan tahap seleksi dan mengikuti rangkaian Program Pendidikan Guru Penggerak selama 9 bulan yang terdiri dari kelas pelatihan daring, lokakarya, dan pendampingan. Guru Penggerak akan selalu berpihak pada murid. Guru Penggerak sebagai pendorong transformasi pendidikan Indonesia. Pendidikan Guru Penggerak dilakukan dengan pendekatan Andragogi dan Berbasis Pengalaman. Pendidikan Guru Penggerak menciptakan pemimpin pembelajaran yang dapat mewujudkan Merdeka Belajar.

Oleh karena program Guru Penggerak menjadi salah satu program Favorit, maka Semarak Merdeka Belajar pasti akan dapat terwujud di masyarakat. Jadi ayo kita jadikan program Guru Penggerak dalam kebijakan merdeka belajar, sebagai langkah awal terwujudnya pendidikan penerus Bangsa Indonesia yang baik dan terencana, guna Kebangkitan Bangsa Indonesia Sukses di masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline