Lihat ke Halaman Asli

Atika Rusli

Perantau yang ingin menjelajahi dunia

Menjual Keperihan

Diperbarui: 14 Juli 2015   20:34

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sudah lama saya ingin menulis tentang sosok ini, tapi baru kali ini terealisasi, keinginan itu begitu kuat muncul ketika menjumpai lagi sosoknya sore tadi. Sebenarnya sosok yang mengusik perhatian saya adalah seorang bapak yang hampir setiap hari berpapasan dengan saya. Mungkin anda juga pernah berpapasan dengan orang yang sosoknya mirip dengan yang saya tulis ini. Dia sudah agak tua, jika ditaksir usianya berkisar 60-an tahun. Profesinya adalah penjual kue, itu terlihat dari keranjang kue yang dibawanya kemanapun dia pergi.

Sebagaimana penjual kue pada umumnya, dia menjajakan kuenya kepada orang-orang yang dijumpainya, dari satu tempat ke tempat yang lain. Tapi ada yang sedikit berbeda dari bapak penjual kue ini. Dia tidak pernah menawarkan kue yang dijualnya kepada orang, misalnya dengan berkata "mau beli kue neng?" atau "kue... kue..."
Yang dilakukannya ketika berpapasan dengan seseorang adalah memegang perutnya, tertatih berjalan sambil memperlihatkan mimik yang sedang meringis kesakitan atau gurat kelelahan.
Bagaimana? Anda pernah berjumpa dengan sosok seperti bapak itu?
kira-kira apa yang anda akan lakukan, apakah menghampirinya untuk membeli kuenya, atau malah menghindarinya karena ketidak senangan anda pada gaya menjualnya?

Ternyata tidak semua orang memilih dua alternatif yang saya tuliskan.

Saya pernah sekali waktu menyempatkan diri untuk berdiri lama di dekat tangga mengamati reaksi orang yang berpapasan dengan bapak itu. Hasil dari pengamatan singkat saya bahwa ada beberapa orang yang menghampiri sang bapak dengan menyodorkan selebaran ribuan atau recehan lalu pergi dengan tidak mengambil kue.
Saya menunggu reaksi bapak penjual tersebut, dalam hati saya bertanya "Apakah sang bapak marah dengan perlakuan orang itu terhadapnya?"  
Tidak, ternyata dia tidak marah, bahkan dia sangat berterima kasih dengan orang yang menyodorkan uang kepadanya.

Inilah yang saya sebut dengan "menjual keperihan"  untuk memperoleh belas kasihan dari seseorang. Sang bapak sedang memainkan bentuk komunikasi non verbal, dia mungkin sedang mencoba salah satu dari lima fungsi pesan non verbal yang pernah disampaikan Mark L. Knapp di tahun 1972. Knapp mungkin tidak pernah berjumpa dengan bapak itu, tapi apa yang dilakukan sang bapak oleh Knapp disebutnya sebagai  fungsi Substitusi, yakni tindakan non verbal yang dilakukan untuk menggantikan lambang-lambang verbal. Saya coba menduga tentang lambang verbal apa yang digantikan oleh tindakan non verbal bapak itu:

  • Memegang perut - menggantikan kalimat "perut saya perih, belum makan, karena kue saya belum laku"
  • Berjalan tertatih - menggantikan kalimat "bahkan jalanpun sudah tak sanggup karena perut saya begitu perih"
  • Mimik meringis - menggantikan kalimat "apakah kalian tidak memiliki rasa belas kasih kepada bapak yang sudah tua ini"

Sekali lagi saya menggaris bawahi bahwa 3 point yang saya tulis itu hanya dugaan saya pribadi, yang mudah-mudahan itu tidak tergolong "berburuk sangka" kepada sang bapak.

Mengapa pesan non verbal ini begitu penting? Dale G. Leathers dalam buku Nonverbal Comuunication Systems yang ditulisnya tahun 1976 menyebutkan ada enam alasan mengapa pesan non verbal sangat signifikan, diantaranya:

  • Perasaan dan emosi lebih cermat disampaikan lewat pesan non verbal ketimbang pesan verbal.
  • Pesan non verbal mempunyai fungsi meta komunikatif yang sangat diperlukan untuk mencapai komunikasi yang berkualitas tinggi. Fungsi meta komunikatif artinya memberikan informasi tambahan yang memperjelas maksud dan makna pesan.
  • Pesan non verbal merupakan cara komunikasi yang lebih efisien dibandingkan dengan pesan verbal. Dari segi waktu  pesan verbal sangat tidak efisien. Diperlukan lebih banyak waktu untuk mengungkapkan pikiran kita
  • Pesan non verbal merupakan sarana sugesi yang paling tepat. Ada situasi komunikasi yang menuntut kita untuk mengungkapkan gagasan dan emosi secara tidak langsung. Sugesti ini dimaksudkan menyarankan sesuatu kepada orang lain secara implisit (tersirat).

Empat alasan tersebut cukup untuk menjawab apa yang telah dilakukan oleh bapak penjual kue. Sang bapak tak perlu menyampaikan perasaan laparnya dengan mengatakan ke setiap orang bahwa dia lapar, cukup dengan memegang perut memperlihatkan mimik kelaparan sambil membawa keranjang kue maka tersampaikanlah pesannya kepada orang bahwa dia lapar dan perlu mendapat belas kasihan.

Pada lain waktu dan tempat dalam konteks yang lain, kita mungkin sering menjumpai sosok yang tidak jauh beda dengan sikap bapak penjual kue itu, sosok yang sengaja menjual keperihan untuk mendapatkan simpati. Sebutlah sejumlah elit politik yang ketika tersandung masalah hukum, atau para kaum selebriti yang sedang dipojokkan oleh gosip dan fitnah, dan masih banyak lagi kelompok/perorangan yang menggunakan bentuk komunikasi non verbal ini untuk memperoleh simpati publik. Komunikasi non verbal memiliki peran yang sangat penting dalam sebuah proses penyampaian pesan.

Sadar atau tidak, kita sangat sering menggunakannya, dan alangkah mulianya jika itu dipergunakan dalam bingkai kebaikan. - BERSAMBUNG -

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline