Lihat ke Halaman Asli

Pernah Ada

Diperbarui: 25 Juni 2015   20:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Hari ini aku duduk sendiri dengan bayanganku. Aneh, tidak seperti biasanya aku rasakan Jakarta yang sesibuk semut, memberikan aku kesempatan untuk berhening. Entah bagaimana cara mendeskripsikannya, tapi aku merasa tenang, nyaman. Angin meniupkan nyanyian merdunya, menghembuskan nafasnya melewatiku dan sela-sela dedaunan. Mengajak mereka menari dalam keheningan. Matahari tidak berekspresi hari ini, mungkin sedikit kecewa saat dia tahu dia akan segera diusir oleh awan kelam.



Di sudut pandangan kosong ini, seorang lelaki sedang berjalan sendiri dengan santainya, menikmati kesejukan sore. Sepertinya aku mengenal dia, tidak mungkin. Apakah ini nyata? Atau lagi-lagi hanya imajinasi bual? “Angga!” lelaki itu terdiam dan aku tersenyum. Merasakan sebuah rasa lega bahwa nama yang aku sebut adalah namanya. Bukan nama orang lain, tapi dia. Merasakan rasa lega karena dia mendengarku memanggil, tidak berpaling dan perduli. Merasa rasa lega bahwa dia ternyata ada.



Dia melirik bingung ke segala arah taman, mencari asal suara yang memanggil. Lalu hanya terdiam menyipitkan mata ke arahku. Aku berdiri dengan kaki gemetar, meyakinkan bahwa itu memang Dewangga Darma Putra, dia ada. Aku berjalan menghampirinya dan dengan senyuman tulus, dia menyambutku. Tapi entah kenapa, jalanku kearahnya tak kunjung henti. Aku terus melambai kepadanya dan dia hanya tersenyum tapi lalu, melanjutkan jalannya. Aku terus berteriak dan memanggil dan mencoba meraih, tapi seakan semua berjalan menjauh dariku, termasuk Dewangga. Aku menangis dan terus memanggil tapi dia terus menjauh.



Aku terbangun.



Aku hanya terdiam menatap langit kamar yang putih bersih, seakan suci. Mataku mulai menggumpal dan air mata mulai menetes. Entah alasan apa lagi kali ini yang aku harus buat untuk menutupi bekas tetesan yang membercak di mukaku pagi ini. Alasan untuk siapa? Untuk diriku sendiri. Aku butuh alasan kenapa aku harus menangisi sesuatu yang tidak lagi nyata. Mungkin karena aku terlalu bodoh, atau mungkin karena dia membuatku merasa hidup.



"Sinta, ayuk bangun dong udah waktunya kuliah!"



Angga, aku merindukan ini. Pagi-pagi kau mengetuk pintu kosanku dan membuatku bersemangat untuk pergi menjelajah dunia pelajar. Membaca buku yang tebalnya setinggi Eiffel Tower. Saat aku berbaring sakit, kau berada disitu. Saat aku susah makan kau yang memaksaku.



Dengan ini cinta tumbuh perlahan.



Apa aku yang salah Ngga? Atau ini salahmu? Mungkin memang kita tidak akan satu dalam nyata, tapi aku tahu kau sayang padaku selalu.



Bodoh, pernah kau bilang bukan jarak bukan masalah? Kau akan terus menungguku dari waktu ke waktu, meski berputar dalam ilusi kilometer.

Dalam ilusi jam.

Dalam ilusi dunia.



Ingat taman itu? Taman yang mimpi pagi ini mengingatkan bagaimana kita bertemu. Aku duduk disitu sendiri. Kau sedang berjalan sendiri dan aku melihat uangmu jatuh. Entah, aku menghampirimu dan memberikan apa yang layaknya kau simpan. Pertemuan mata Adam dan Hawa yang merubah dunia persilatan. Kemudian waktu bersilaturahmi dengan perasaan. Tak kunjung bosan aku membuang waktuku bersamamu. Bahan candaan dan obrolan tidak pernah hangus saat kita bersama.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline