Masyarakat Indonesia dewasa ini sangat mengharapkan terselenggaranya good governance pada pemerintahan negara kita, yaitu penyelenggaraan pemerintahan yang profesional dan demokrasi yang dapat diterima oleh masyarakat. Pada awalnya good governance muncul sebagai sebuah konsep karena masyarakat tidak puas akan kinerja pemerintah. Wujud nyata dari good governance dapat dilihat melalui penyelenggaraan pelayanan publik. Pelayanan publik yang dilakukan juga sebagai patokan dalam mengukur keberhasilan kinerja pemerintah.
Faktanya pelayanan publik di Indonesia masih jauh dari yang diharapkan oleh banyak masyarakat dengan ditemukannya berbagai permasalahan dan keluhan, contohnya ialah ketidakpastian pemerintah dalam memberikan jangka waktu yang tepat atau dapat dikatakan bertele-tele. Semua itu berimbas kepada penurunan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah sehingga mereka memilih alternatif lain untuk mendapatkan pelayanan, contohnya adalah pungli. Tentunya hal tersebut membuat sebagian masyarakat resah akan pelayanan yang semakin jauh dari etika dan moral, untuk itu pada masa ini pelayanan publik yang dilakukan oleh pemerintah harus dilandasi oleh etika administrasi publik.
Etika administrasi publik dapat didefinisikan merupakan suatu kode etik dan aturan dalam berperilaku yang benar yang wajib ditaati oleh administrasi publik (Pasolong, 2007). Dari defisini diatas, maka dapat ditarik bahwa etika administrasi publik ialah sebuah aturan untuk administrator di dalam pelayanan kepada masyarakat. Nilai-nilai yang terkandung di dalam etika administrasi berfungsi untuk meminimalisir dan memberantas salah satu mal-administrasi atau pelanggaran etika administrasi yang kerap terjadi di dalam pelayanan. Salah satu kegiatan dari mal-administrasi dalam penyelenggaraan pelayanan izin mendirikan bangunan (IMB) sebagai berikut..
Pada dasarnya setiap penyelenggaraan kegiatan pemerintah harus menerapkan akuntabilitas atau berarti pemerintah tersebut mempertanggungjawabkan aktivitasnya kepada publik. Realitanya, rata-rata pemerintahan Indonesia masih belum efektif dan efisien di dalam pelayanan publik. Seperti yang terjadi dalam mengurus izin bangunan di Kota Depansar, dinilai belum akuntabel. Fenomena tersebut ditunjukkan dengan sulitnya masyarakat untuk mengurus izin IMB sehingga masyarakat melanggar aturan di dalam pembangunan. Karena itu masyarakat mendirikan bangunannya terlebih dahulu dan kemudian mengatur perizinannya. Berdasarkan data oleh Dinas Tata Ruang dan Perumahan (DTRP) Kota Depansar, banyak pelanggaran dilakukan di Depansar Barat sebanyak 60 bangunan, Depansar Timur dengan 18 bangunan, Depansar Selatan sebanyak 48 bangunan, dan terakhir Depansar Utara 16 bangunan.
Sebelumnya Badan Pelayanan Perijinan Terpadu Satu Pintu dan Penanaman Modal (BPPTSP & PM) Kota Depansar menegaskan bahwa seluruh pelaksanaan dan rangkaian IMB tercantum dalam Peraturan Walikota Depansar No. 3 Tahun 2007 Tentang Pelayanan Perijinan Pada Pemerintah Kota Depansar. Peraturan tersebut juga sudah mengacu kepada standar pelayanan yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2009 Tentang Pelayanan Publik. Tetapi, banyak keluhan dari masyarakat bahwa pelayanan oleh BPPTSP & PM Kota Depansar belum maksimal. Meskipun seluruh rangkaian prosesnya sudah sesuai dengan prosedur, pelayanan IMB oleh BPPTSP & PM Kota Depansar dalam segi waktu pelayanan masih kurang efisien. Akibatnya banyak pemohon yang mencari alternatif lain untuk memudahkan dan mempercepat pengurusan IMB.
Tidak efektif dan efisien disebabkan oleh beberapa hal, salah satunya pelayanan IMB adalah di advice planning saat pemeriksaan berkas. Petugas yang memeriksa advice planning, petugas tidak jeli ketika melakukan pelayanan, banyak kesalahan serta ketidaklengkapan berkas tidak disampaikan dengan jelas kepada pemohon yang membuat kekeliruan. Alhasil, pemohon berulangkali datang untuk mengurusi kekurangan dan legislasi ke kantor kelurahan dan kecamatan. Lalu, faktor keduanya adalah pemohon tidak memberikan gambar yang sesuai dengan fakta bersamaan kekurangan persyaratan, contohnya gambar rencana bentukan rumah yang harus di revisi berulangkali. Petugas tidak memberikan arahan atau pernyataan terkait letak kesalahan dan kekurangan oleh pemohon pada berkas sehingga terjadi pembengkakan biaya yang harus dikeluarkan untuk mengurus izin oleh para pemohon. Dari kasus tersebut, maka dapat dilihat adanya penolakan pelayanan akibat kekurangan atau kesalahan berkas dokumen tidak sesuai dengan persyaratan pelayanan oleh para pemohon atau masyarakat di kantor BPPTSP & PM Kota Depansar. Ketidaklengkapan berkas bukan hanya kesalahan dari pemohon, tetapi bisa terjadi kesalahan pada birokrasi karena tidak transparan pada saat memberikan informasi kepada masyarakat.
Selain di Kota Denpasar, maladministrasi dalam pelayanan IMB juga dirasakan di Dinas Penanaman Modal dan Terpadu Satu Pintu ( DPMPTSP) Kabupaten Demak. Hal ini dikarenakan banyak masyarakat yang melaporkan keluhan yang dialaminya selama mendapatkan pelayanan IMB. Seperti tidak ada kepastian waktu yang tepat untuk masyarakat mendapatkan izin mendirikan bangunan. Terkadang petugas memberikan waktu kepada masyarakat tidak sesuai dengan standar operasional. Berdasarkan SOP DPMPTSP Kabupaten Demak, waktu penyelesaian pengurusan perizinan diatur selama 14 hari kerja. Namun, petugas tidak menghiraukan atursn tersebut dan masih melakukan hal yang sama yaitu memberikan waktu yang tidak sesuai.
Factor lainnya yaitu banyak masyarakat yang belum terlalu memahami pemberkasan apa saja yang mesti dibawa untuk mengajukkan perizinan. Hal ini disebabkan karena tidak adanya papan informasi yang tersedia dalam memberikan informasi pemberkasan perizinan. Dan petugas yang tidak secara mendetail mensosialisasikan mengenai pemberkasan perizinan. Sehingga terjadi kurangnya kelengkapan pemberkasan yang harus dibawa. Dan factor yang terakhir adalah kurangnya keterampilan petugas, seperti kurangnya tanggapan yang cepat terhadap permasalahan masyarakat dalam mengurus perizinan.
Dari perbandingan dua kasus di atas, dapat ditarik bahwa maladministrasi yang terjadi dalam proses perizinan mendirikan bangunan yang paling banyak adalah kurang tepatnya waktu dalam pelaksanaan perizinan dan kurangnya informasi terkait pemberkasan yang harus dibawa oleh masyarakat. Hal ini menandai bahwa para administrator telah gagal memberikan kepercayaan dan informasi yang akurat kepada pemohon.
Dari kasus kurang tepatnya waktu pelayanan, dapat diidentifikasikan ke dalam pelanggaran etika kedisiplinan. Petugas sudah diberikan aturan atau standar waktu dalam melaksanakan prosedur perizinan mendirikan bangunan, tetapi masih saja waktu yang diberikan kepada masyarakat melebihi waktu yang telah ditentukan. Kondisi ini menunjukkan kurangnya komitmen disiplin dari petugas untuk mematuhi peraturan yang telah ditetapkan. Keterlambatan dalam pelayanan tidak hanya mengganggu efisiensi sistem, tetapi juga menurunkan kepercayaan masyarakat. Hal ini mencerminkan kurangnya kesadaran akan pentingnya menghormati waktu dan kewajiban kepada masyarakat yang membutuhkan layanan tersebut.
Mengenai kurangnya informasi mengenai pemberkasan, menunjukkan bahwa petugas tidak transparansi dalam menjalankan tugasnya. Ketidaktransparanan dalam menyediakan informasi mengenai proses pemberkasan menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan di antara masyarakat. Hal ini tidak hanya mencerminkan kurangnya integritas dan profesionalisme petugas, tetapi juga merugikan masyarakat yang berharap mendapatkan akses yang mudah dan jelas terhadap proses administratif yang mereka jalani. Masyarakat membutuhkan pelayanan yang transparansi yaitu keterbukaan informasi dan akses yang dapat dipahami dan memadai bagi seluruh pihak terkait