Dalam sebuah perusahaan, khususnya perusahaan besar yang tersebar di seluruh Indonesia, tentunya memiliki jumlah karyawan yang banyak dengan berbagai keberagaman antar karyawannya atau bisa disebut dengan diversity. Menurut Stephen P. Robbins dalam bukunya Organizational Behavior (2018) keberagaman di sebuah perusahaan terbagi menjadi 2, yaitu perbedaan dalam karakteristik yang mudah dirasakan (surface-level diversity) seperti ras, suku, usia, dan jenis kelamin. Selain itu perbedaan yang dapat dirasakan setelah mengenal satu sama lain (deep-level diversity), meliputi perbedaan visi dan misi, kepribadian, dan preferensi kerja.
Keberagaman di sebuah perusahaan dapat mendatangkan hal-hal baik bagi perusahaan. Keberagaman tersebut akan mempengaruhi lingkungan kerja dan kinerja karyawan karena perbedaan yang dimiliki oleh setiap individu. Karyawan dari daerah yang sama tentu memiliki pola pikir yang berbeda, pun dengan berbagai macam karyawan dari daerah yang beragam akan menghasilkan ide-ide yang lebih menarik dan tidak monoton, dapat mengembangkan bakat, dan meningkatkan kinerja karyawan.
Tidak jarang keragaman sifat dan perilaku dapat merusak kinerja tim, sedangkan di lain hal dapat memfasilitasi kinerja. Keragaman demografis tampaknya tidak membantu atau merugikan kinerja tim secara umum, meskipun perbedaan ras dalam kelompok manajemen dapat meningkatkan kinerja organisasi dalam kondisi yang tepat. Tim individu yang cerdas, teliti, dan tertarik dalam bekerja tim dapat menjadikan tim tersebut lebih efektif. Tidak menutup kemungkinan keragaman tersebut menjadi sebuah kekuatan.
Hadirnya keberagaman tidak hanya memberikan dampak positif bagi perusahaan namun juga dapat menghadirkan berbagai macam permasalahan. Tidak dapat dipungkiri adanya keberagaman dapat menimbulkan kekerasan antar agama, rasisme, separatisme, hingga hilangnya rasa kemanusiaan untuk saling menghargai hak-hak orang lain.
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan telah mengatur mengenai prinsip kesetaraan dan non-diskriminasi di tempat kerja. Pada dasarnya, prinsip ini bertujuan untuk melindungi harkat dan martabat manusia dari segala ras, jenis kelamin, agama, latar belakang sosial atau etnis, status kesehatan atau disabilitas dalam mewujudkan keadilan ekonomi dan sosial.
Perusahaan dapat membuat kebijakan khusus yang mengacu dari UU Ketenagakerjaan untuk mengatasi masalah diskriminasi. Dengan usaha tersebut tidak menutup kemungkinan praktik diskriminatif di tempat kerja masih sering terjadi terutama untuk kaum minoritas, perempuan, dan kelompok rentan lainnya. Menurut buku The Leadership Experience (2018), kelompok afinitas karyawan dan sponsor adalah dua cara penting pemimpin untuk mendukung partisipasi dan kemajuan perempuan dan karyawan minoritas.
Employee Affinity Groups
Kelompok afinitas karyawan atau kelompok kepentingan karyawan didasarkan pada identitas sosial seperti jenis kelamin dan ras yang diatur untuk berfokus pada kepentingan karyawan dalam kelompok tertentu. Kelompok karyawan memungkinkan orang-orang yang berpikiran sama untuk berbagi pengalaman dan strategi yang sama untuk sukses, berkontribusi lebih lanjut pada organisasi, dan memajukan karir mereka. Kelompok afinitas adalah cara yang efektif untuk mengurangi masalah sosial terhadap perempuan dan minoritas dengan membuat mereka lebih produktif dan memungkinkan anggota untuk mengembangkan karir mereka.
Minority sponsorship
Sponsorship mengacu pada dukungan dan bimbingan kuat dari eksekutif yang bersedia untuk menempatkan reputasinya untuk mempromosikan kemajuan individu ke tingkat organisasi yang lebih tinggi. Mentor penting karena mereka menawarkan saran, bimbingan, dan menghubungkan individu dengan orang-orang penting yang berhubungan dengan tugas. Karena dukungan tersebut pemberi sponsor (pihak eksekutif) mengharapkan kinerja yang luar biasa dan komitmen yang tak tergoyahkan.
Masih banyak orang yang memiliki tingkat kesadaran dan kepekaan keragaman yang berbeda terhadap budaya, nilai- nilai, dan cara melakukan sesuatu lainnya. Pemimpin berevolusi melalui tahapan kesadaran dan tindakan keragaman pribadi mulai dari upaya minimum untuk memenuhi pedoman tindakan afirmatif hingga menilai keragaman sebagai bagian integral dari budaya organisasi. Kepemimpinan yang kuat dan sensitif secara budaya adalah satu-satunya cara organisasi dapat menjadi inklusif.