Lihat ke Halaman Asli

Athaya Naufal

Universitas Kebangsaan Republik Indonesia

Sengketa Tanah Dago Elos Akhirnya Menemukan Titik Terang

Diperbarui: 25 Juni 2024   22:20

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Foto: Athaya Naufal Ibrahim

Sengketa lahan di kawasan Dago Elos, Bandung, telah menemui titik terang setelah Muller Bersaudara ditetapkan sebagai tersangka (6 Mei 2024). Konflik yang telah berlangsung selama kurang lebih 8 Tahun (2016-2024) ini kembali mencuat ke permukaan akibat penyerangan yang dilakukan oleh kepolisian pada tanggal 14 Agustus 2023. Pihak Muller Cs mengklaim memiliki hak atas tanah seluas sekitar 6.9 hektar tersebut berdasarkan sertifikat yang telah mereka kantongi. Namun, warga Dago Elos, yang mayoritas telah tinggal di kawasan tersebut selama puluhan tahun, membantah klaim tersebut. Mereka berdalih atas lahan tersebut serta bukti kepemilikan yang sah dan diakui oleh pemerintah setempat.

"Saya sudah tinggal di sini sejak lahir. Kami punya hak atas tanah dari zaman dulu, tapi sekarang mereka datang dengan sertifikat yang tiba-tiba muncul," ujar salah seorang warga yang bernama Daffa. Warga Dago Elos pun menggelar aksi unjuk rasa di depan Terminal Dago, menuntut keadilan dan perlindungan hak atas tanah mereka. Bentrokan dengan pihak Polrestabes Bandung terjadi didasari oleh rasa kekecewaan warga setelah 3 kali Upaya pelaporan tindak pidana Muller Cs ditolak mentah-mentah. Setelah penolakan yang terjadi, pada akhirnya Polda Jabar mengambil alih perkara dan menerima laporan tersebut.

 "Di tahun 2022, posisi berubah 180 terbalik dari kemenangan di 2020. Akhirnya warga di kalahkan secara mutlak di perdata tahun 2022. Setelah itu kita gali akhirnya kita menemukan bukti-bukti bahwa Muller ini dari awal melakukan tipu muslihat, yaitu melakukan pemalsuan data-data yang disinyalir itu data buatan, yaitu penetapan ahli waris. Kemudian kita duga mereka mengaku-ngaku sebagai ahli warisnya Muller." Ujar Angga selaku Ketua Forum Dago Melawan. "kita duga mereka mengaku-ngaku sebagai ahli warisnya Muller, di muka pengadilan juga mereka mengaku-ngaku sebagai kerabat-nya Ratu Elmina Belanda dulu. Hal tersebut kita gali lebih dalam dan kita mendapatkan data dari berbagai pihak termasuk data kependudukan di Belanda dan data-data otentik kematian di Belanda. Kebetulan perapuhan data di Belanda sangat bagus sehingga itu jauh lebih memudahkan kita untuk menggali data-data alhasil data-data itu udah komplit (dan) kita coba melakukan pengaduan ke kepolisian dalam ranah hukum pidana." Sambung Angga.

Foto: Athaya Naufal Ibrahim

Pada tanggal 6 Mei 2024, Muller Bersaudara (Heri Hermawan dan Dodi Rustendi) akhirnya ditetapkan sebagai tersangka dari sengketa lahan ini, mereka diduga memalsukan dokumen. Muller Bersaudara bersama PT. Dago Inti Graha yang selama ini menjadikan hukum Eigendom Verponding (dokumen hak atas tanah warisan zaman kolonial, alias sertifikat tanah zaman Belanda.) sebagai alas hak atas tanah yang diganti dengan terbitnya UUPA pada tahun 1960 dan KEPRES No. 32 tahun 1979. Sementara di sisi lain, warga yang telah mendiami dan menggarap tanah tersebut selama lebih dari 20 tahun sebagai ruang hidup yang memiliki fungsi sosial sesuai dengan UUPA tahun 1960 dan UU Pendaftaran Tanah tahun 1997 membuat warga layak atas tanah mereka.

Sampai saat ini, warga masih mengawal proses pidana dari Muller Cs. Karena masih kurangnya bukti untuk memenjarakan Muller Cs. Dengan itu, masih diperlukannya Upaya-upaya untuk memastikan bahwa pihak-pihak terlapor memang terbukti bersalah dan diadili sesuai hukum yang berlaku.

Siapa Georgius Hendricus Wilhemus Muller "Si Tuan Kebun" ?

Georgius Hendricus Wilhemus Muller lahir di Salatiga pada 1942. Sebagai anak (pensiunan) Kapten KNIL, diperkirakan dia mendapatkan pendidikan yang cukup baik. Setidaknya mampu baca tulis. Tidak ada yang diketahui tentang masa mudanya. Namun penting untuk dicatat, GHW Muller berusia 28 tahun ketika pemerintah Hindia Belanda menerbitkan Agrarische Wet 1870. Undang-undang tentang agraria ini memberi kesempatan bagi perusahaan swasta untuk menyewa lahan negara hingga selama 75 tahun dan membuka perkebunan skala besar. Sekian puluh tahun kemudian, barulah nama GHW Muller muncul dalam sistem administrasi Hindia Belanda. Dalam dokumen berjudul Daftar Perkebunan Besar Swasta Hindia Belanda (1914), dia disebut sebagai pemegang konsesi erfpacht (setara dengan Hak Guna Usaha) sekaligus administratur perkebunan teh dan kina di persil Tegalsari | dan Tegalsari II. Kedua persil, terletak di afdeeling Tjitjalengka (Cicalengka) dan Baloeboerlimbangan (Balubur Limbangan, sekarang masuk wilayah Kabupaten Garut), masing-masing disewa sejak 1892 dan 1899. Selain itu, namanya juga tercantum sebagai administratur perkebunan Sindang Wangi dan Gadoeng Batoe, yang mengolah empat persil lahan di daerah Cibentang. Dokumen yang sama menyebutkan bahwa adiknya, Hendrikus Petrus Everardus Muller, mengelola perkebunan kopi di persil Daoelat, yang juga terletak di Balubur Limbangan.

GWH Muller dikaruniai umur panjang. Meninggal pada usia 75 tahun dan dikuburkan di pemakaman Sentiong, Cicalengka (1917). Setengah abad lebih kemudian, pemakaman orang Eropa di Sentiong dibongkar. Tulang belulang orang-orang yang sudah meninggal dipindahkan ke pemakaman Nyalindung. Keterangan ini diberikan oleh saksi hidup Machyar, sekretaris desa yang kemudian menjadi kepala desa Cicalengka Wetan. Nasib istrinya, Nersie, benar-benar tidak diketahui. Padahal, dialah ibunda dari penerus keturunan Muller berikutnya: George Hendrik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline